-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Hakikat Pendidikan Islam


Hakikat Pendidikan Islam



Disusun Oleh:
Ahmad Abdul Qiso

Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam, M.A.



A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Karena pendidikan sealau menjadi pembincangan hangat di tengah-tengah masyarakat sekalipun ia tidak mengerti pendidikan, bahkan dimanapun dan kapanpun pendidikan selalu dibicarakan bahkan diperdeabatkan sekalipun. Begitupun di negara yang paling maju sekalipun, pendidikan pasti menjadi isu yang sangat krusial dan pasti ada sebagian kalagan yang mengkritik. Hal ini menunjukkan bahwa pembicaraan tentang pendidikan tidak akan berhenti selagi masih ada kehidupan dimuka bumi ini.
Mengapa hal di atas bisa terjadi? Menurut Ahmad Tafsir, pembicaraan tentang pendidikan tidak pernah berhenti karena; pertama, fitah setiap orang menginginkan yang lebih baik, kedua, karena teori pendidikan selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat, dan ketiga, karena pengaruh pandangan hidup.[1]
Dalam pemabangunan bangsa, sektor utama yang mendapat prioritas adalah pendidikan yang aksentuasinya adalah pada peningkatakan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa , serta akhlak mulia, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional (UU Nomor 20 Tahun 2003). “Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensei peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Menurut Hasbullah sebagaimana yang dikutip Usman, peningkatan keimana dan ketakwaan akan lebih efektif, manakalah dioptimalkan melalui sistem Pendidikan Islam. Sebab, Pendidikan Islam memiliki transmisi spritul yang lebih nyata dalam proses pembelajarannya. Kejelasannya terletak pada keinginan untuk mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri peserta didik secara berimbang, baik aspek intelektual, imajinasi, dan keilmiahan, kultural, serta kepribadian.[2]
Dengan diberlakukannya UU No 20 Tahun 2003 ini, memberikan keistimewaan tersendiri bagi pendidikan Islam, karena subtasi dari Undang-undang ini secera eksplisit menyebutkan peran dan kedudukan pendidikan agama Islam.
Adapun tantangan pendidikan Islam, seiring diberlakukannya undang-undang tersebut menurut Mastuhu adalah:
Pertama, mampukah sistem Pendidikan Islam Indonesia menjadi center of excellence bagi perkembangan iptek yang tidak bebas nilai, yaitu mengembangakn Iptek dengan sumber ajaran Al-Quran dan Sunnah?
Kedua, mampukah sistem Pendidikan Islam Indonesia menjadi pusat pembeharuan pemikiran Islam yang benar-benar mampu merespons tantangan zaman, tanpa mengabaikan aspek dogmatis yang wajib diikuti?
Ketiga, mampukah ahli-ahli Pendidikan Islam menumbuhkembangkan kepribadian termasuk Pendidikan Karakter Bangsa__yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT lengkap dengan kemampuan bernalar__ilmiah yang tidak mengenal batas akhir?.[3]
Untuk mengadapi tantangan-tantangan di atas sekaligus mencari solusi terbaik dalam menghidupkan dan mengembangkan serta memberdayakan sistem pendidikan Islam, baik secara proses maupun sebagai lembaga menurut Mastuhu, diperlukan konsep-konsep baru yang strategis, sehingga pada gilirannya dapat dikembangkan menjadi teori-teori yang teruji dan dapat dioperasionalkan di lapangan. Upaya mencari paradigma baru, selain harus mampu membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar strategis, proaktif, dan antisipatif terhadap perkembangan di masa mendatang, juga harus mampu mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar dan diyakini untuk terus dipelihara dan dikembangkan, apalagi dalam kehidupan modern dan dunia global sekarang ini.[4]
Dengan demikian, maka Pendidikan Islam akan berfungsi dengan baik bagi upaya pemberdayaan dan pengembangan potensi-potensi yang dibawa manusia dengan sistem pendidikan yang bersendikan nilai-nilai Islami yang lebih efektif, efesien, dan produktif.
Disamping itu, manusia sebagai obyek sekaligus subyek dalam pendidikan harus menjadi obyek utama yang harus kita pahami sebelum menentukan tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Menurut As-Syaibani, manusia mempunyai tiga dimesi, persis seperti “segi tiga” yang sama panjang sisi-sisinya, yaitu: badan (jasmani), akal, dan ruh.[5]Jika seorang pendidik keliru dalam memahami dimensi-dimensi manusia itu, maka dia akan keliru juga dalam merumuskan tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Jika seorang pendidik keliru dalam menentukan tujuan dan fungsi pendidikan itu maka ia akan mencidrai fitrah manusia. Pada hal menurut Maragustam, fitrah kesucian manusia tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.[6]
Menurut Harefa sebagaimana dikutip Maragustam, bahwa kesalahan atau bahkan dosa terbesar para guru adalah terlalu banyak melakukan pengajaran dan pelatihan, namun hampir tidak pernah melakukan pendampingan terhadap peserta didik untuk mengejar dan mencari jati dirinya sebagai pribadi, anggota kelompok, dan sebagai manusia warga masyarakat dunia.[7]
Jadi, berdasarkan latar belakang masalah di atas, makalah ini akan konsentrasi pada pembahasan terkat dengan konsep pendidikan Islam yang meliputi: pengertian pendidikan Islam, Perbedaan term Tarbiayh, Ta’lim, dan Ta’dib, Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat, dan peran pendidikan bagi pembentukan jati diri manusia yang meliputi: Hakikat manusia dan fungsi pendidikan bagi manusia.

B. Pembahasan
1.  Pengertian Pendidikan Islam
Dalam bahasa Indonesia, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberi awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya).[8]
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu paedagogos yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Perkataan yang mulanya berari “rendah” (pelayan, bujang), sekarang dipakai untuk pekerjaan mulia. Paedagog (pendidik atau ahli didik) ialah seseorang yang tugasnya membimbing anak.[9]Sedangkan pekerjaan membimbing disebut paedagogis. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan.[10]
Redja Mudyahardjo membagi term definisi pendidikan dalam tiga pengertian berikut: [11]
1) Definisi maha luas
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Pendukung definisi ini adalah kaum Humanis Romantik dan kaum Pragmatik.
2) Definisi sempit
Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendukung definisi ini adalah kaum Behavioris.
3. Definisi alternatif atau luas terbatas
Adapun definisi alternatif pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah, dan luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan pernanan hidup secara tepat. Pendukung definisi ini adalah kaum Humanis Realistik dan Realisme Kritis.
Hasan Langgulung mengemukakan, bahwa pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi; pertama, dari sudut pandang masyarakat; kedua, dari sudut pandang individu. Dari segi pandang  masyarakat pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan, dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara..... di lihat dari segi pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Manusia mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau dikelola secara cerdas bisa berubah menjadi emas dan intan.[12]
Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab I mengatakan, pendidikana adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam konteks Islam, pendidikan secara bahasa (lughatan) ada tiga kata yang digunakan. Ketiga kata tersebut, yaitu (1) at-tarbiyah, (2) al-ta’lim, dan (3) al-ta’dib.
a. Tarbiyah
Term tarbiyah berasal dari tiga kata, yakni pertama, berasal dari kata raba-yarbu yang artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, berasal dari kata rabiya-yarba dengan yang artinya tumbuh dan berkembang. Ketiga, berasal dari kata rabba-yarubbu, yang artinya, memperbaiki, membimbing, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara.[13]
Daim berpendapat bahwa makna tarbiyah adalah merawat dan memperhatikan pertumbuhan anak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan sempurna sebagaimana yang lainnya, yaitu sebuah kesempurnaan dalam setiap dimensi dirinya, badan, roh, akal, kehendak, dan lain sebagainya.[14]
Menurut Maragustam, dari segi etimologis, tiga asal kata tarbiyah yakni raba; rabiya; dan rabba, kata tarbiyah mencakup makna yang sangat luas yakni: (1) al-nama yang berarti bertambah, berkembang, dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit, (2) aslahu yang berarti memperbaiki peserta didik sekiranya proses perkembangannya menyimpang dari nilai-nilai Islam, (3) tawalla amrahu yang berarti mengurusi perkara peserta didik, bertanggung jawab atasnya dan melatihnya, (4) ra’ahu yang berarti memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tabiatnya (5) al-tansyi’ah yang berarti mendidik, mengasuh, dalam arti materi dan immateri (hati, akal, dan perasaannya), yang kesemuanya merupakan aktivitas pendidikan.[15]
b. Ta’lim
Term ta’lim secara lugahwy berasl dari kata fi’il tsulasi mazid biharfin wahid, yaitu ‘allama yua ‘allimu. Jadi ‘allama artinya, mengajar.[16]
Dalam sejarah pendidikan Islam, term mu’allim telah digunakan untuk istilah pendidik. Menurut konsep pendidikan Islam, kata taklim lebih luas jangkauannya dan lebih umum dari kata tarbiyah. Hal itu dapat di lihat bahwa Rasulallah SAW diutus untuk menjadi mu’allim (pendidik).[17]
Menurut Maragustam perbedaan tarbiyah dan taklim adalah sebagai berikut:[18]
TARBIYAH
TAKLIM
Kata tarbiyah lebih fokus pada proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan yakni fase bayi dan anak-anak
Sedangkan kata taklim lebih fokus pada perenungan (pemahanan, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah). Tentu sudah masuk fase dewasa.
Pencapaian ilmu pengetahuan dan ilmu berdasar pada imitasi dan peniruan belaka tanpa mengerti argumennya.
Pencapaian ilmu pengetahuan melebihi imitasi atau peniaruan atau dongengan yakni ilmu pengetahuan yang didapat berdasarkan argumen atau berfikir secara mendalam
Pengetahuan yang didapat hanya sekedar mengetahui yang belum mengerti fungsi pengetahuan yang di dapatkan itu untuk masa depan, karena mereka masih masa-masa awal perkembangannya.
Pengetahuan dan keterampialan yang di dapat menjadi kebutuhan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik untuk mengatur hidup dan perilakunya di masa depan.

c. Ta’dib
Term ta’dib berasal dari kata tsulasi mazid biharfin wahid, yaitu ‘addaba yu ‘adibu. Jadi ‘addaba artinya memberi adab.[19]
Menurut Naquib Al-Attas pengertian ta’dib meliputi hal-hal berikut:[20]
1) Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran
2) Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik
3) Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.
4) Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak teruji
5) Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat.
6) Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat.
7) Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah.
Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan dalam Islam, baik salah satu (tarbiyah atau ta’lim) maupun keduanya (ta’lim wa tarbiyah), sebab istilah itu menunjukkan ketidaksesuain makna. Isitlah terbiayah menurutnya hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia. sedangkan ta’lim hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Makna istilah ta’lim dan tarbiyah telah tercakup dalam makna ta’dib.[21]
Kritik yang disampaikan Al-Attas kepada penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim menjadi sebuah masukan berharga bagi dunia pendidikan Islam, untuk dijadikan bahan refleksi agar paradigma pendidikan Islam lebih jelas dan terarah. Namun penulis berasumsi bahwa kata tarbiyah menjadi terma yang paling tepat untuk digunakan dalam dunia pendidikan Islam. Asusmi ini didasakran kepada pengertian ketiga istilah tersebut secara bahasa. Tarbiyah berasal dari kata rabba-yarubbu, yang artinya, memperbaiki, membimbing, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Adapun ta’lim berasal dari kata ‘allama artinya, mengajar. Sedangkan ta’dib berasal dari kata ‘addaba artinya memberi adab. Dari pengertian ini, menurut penuli, menunjukkan bahwa makna tarbiyah lebih konperhensif, karena meliputi upaya membimbing manusia. Allah menciptakan manusia dalam kedaan fitrah dan membawa potensi masing-masing yang bisa kita kembangakan. Pendikan merupakan jalan bagi seseorang untuk mengembangkan fitrah dan potensi-potensi yang diberikan Allah. Hal ini sejalan dengan pengertian tarbiyah yang meliputi memperbaiki, membimbing, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Hal ini juga sejalan pandangan orang-orang Yunan (lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi) yang menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia.[22]

2. Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat
Dalam prespektif filsafat dan ilmu pendidikan Islam, terdapat tiga aliran besar, yaitu[23]
a. Religius Konservatif
Aliran ini melihat konsep pendidikan Islam harus dibangun dari nilai-nilai agama terutama yang berkaitan dengan tujuan menunut ilmu dan apa saja ilmu-ilmu yang perluh dipelajari. Menurut aliran ini tujuan keagamaan menjadi tujuan menuntut ilmu. Tokoh aliran ini diwakili oleh Az-Zarnuji dan Imam al-Ghazali.
b. Religius Rasional
Aliran ini diwakili oleh kelompok Ikhwan al-Shafa. Aliran ini sekalipun mempunyai kecendrungan kuat terhadap nuansa keagamaan tetapi tidak sekuat aliran konservatif-religius. Artinya kalau aliran religius terkandung kesan bahwa terma ilmu dalam Alquran dan Hadis menyempit, sedangkan aliran religius rasional mempunyai cakupan yang luas. Disamping itu, aliran ini memadukan antara sudut pandang keagamaan dengan sudut pandang keiflsafatan dalam menjabarkan konsep ilmu, sehingga kelompok ini bependapat bahwa pengetahuan itu semuanya muktasabah (hasil perolehan dari aktivitas belajar) dan yang menjadi modal utamanya adalah indra.
c. Pragmatis Isntrumental
Tokoh dalam aliran ini adalah Ibnu Khaldun, seorang ahli filsafat sejarah. Sudut pandangnya di bidang pendidikan lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikatif praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai subtansinya atau sekuennya semata. Konsep pendidikan Ibnu Khaldun melalui pendekatan filosofis empiris.
Di dunia Barat berkembang empat aliran filsafat pendidikan yaitu:[24]
a. Progresivisme
Padangan pendidikan Progresivisme mengendaki yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekontruksi pengalaman yang terus-menerus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik saja, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan berfikir dengan memberikan stimuli-stimuli.
b. Esensealisme
Prinsip-prinsip pendidikan esensialisme yaitu (1) pendidikan harus dilakuan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari diri siswa, (2) inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik, (3) inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
c. Perenialisme
Prinsip pendidika perenialisme menghendaki pendidikan kembali kepad jiwa yang menguasai abad pertengahan. Karena jiwa Abad Pertengahan telah merupakan jiwa yang menentukan manusia hingga dapat dimengerti adanya. Aliran ini juga menyatakan bahwa rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi.
d. Rekonstruksionisme
Aliran ini beranggapan bahwa pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya, dan selaras dengan medasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
 Selain itu, di dunia Barat juga berkembangan  hukumnativisme, emperisme, dan konvergensi yang dijadjikan landasan dalam pendidikan. Adapun penjelasan adalah sebagai berikut:[25]
a. Teori Emperisme
Teori emperisme mengatakan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor emperisme ialah John Locke yang dikenal dengan teori “tabularasa” atau emperisme. Menurut teori tabularasa, bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau tulisan dalam kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang.
b. Teori Nativisme
Teori nativisme yang diperlopori oleh Athur Schopenhauer mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat serta faktor endogen yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan pribadi menurut aliran empirisme ditentukan oleh faktor bawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan.
c. Teori Konvergensi
Teori konvergensi yang diperlopori William Stern ini, mengatakan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dati faktor-faktor bakat/kemampuan dasar (endogen/bawaan) dan faktor alam sekitar (eksogen/ajar), termasuk pendidikan dan sosial budaya. Jadi, perkembangan pribadi menurut aliran ini sesungguhnya adalah hasil persenyawaan antara faktor endogen dan eksogen.
Dari pandangan-pandangan pendidikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedakan pendidikan Islam daan Barat adalah terletak pada:
a. Sistem Ideologi
Islam memiliki ideologi al-tauhid yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan non-Islam memiliki berbagai macam ideologi yang bersumber dari isme-isme materialis, komunis, ateis, sosialis, kapitalis, dan sebagainya.
Dengan kerangka dasar al-tauhid ini maka dalam pendidikan Islam tidak akan ditemui tindakan yang dualisme, (dikotomis) dan sekuralis. Sistem pendidikan Islam menghendaki adanya integralistik yang menyatukan kebutuhan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, materil dan spritual, individu dan sosial yang dijiwai dan dinafasi oleh roh al-tauhid.
b. Sistem Nilai
Pendidikan Islam bersumber dari nilai Alquran dan Sunnah, sedangkan pendidikan non-Islam bersumberkan dan nilai yang lain, Formulasi ini relevan dengan kesimpulan di atas, sebab dalam ideologi Islam itu bermuatan nilai-nilai dasar Alquran dan Sunnah, sebagai sumber asal, dan ijtihad sebagai sumber tambahan, Pendidikan non-Islam sebenarnya ada juga sumber nilainya, namun sumber nilainya hanya dari hasil pemikiran, hasil penelitian para ahli, dan adat kebiasaan masyarakat.
c. Orientasi Pendidikan
Pendidikan Islam berorientasi kepada dua kehidupan yaitu duniawi dan ukhrawi, sedangkan pendidikan non-Islam, orientasinya duniawi semata.

3. Fungsi Pendidikan Bagi Manusia
Untuk merumuskan fungsi pendidikan bagi manusia secara utuh, kita terlebih dahulu harus menemukan hakikat manusia, temuan ini juga akan sangat membantu untuk memaksimalkan peranan pendidikan untuk memanusiakan manusia. Berikut adalah pandangan beberapa tokoh tentang hakikat atau inti manusia.
Dari ilmuan Barat, penulis mengutip pandangan seorang filosof, yaitu Plato, menurutnya jiwa manusia memiliki tiga elemen, yaitu roh, nafsu, dan rasio. Dalam operasinya, dia mengandaikan roh itu sebagai kuda putih yang menarik kereta bersama keuda hitam (nafsu), yang dikendalikan oleh kusir yaitu rasio yang berusaha mengontrol laju kereta.[26]Pandangan Plato ini jika kita korelasikan dengan dunia pendidikan, maka pendidikan harus berfungsi membantu rasio tersebut untuk mengendalikan kereta tersebut. Stevenson dan Haberman menilai Plato sebagai orang pertama yang melihat pendidikan sebagai kunci utama dalam membangun masyarakat.[27]
Adapun dari ilmuan Islam, penulis mengutip pandangan As-Syaibani, menurutnya manusia mempunyai tiga dimesi, persis seperti “segi tiga” yang sama panjang sisi-sisinya, yaitu: badan (jasmani), akal, dan ruh. Kemajuan, kebahagiaan, dan kesempurnaan keperibadian manusia tergantung kepada keselarasan dan keharmonisan antara tiga dimensi pokok tersebut.[28]Pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.









Sedangakan dalam pandangan Alquran, menurut Quraish Shihab, tidak sedikit ayat Alquran yang berbicara tentang manusia, bahkan manusia adalah makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian wahyu pertama (QS 96: 1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkann dengan makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS. 11: 3). Namun di lain segi, manusia ini juga mendapat cercaan Tuhan. Ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS. 14: 34), dan sangat banyak membantah (QS. 22: 67). Menurut Quraish Shihab hal ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Alquran bertentangan satu sama lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi untuk menempati terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga tercela.[29]
Menurut Maragustam, berdasarlan penelusurannya dalam ayat-ayat Alquran, hal-hal yang menunjukkan kompleksitas jati diri (hakikat) manusia ialah:[30]
a. Kata al-jism
Kata al-jism (tubuh) disebutkan dalam Alquran hanya dua kali, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 247 dan surat Al-Munafiqun ayat 4. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa jasad termasuk tabiaat manusia. Pendapat sebagian orang yang merendahkan arti penting tubuh, tidak terdapat dalam Islam. Alquran menganjutkan dan bahkan menyuruh manusia supaya merawat tubuhnya serta memenuhi kebutuhannya berupa makanan, minuman, dan pakaian (Qs. Al-Baqarah : 57, 60, dan 168).
b. Terma al-‘aql
Kata ‘aql dengan kata jadiannya dimuat dalam Alquran dalam 49 kali. Al-albab adalah kata lain yang juga bermakna akal yang terdapat 16 kali di dalam Alquran, disamping itu juga terdapat kata ulin-nuha yang merujuk pada pengertian akal. Dalam Alquran tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai tiga akar kata ini, namun dari beberapa ayat Alquran dapat dipahami maknanya: (1) Akal sebagai alat untuk memahami dan mengambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntutnya beriman kepada-Nya; (2) Akal dapat menangkap hal-hal abstrak; (3) Akal berfungsi sebagai dorongan moral; (4) Akal berdaya mengambil pelajaran/hikmah dan kesimpulan dari sesuatu peristiwa; dan (5) Akl berfungsi sebagai alat dzikrullah (berzikir/mengingat Allah) dan alat memikirkan ciptaan Allah.
Penyebutan akal dalam Alquran selalu dalam bentuk kata kerja bukan dalam bentuk kata benda. Karena manusia harus selalu aktif menggunakannya sesuai dengan pengertian yang ada pada akal itu sendiri.
c. Terma al-qalb
Dalam Mu’jam al-Mufakhras, kata al-qalb dan al-qulub dan segala kata jadiannya tidak kurang dari 170 ayat ayat yang tersebar di beberapa surah di dalam Alquran. Al-qalb atau kalbu adalah salah satu gejala dari perangkat hakikat manusia yang asasi, karena iman bersemayam di kalbu (Qs. Al-Hajj: 32); termasuk alat ma’rifah (memperoleh ilmu) (Qs. Al-Hajj: 46 dan Al-An’am: 25). Kalbu yang sehat bagaikan raja (pusat kesadaran moral) memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih hal yang baik dan meninggalkan yang buruk.
d. Terma nafs
Kata nafs bermacam-macam makananya. Menurut Quraish Shihab, terkadang diartikan sebagai totalitas manusia, menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yakni wadah yang menampung paling tidak berupa gagasan dan kemauan yang menghasilakn tingkah laku.
e. Terma fitrah
Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya dalam Alquran tertera pada 19 ayat dalam 17 surat. Fitrah adalah sistem aturan atau potensi yang diciptakan kepada setiap makhluk sejak keberadaannya baik ia makhluk manusia ataupun yang lainnya.

Mengenai kejadian manusia dan tujuan hidupnya Allah berfirman: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepadaku”. (Qs. Al-Zariyat: 103). Menurut Hasan Langgulung, pengertian ibadah disini luas, tidak hanya  upacara sembahyang yang biasa kita fahami, menurtunya ibadah dalam pengertian yang luas meliputi seluruh gerak-gerik kita. ibadah dalam pengertian luas inilah tujuan kita diciptakan, atau tujuan hidup kita.[31]Di sisi lain, dalam Alquran di jelaskan bahwa manusia diperintikan-Nya untuk menjadi khalifah fil ardi (pemimpin/wakil Allah di muka bumi), hal ini termaktub dalam Qs. al-Baqarah: 30. Hal ini menunjukkan bahwa manusa memiliki dua tugas utama yaitu hubungan vertikal dengan beribadah dan hubungan horizontal yang menjadi khalifah di muka bumi. Jadi, pendidikan harus berusama membimbing dan membina manusia untuk menjadi Abdullah dan khalifatullah di muka bumi ini.
Orang-orang Yunani, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia”. Manusia  perluh dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Jadi, tujuan mendidik ialah me-manusiakan manusia. seperti apa kriteria manusia untuk menuju tujuan pendidikan itu?. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan tiga syarat untuk disebut manusia, yaitu Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air, dan ketiga, berpengetahuan.[32]
Aspek pendidikan yang kedua ialah menolong (membantu). Mengapa menolong, bukan mencetak atau mewujudkan? Ya karena pendidik mengetahui bahwa pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. kata “menolong” juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar menolong. Kata “menolong” juga mengkiaskan agar pendidik tidak sombong bila ada muridny yang berhasil. Dan kata “menolong” juga mengajarkan kepada pendidik bahwa ia mestilah melakukan pertolongan itu dengan kasih sayang.[33]
Jadi, dari beberapa pandangan dan pendapat tokoh-tokoh di atas dapat rumuskan fungsi pendidikan bagi manusia adalah:
a. Membantu manusia mengembangakn fitrah (potensi-potensi) yang dimiliki manusia, agar ia mampu merawat tubuhnya serta memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Membantu manusia untuk selalu aktif menggunakan akal agar ia menjadi mansia yang bermoral.
c. Membantu manusia untuk mengembangkan  kalbu yang sehat, agar keimananya semakin matap dan kuat.
d. Membantu manusia mengembangkan nafs (jiwa manusia), agar melahirkan tingkah laku yang baik (postif).
e. Membantu mansia untuk menjadi insan pariprna, yaitu insan yang mampu menjadi Abdullah sekaligus Khalifatullah.

C. Penutup
Untuk mengadapi tantangan-tantangan di atas sekaligus mencari solusi terbaik dalam menghidupkan dan mengembangkan serta memberdayakan sistem pendidikan Islam, baik secara proses maupun sebagai lembaga menurut Mastuhu, diperlukan konsep-konsep baru yang strategis, sehingga pada gilirannya dapat dikembangkan menjadi teori-teori yang teruji dan dapat dioperasionalkan di lapangan. Dari pembahasan makalah di atas, penulis menyimpulkan:
Definisi pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah, dan luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan pernanan hidup secara tepat.
Dalam prespektif filsafat dan ilmu pendidikan Islam, terdapat tiga aliran besar, yaitu Religius Konservatif, Religius Rasional, dan Pragmatis Isntrumental. Sedangkan di dunia Barat berkembang empat aliran filsafat pendidikan yaitu:  Progresivisme, Esensealisme, Perenialisme, dan Rekonstruksionisme. Selain itu, di dunia Barat juga berkembangan  hukumnativisme, emperisme, dan konvergensi yang dijadjikan landasan dalam pendidikan. Dari pandangan-pandangan aliran pendidikan ini, maka dapat disimpulkan bahwa perbedakan pendidikan Islam daan Barat adalah terletak pada: Sistem Ideologi, Sistem Nilai, dan Orientasi Pendidikan
Adapun  fungsi pendidikan bagi manusia adalah:
a. Membantu manusia mengembangakn fitrah (potensi-potensi) yang dimiliki manusia, agar ia mampu merawat tubuhnya serta memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Membantu manusia untuk selalu aktif menggunakan akal agar ia menjadi mansia yang bermoral.
c. Membantu manusia untuk mengembangkan  kalbu yang sehat, agar keimananya semakin matap dan kuat.
d. Membantu manusia mengembangkan nafs (jiwa manusia), agar melahirkan tingkah laku yang baik (postif).
e. Membantu mansia untuk menjadi insan pariprna, yaitu insan yang mampu menjadi Abdullah sekaligus Khalifatullah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, OmarMohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah: Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Bakar, Usman Abu, Paradigma dan Epistimologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: UAB Media, 2013.
Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: PT. Al Husan Zikra, 1995.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju pembentukan karakter menghadapi arus global, Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta, 2016.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan: Sebuah studi awal tentang dasar-dasar pendidikan pada umumnya dan pendidikan di Indonesia, Jakarta: Rajawali pers, 2010.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Bandung: Mizan, 1995.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.



[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 41.
[2] Lihat Hasbullah dalam Usman Abu Bakar, Paradigma dan Epistimologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UAB Media, 2013), hlm. 4.
[3] Lihat Mastuhu dalam Usman Abu Bakar, hlm. 7.
[4] Lihat Mastuhu dalam Usman Abu Bakar, hlm. 8.
[5] OmarMohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah: Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 130.
[6] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju pembentukan karakter menghadapi arus global, (Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta, 2016), hlm. 61.
[7] Ibdi.,Maragustam, hlm. 61.
[8] Lihat Peorwardaminta dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 30
[9] Lihat M. Ngalim Purwanto dalam Ramayulis, hlm. 30.
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 30-31.
[11] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah studi awal tentang dasar-dasar pendidikan pada umumnya dan pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali pers, 2010), hlm. 3-11.
[12] Lihat Hasan Langgulung dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,hlm. 31.
   [13]Lihat, Al-Raghib Al-Isfahany, dalam Ramayulis, hlm. 33.
[14] Ibid., Maragustam, hlm. 16.
[15] Ibid., Maragustam, hlm. 17.
[16] Ibid., Ramayulis, hlm. 33-34.
[17] Ibid., Maragustam, hlm. 19.
   [18]Ibid., Maragustam, hlm. 22-23.
[19] Ibid., Ramayulis, hlm. 34.
   [20]Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 181-182.
  [21] Ibid., Wan Mohd Nor Wan Daud, hlm. 180.
[22] Ibid., Ahmad Tafsir, hlm. 33.
   [23] Ibid., Maragustam, hlm. 132-179.
[24]Ibid., Maragustam, hlm. 180-189.
[25] Ibid.,Maragustam, hlm. 103-14.
[26] Ibid., Ahmad Tafsir, hlm. 11.
[27] Ibid., Ahmad Tafsir, hlm. 11.
[28] OmarMohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah: Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 130.
[29] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 69.
[30] Ibid., Maragustam, hlm. 70-78.
[31] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Al Husan Zikra, 1995), hlm. 4.
[32] Ibid., Ahmad Tafsir, hlm. 33.
[33] Ibid., Ahmad Tafsir, hlm. 36-37.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter