PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI (RELIGIUS-RASIONAL-PRAGMATIS) TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN KONTEMPORER
Oleh:
Nur Laili Mustaqimah
17913037
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam:
Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan proses pemahaman nilai-nilai dan bukan sekedar pemindahan ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik belaka. Sistem nilai yang melekat pada pendidikan Islam adalah nilai-nilai yang dijiwai oleh dasar ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan al-Sunnah. Nilai-nilai Qur`ani dengan segala penjelasan dan tafsirannya baik berupa al-Sunnah maupun ijtihad manusia itulah yang disebut moralitas Islam. Dalam pendidikan Islam nilai yang demikian disebut sebagai moralitas pendidikan Islam atau akhlak pendidikan Islam.
Hasyim Asy’ari termasuk tokoh utama pendiri lembaga sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU ( Nahdlatul Ulama’). Organisasi ini bertujuan mempertahankan ajaran ahlu sunnah wal jamaah serta tradisi Islam. Sementara corak pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga ini pada mulanya bersikap tradisional dengan hanya mengajarkan agama saja dengan bersistem halaqah. Namun seiring dengan perkembangan, lembaga ini juga memasukkan ilmu umum dengan sistem madrasah.
Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini diwarnai dengan keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang ada pada saat itu, yang mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia.
B. SKETSA BIOGRAFI K.H. HASYIM ASY’ARI
1. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari lahir tanggal 14 Februari 18711, seorang yang mempunyai predikat kekiaian yang kental. Pada masa itu beliau termasuk ulama kharismatik dan sangat populer di kalangan ulama di Jawa. Pengaruhnya bahkan sampai ke luar daerah Jawa. Beliau selain belajar sendiri dengan orang tuanya sampai usia 15 tahun, juga mengaji dan mondok di beberapa pesantren terkenal seperti daerah Madura, Sidoarjo. Kemudian pergi ke Makkah berguru dengan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau selama tujuh tahun. Kembalinya dari tanah suci, lalu mendirikan pondok pesantren Tebu Ireng.
Dalam sejarah pendidikan islm tradisional, khususnya di Jawa, ia digelari Hadrat Asy-Syaikh (Guru besar di lingkungan pesantren), karena peranannya sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren, misalnya pesantren Asem Bagus di Situbs di Situbondo Jawa Timur, pesantren Lirboyo Kediri dan lain-lain.
Nahdatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, yang mulanya mermbuk Hijaz. Namun atas beberapa inisiatif kalangan ulama waktu itu telah menempatkan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh pendiri NU sekaligus Ketua Umum. Seorang pendiri NU yang lain adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah, lahir di Jombang pada bulan Maret 1888, dan masih mempunyai pertalian darah dengan Hasyim karena nenek moyang mereka berasal dari keturunan yang sama.
Pendiri NU yang lain adalah K.H. Bisri, lahir di Taju Jawa Tengah tahun 1887. Beliau juga belajar ilmu agama dan mondok di beberapa pesantren, seperti Tebu Ireng, Sarang Bengkalan Madura, dan belajar di Makkah selama empat tahun dan kawin dengan adiknya Kiai Wahab. Sekembalinya dari makkah ia mengajar pesantren Tambak Beras selama dua tahun, kemudian mendirikan pesantren sendiri di Den Anyer.
Di antara semua pendiri NU, yang paling bersemangat dalam mengembangkan organisasi ini adalah K.H Abdul Wahab. Organisasi NU menganut salah satu mazhab, dari empat mazhab yaitu Mazhab Syafi’I. NU banyak mengadakan kegiatan keislaman yang bermanfaat dengan mendirikan sekolah-sekolah, sert pemeliharaan anak yatim dan membentuk badan-badan yang dapat diharapkan membantu pengembangan organisasi ini. Tahun 1930, cabang-cabang pertama yang berdiri di luar Jawa adalah Martapura dan Banjar (Kalimantan Selatan). Bahkan, organisasi Hidayatul Islamiyah, organisasi lokal di Kalimantan, bergabung dengan NU pada tahun 1936. Pada tahun 1937 NU sudah memiliki 71 cabang dan tahun 1942 NU sudah memiliki 120 cabang di seluruh Jawa dan Kalimantan. NU tidak semata-semata mengatasi masalah keagamaan, karena pada periode-periode berikutnya NU dan pra anggotanya ikut mengurusi masalah ekonomi dan terlibat dalam arus perdagangan. Bahkan NU mendirikan badan wakaf yang mengurusi masalah jual beli tanah. NU juga memiliki badan koperasi yang disebut Syirkah Mu’awamah yang bergerak di bidang ekspor-impor pecah belah.[1]
Sebagai seorang tokoh sentral dalam komunitas pesantren, Hasyim tidak hanya ahli dalam hal ide, namun juga cakap dalam melaksanakannya. Hasyim senang menyelesaikan pekerjaannya secara sistematis. Setiap pekerjaan baru beliau pikirkan secara seksama dan segera diselesaikannya. Jika beliau menjumpai suatu masalah serius, beliau akan mencari pemecahannya melalui istikharah.[2]
2. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan
Karya K.H. Hasyim Asy’ari yang bericara tentang pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ila al-Muta’alim , yang dicetak pertama kali pada 1415 H. Sebagaimana kitab kuning , pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika.
Keahliannya dalam bidang hadis ikut pul mewarnai isi kitab tersebut. Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadis sebagai dasar dari penjelasannya, di samping beberapa ayat Al-Quran dan pendapat para ulama.
Untuk memahami pokok pikiran dalam kitab tersebut, perlu diperhatikan latar belakang ditulisannya kitab itu. Penyusunan karya ini didorong oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem pendidikan Barat (imperialis Belanda) diterapkan di Indonesia. Karyanya ini merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya. Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu:
a. Keutamaan ilmu dan ilmuwan serta keutamaan belajar mengajar.
b. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar.
c. Etika murid terhadap guru.
d. Etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani
bersama guru.
e. Etika yang harus dipedomani seorang guru.
f. Etika guru ketika dan akan mengajar.
g. Etika guru terhadap murid-muridnya.
h. Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal
yang berkaitan dengannya.
Dari delapan bab tersebut dapat dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu :
a. Signifikan pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
b. Tugas dan tanggung jawab seorang murid
1) Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
2) Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
3) Pandai mengatur waktu
4) Menyederhanakan makan dan minum
5) Berhati-hati (wara’)
6) Menghindari kemalasan
7) Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
8) Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
c. Tugas dan tanggung jawab seorang guru
Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
1) Memilih guru yang wara’
2) Mengikuti jejak guru
3) Memuliakan dan memperhatikan hak guru
4) Bersabar terdapat kekerasan guru
5) Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
6) Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
7) Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
8) Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
9) Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
d. Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu :
1) Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2) Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.[3]
K.H. Hasyim Asy’ari membagi ilmu pengetahuan itu menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Ilmu pengetahuan yang tercela dan dilarang. Artinya, ilmu pengetahuan yang tidak dapat diharapkan kegunaannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Contoh: ilmu sihir, nujum, ramalan nasib dan sebagainya.
2) Ilmu pengetahuan yang dalam keadaan tertentu menjadi terpuji, tetapi jika mendalaminya menjadii tercela
Contoh: ilmu kepercayaan dan kebatinan.
3) Ilmu pengetahuan yang terpuji.
Contoh: mendekatkan diri kepada Allah[4]
3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari menulis beberapa buku, diantaraya yaitu:
Hasyim Asy’ari termasuk sosok ulama yang sangat produktif dalam menulis karyanya. Namun sangat disayangkan bahwa sejumlah karyanya tidak bisa ditemui oleh masyarakat umum secara bebas dan sebagian belum sempat dipublikasikan karena belum tertibnya pengarsipan yang ada pada masa itu serta kurang tertata rapi sistem dokumentasi dan pengarsipan pada lembaga NU.
Setidaknya dibawah ini dapat kita lihat diantara kitab yang disusunnya, antara lain:
a. Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih.
Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
b. Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
c. Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al Munkarat
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
d. Alisalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah.
Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
e. Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin
Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
f. Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
g. Al Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah.
Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
h. Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha.
Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
i. Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
Berisi tentang akidah ahli sunnah wa al Jamaah
j. Al Qalaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
Berisi tentang kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan dalam berakidah
k. Al-Risalah fi at-Tasawwuf.
Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
l. Al-Risalah fi al-’Aqaid.
Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.[5]
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Al-Risalah al-Jama’ah
2. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
3. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
4. Manasik Shughra
Di samping bergerak dalam dunia pendidikan, Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerto.
4. Implikasi Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari Dengan Pendidikan Masa Terkini
Implikasi Teoritik Pendidikan islam merupakan pendidikan yang bernuansa Islam atau pendidikan yang Islami. Secara psikologis, kata tersebut mengindikasikan suatu proses untuk pencapaian nilai moral, sehingga subjek dan objeknya senantiasa mengkonotasikan kepada perilaku yang bernilai, dan menjauhi sikap amoral. Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris.
Pendidikan Islam tidak hanya dipahami sebagai pendidikan yang berlabel Islam seperti madrasah-madrasah ataupun pondok pesantren, akan tetapi pendidikan Islam mencakup semua proses pemikiran, penyelenggaraan dan tujuan.
K.H Hasyim Asy’ari memiliki pandangan dalam memaknai pendidikan islam. Dalam pemikiran K.H Hasyim Asy’ari, pendidikan islam merupakan sarana untuk mencapai kemanusiaan sehingga manusia dapat menyadari siapa sesungguhnya penciptanya dan untuk apa diciptakan. Dalam sejarah pendidikan islam tradisional, khususnya di Jawa, beliau memiliki peran yang sangat besar di dalam dunia pesantren. Beliau digelari sebagai Hadrat Asy-Syekh (guru besar di lingkungan pesantren) karena peranannya yang sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren. Beliau juga berperan penting dalam mempertahankan sekolah pesantren tersebut yang pada waktu itu sekolah pesantren ingin dihapus oleh penjajah.
Di samping pesantren, K.H Hasyim Asy’ari juga berperan dalam mendirikan dan merintis organisasi kemasyarakatan Nahdhatul Ulama yang populer disebut NU. Organisasi sosial keagamaan ini memiliki maksud dan tujuan memegang teguh salah satu dari empat mazhab, serta mengerjakan apa saja yang menjadi kemashlahatan agama islam.
Sehingga dapat disimpulkan pemikiran pendidikan islam menurut KH. Hasyim Asy’ari dapat diimplikasikan dalam sistem pendidikan masa kini karena Pada hakikatnya pendidikan islam adalah upaya sadar yang dilakukan untuk mengarahkan manusia pada derajat kemanusiaanya yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian manusia akan mengetahui tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah.
C. Kesimpulan
KH. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada selasa kliwon 24 Zulqa’dah 1284 atau 14 Februari 1871 di desa gedang, jombang jawa timur. KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45 dini hari bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.
Konsep Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari terdapat dalam buku Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim yangterdiri dari 8 bab.Dan berisi tujuan dari pendidikan yaitu untuk mewujudkan masyarakat beretika, titik tekan pada moralitas itu tampak mendominasi di berbagai tempat dalam karyanya.
Pemikiran beliau adalah tentang perpaduan antara pesantren yang tradisionalis dengan sekolah barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau merupakan tokoh yang berusaha memelihara tradisi turun menurun dari pondok pesantren juga mengembangkan pendidikan keilmuan di Pondok Pesantren.Dalammenuntut ilmu peserta didik hendaknya berniat suci menuntut ilmu dan untuk mengamalkannya, mengembangakan dan melestarikan nilai-nilai islam bukan sekedar menghilangkan kebodohan. Niatnya demi mencari ridho Allah.
D. Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud. 2006. Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana
Abuddin Nata. 2007. Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad Rifai. 2018. Hasyim Asy'ari Biografi Singkat 1871-1947.Yogyakarta: Garasi.
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus.2015. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Arruzmedia.
Tamyiz Burhanudin. 2008. Akhlak Pesantren. Yogyakarta: Bigraf.
MAKALAH PRAREVISI
[1]Abuddin Nata. Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2007. Hlm 140.
[2]Abdurrahman Mas’ud. Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana. 2006. Hlm. 236.
[3]Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Arruzmedia. 2015 Hal.211.
[4]Muhammad Rifai. Hasyim Asy'ari Biografi Singkat 1871-1947. Yogyakarta: Garasi. 2018. Hal.76.
[5]Tamyiz Burhanudin. Akhlak Pesantren. Yogyakarta: Bigraf. 2008. Hal. 29.
Post a Comment
Post a Comment