Pemikiran Fazlur Rahman tentang Pendidikan dan Relevansinya dengan Dunia Modern
Oleh:
Nur Endah Kusumaningrum
A. Pendahuluan
Pada awal periode Modern muncul suatu kesadaran umum di tengah umat Islam, setelah sekian lama mereka tertidur dan terlena dalam fase kemunduran dan stagnasi sepanjang periode Pertengahan untuk bangkit kembali. Kebangkitan kembali umat Islam ini, salah satunya sebagai reaksi terhadap fenomena penetratif dan hegemonitas kemajuan barat atas umat Islam yang semakin membukakan mata mereka akan ketertinggalan dan kemundurannya di berbagai aspek kehidupan, terutama ilmu dan teknologi, kebudayaan, dan sistem pendidikan. Desakan arus modernitas yang berasal dari kemajuan dan kemodernan Barat ini, ditambah dengan desakan berupa problem-problem internal umat Islam yang berupa tantangan kemodernan, terasa semakin mengemuka dan menguat serta merambah memasuki wilayah kehidupan umat Islam sehingga menimbulkan adanya upaya-upaya dan langkah-langkah pembaharuan dan penerjemahan kembali Islam dalam konteks yang lebih kontemporer sesuai dengan perkembangan zamannya.
Dalam kondisi kepanikan spiritual tersebut strategi pendidikan Islam yang dikembangkan secara umum di seluruh dunia Islam masih cenderung bersifat dikotomis, sehingga tidak bisa melahirkan umat Islam yang mempunyai komitmen spriritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam. Di samping itu, upaya integrasi yang dilakukan pada umumnya belum membuahkan hasil. Hal ini dapat dianalisis dari pendekatan pembaharuan pendidikan Islam yang telah dilakukan sejauh ini. Dan disinilah penulis ingin membahas pandangan sarjana Muslim yang memiliki dua tradisi lingkungan pendidikan, lingkungan pendidikan tradisional, madrasah Deoband, dan lingkungan pendidikan modern Barat yakni Fazlur Rahman.
B. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah Hazara (anak benua India) yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan. Pertama-tama ia dididik dalam sebuah keluarga muslim yang taat beragama. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.[1]
Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga mazhab Sunni, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualitasnya dan keyakinan-keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Seperti pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang dijalani oleh penganut mazhab Syi’ah, Fazlur Rahman beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu alasan.[2]
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisional dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal, ketika telah menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar untuk menempuh program Doktoral di Lahore, Fazlur Rahman pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan pendidikannya.[3]
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya untuk melanjutkan studinya di Inggris dikarenakan oleh mutu pendidikan di India ketika itu sangat rendah. Dibawah bimbingan Profesor S. Van den Berg dan H A R Gibb, Fazlur Rahman berhasil menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph. D pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avicenna’s Psychology.
Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan pelbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran pelbagai literatur.[4]
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat.
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa, permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah.
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan.
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.
Pada pertengahan dekade 80-an, kesehatan tokoh utama neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, dintaranya ia mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago.
C. Gagasan Fazlur Rahman Atas Modernisasi Pendidikan Islam
Kemunculan Fazlur Rahman memberi harapan bagi masa depan Islam, karena selain menawarkan apa yang ia sebut dengan neo-modernisme Islam, ia juga memberikan interpretasi baru terhadap slogan kembali ke Al-Qur‘an dan Sunnah. Meskipun hal itu disadarinya sebagai sesuatu yang berjangka panjang, sebab penyebaran dan penerapannya harus dilakukan oleh tangan-tangan terdidik. Dan itu hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan. Rahman menegaskan bahwa pembaharuan Islam bagaimanapun yang harus dilakukan, mestilah dimulai dengan pendidikan.
1. Tujuan Pendidikan
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan yang dihadapi pada masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat bekas saingan musuh sepanjang sejarah. Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis lain, yang timbul sebagai kompleks pihak yang lain (berbeda dengan kedudukan internasional Islam klasik yang pada waktu itu umat Islam adalah pihak yang menang dan berkuasa).
Fenomena tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, telah menyuburkan tumbuhnya golongan-golongan penekan. Golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari orang-orang yang pikirannya lebih cenderung kepada agama. Akibatnya munculah semacam ketegangan dan pertentangan antara golongan sekular dengan golongan agama. Pertentangan ini telah menampakan diri secara terang-terangan di beberapa negara seperti Turki, Mesir dan Indonesia.
Sehingga pada gilirannya mengakibatkan pendidikan Islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat defensif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rahman bahwa:
“Strategi Pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan kepada tujuan yang posistif, tetapi cenderung lebih bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslim dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam”.[5]
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu, strategi pendidikan Islam yang dikembangkan di seluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis. Akibatnya muncul lah golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat, bahkan ada pula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya .Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat mengakibatkan kemunduran umat Islam. [6]
Menurut Rahman ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, tujuan pendidikan Islam yang bersifat defensif dan cenderung berorientasi hanya pada kehidupan akhirat harus dirubah. Tujuan Pendidikan Islam harus diorientasikan kepada kehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber kepada Al Qur‘an. [7]Menurutnya bahwa: Tujuan pendidikan dalam pandangan al-Quran adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara sedemikian rupa sehingga seluruh ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya. Kedua,beban psikologis umat Islam dalam menghadapi barat harus dihilangkan. Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut, Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistematis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi, hukum, etika, hadits, ilmu sosial, dan filsafat, dengan berpegang kepada al-Qur‘an sebagai penilai. Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah memberikan kontinuitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim. Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat. [8]Ketiga,sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahman, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya. Misalnya, manusia telah mulai menjelajah angkasa namun masalah yang ada di bumi tetap tak terpecahkan. Disamping itu, meskipun manusia terus menyingkap pengetahuan-pengetahuan yang baru, namun dorongan untuk memecahkan masalah-masalah etika tak juga bertambah. [9]
Rahman juga mengemukakan bahwa di dalam al-Qur‘an kata al’ilm (ilmu pengetahuan) digunakan untuk semua jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju perang, itu juga al’ilm. Begitu pula hal-hal yang memberi wawasan baru pada akal termasuk al’ilm.
Dalam pandangan Islam ilmu merupakan suatu bentuk ibadah yang mendorong manusia untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Allah. Sehingga ilmu itu tidak boleh disalah-gunakan untuk merusak iman dan moral serta mendatangkan bahaya dan kehancuran. Oleh karena itu menurut Rahman, Islam memperbolehkan umatnya untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam bentuk apapun, selama ilmu pengetahuan yang diperoleh tersebut tidak menyesatkan dan mengarahkannya kepada penghancuran diri. Sebab ilmu pengetahuan itu pada hakekatnya harus dimanfaatkan untuk tujuan yang sehat bagi individu maupun kolektif.
2. Sistem Pendidikan
Diskursus klasik yang masih sering dipersoalkan adalah adanya dikotomi dalam sistem pendidikan Islam. Sebenarnya hal itu tidak boleh terjadi, karena dikotomi itu yaitu sistem pendidikan Barat yang dinasionalisasikan dengan menambah beberapa mata pelajaran agama Islam dan sistem pendidikan agama Islam yang berasal dari zaman klasik (tradisional) yang tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda atau dalam beberapa sisi penting justru bertolak belakang.[10]
Tidak diterimanya sistem dikotomi ini karena sejarah telah membuktikan bahwa sistem pendidikan Barat seringkali merusak Islam. Memang ada pihak yang mengklaim bahwa pada masa lampau pihak Barat justru pernah belajar kepada Islam tetapi sekarang sejarah telah berbalik yaitu orang Islam yang belajar ke Barat. Dengan demikian orang Barat mengolah epistemologi yang mereka pelajari dari Islam. Jika benar klaim tersebut menjadi kerangka ilmu yang sesuai dengan keinginan mereka yang justru menggrogoti Islam dari dalam. Cendikiawan Muslim tidak mampu lagi mengolahnya kembali agar epistemologi Barat dimaksud dapat bersahabat dengan Islam.
Sementara itu sistem pendidikan dari zaman klasik tidak mempunyai kekuatan lagi untuk bersaing dalam era globalisasi pada penghujung abad dua puluh ini. Sistem tradisional kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang berasal dari al-Qur‘an. Di dalam al-Qur‘an dinyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh terhadap perintah-Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Dilain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkan-Nya dalam penjelasannya mengenai asal-usul alam raya atau fenomena dengan mana manusia selalu berhubungan setiap harinya.
Ditengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara menyeluruh. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dengan demikian, di dalam kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus mencakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalam, tafsir dan hadits. Menurut hemat penulis, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh Rahman itu pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan dunia (ilmu-ilmu umum) maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di akhirat (ilmu-ilmu agama). Pendekatan integralistik seperti itu, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam pada masa klasik, misalnya Ibnu Sina, selain ahli agama, psikolog, juga ahli dalam ilmu kedokteran dan juga ahli hukum.
Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu yaitu dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam al-Qur‘an. Menurut al-Qur‘an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian diwahyukan pada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Quraniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat Kauniyah yang diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh, kebenarannya tidak mutlak.[11]
3. Anak Didik (Peserta Didik)
Anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum ditumbangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan rendahnya kualitas intelektual anak didik, bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi sistem pendidikan tersebut mengakibatkan tidak lahirnya anak didik yang memiliki spritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. Menurut Fazlur Rahman beberapa usaha yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas antara lain pertama, anak didik harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga dapat dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menentang. Dalam kaitannya dengan hal ini, Fazlur Rahman menawarkan metode sistematisnya dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Gerakan pertama mempunyai dua langkah :
a. Orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi dan problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawaban. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat dan lain-lain.
b. Menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral dan sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam latar belakang sosio-historis yang sering dinyatakan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan kepada arah ajaran al Qur‘an. Sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al Qur‘an sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan sikap yang pasti terhadap hidup dan memenuhi suatu pandangan dunia yang kongkrit.[12]
Jika dua momen gerakan ini dapat dicapai, menurut Rahman, perintah-perintah al Qur‘an akan hidup dan efektif kembali. Kedua,memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan holistik, yang meliputi: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat.
4. Pendidik (Mu’allim)
Pendidik dalam perspektif Islam mempunyai peranan yang penting dalam proses pendidikan. Sebab dialah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotornya. Dan Rahman melihat bahwa pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu yang mampu menafsirkan hal-hal lama dalam bahasa yang baru sebagai alat yang berguna untuk idealita masih sulit ditemukan pada masa modern.
Dalam mengatasi kelangkaan pendidik seperti itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan, pertama, merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama (Islam). Kedua,mengangkat lulusan madrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di universitas Barat dan telah berada di lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar pada bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi dan sejarah Islam. Ketiga,para pendidik harus dilatih di pusat studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat. Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam tehnik riset modern dan sebaliknya menarik lulusan bidang filsafat dan ilmu sosial dan memberi mereka pelajaran bahasa Arab dan disiplin Islam klasik Kelima, Menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan.
5. Sarana Pendidikan
Atas dasar pengamatan Rahman di beberapa negara Islam yang dikunjunginya menunjukkan bahwa keadaan perpustakaan di lembaga pendidikan Islam tersebut masih belum memadai, terutama jumlah bukunya baik yang berbahasa Arab maupun Inggris. Untuk mengatasi masalah tersebut Rahman mengusulkan agar fasilitas perpustakaan harus dilengkapi dengan buku-buku yang berbahasa Arab dan Inggris.[13]
D. Relevansi Pemikiran Pendidikannya di Era Modern
Menurut Fazlur rahman, problem pendidikan Islam yang paling mendasar dewasa ini adalah timbulnya dualisme dalam system pendidikan ini dikarenakan karena adanya dikotomi ilmu. Hal ini dapat diperhatikan secara seksama pendidikan islam yang berbentuk lembaga mulai dari tingkat MI sampai Perguruan tinggi hanya bisa mencetak para generasi yang tahu nilai nilai agama islam, tapi tidak dapat menghadapi tantangan kehidupan modern.
Sesuatu yang berkebalikan juga terjadi pendidikan umum dari tingkat SD sampai perguruan tinggi umum hanya bisa mencetak orang yang sanggup bersaing didunia modern tapi gersang dengan nilai nilai agama islam. Akibatnya tidak pelik orang yang mengalami stres, bunuh diri, dan lainnya meskipun sudah berpendidikan. Padahal kita tahu sendiri bahwa sumber agama islam adalah Kitab suci Al-qur’an tidak memisahkan antara ilmu agama dan umum. Kalau pendidikan islam diteruskan seperti ini dapat diprediksi beberapa tahun kemudian pendidikan islam akan menjadi pendidikan yang ketinggalan dan tidak diminati oleh masyarakat.
Menurut rahman untuk memenuhi target yang telah didambakan oleh masyarakat, serta fungsi rahmatan lil alamin dapat meluas pendidikan islam dapat melakukan metode dua gerakan ganda. Walaupun gagasan rahman disini hanya bersifat teoritis dan belum selesai akan tetapi para ilmuwan berikutnya berhasil mengembangkan konsep Rahman tersebut.
E. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, Upaya Fazlur Rahman dalam menyelesaikan problem dikotomi ilmu dalam kaitannya dengan dualisme sistem pendidikan Islam. Sebagaimana diketahui bahwa telah lama terjadi dikotomi ilmu di kalangan umat Islam yaitu ilmu-ilmu agama Islam (tradisional) pada satu sisi, dan ilmu-ilmu umum (sekular modern) pada sisi yang lain. Untuk mengatasi masalah dikotomi sistem pendidikan Islam ini adalah melalui pengintegrasian antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama secara organis dan holistik yaitu dengan cara memasukkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, sejarah dunia, dan ilmu-ilmu agama seperti teologi, fiqh, tafsir, hadis sekaligus ke dalam kurikulum atau silabus pendidikan Islam.
Kedua, adanya dikotomi sistem pendidikan Islam telah menyebabkan rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam. Untuk mengatasi masalah ini, menurut Rahman ada empat usaha yang harus dilakukan : (1) Memberikan pelajaran Al-Qur’an secara sistematis sehingga memungkinkan Al-Qur’an tidak saja mampu berfungsi sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga dapat dijadikan rujukan sentral bagi pemecahan persoalan yang muncul. (2) Mengintefsikan penguasaan bahasa asing seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris, disamping bahasa nasional. (3) Menumbuhkan sikap toleran terhadap perbedaan pendapat.
Ketiga, di era modern ini, untuk mendapatkan pendidik yang berkualitas, kreatif, dan profesional, serta memiliki pikiran yang terpadu sangat sulit sekali. Menurut Rahman, ada beberapa usaha yang harus dilakukan untuk mendapatkan tipe pendidik seperti itu : (1) merekrut anak didik yang cerdas dan mempunyai komitmen pada lapangan agama Islam. (2) mengangkat lulusan Madrasah yang cerdas atau menunjuk doktor-doktor lulusan barat untuk menjadi guru-guru besar. (3) Mengirim pendidik yang berpotensi untuk melanjutkan studinya ke pusat-pusat studi Islam di Barat. (4) Mengangkat beberapa lulusan madrasah yang menguasai bahasa Inggris dan melatih mereka dalam teknik-teknik riset modern dan sebaliknya merekrut para lulusan universitas di bidang filsafat atau ilmu-ilmu sosial dan memberi mereka pelajaran bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam klasik. (5) Menggiatkan pendidik untuk melakukan penelitian dan menghasilkan karya-karya ilmiah.
Keempat, peralatan pendidikan, khususnya perpustakaan keadaannya cukup memprihatinkan. Jumlah buku-buku yang ada di perpustakaan sangat minim sekali. Untuk mengatasinya, Rahman merekomendasikan, jumlah buku-buku yang ada di perpustakaan harus ditambah lagi, terutama buku-buku yang berbahasa Arab dan buku-buku yang berbahasa Inggris.
Daftar Pustaka
Muhaimin., 1999, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Cirebon: Pustaka Dinamika.
Muhammad Iqbal, Abu., 2015, Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan Para Ilmuwan Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno, 2006, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistimologi, dan Sistem Pendidikan, Cirebon: Pustaka Belajar.
MAKALAH PRAREVISI
[1] Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistimologi, dan Sistem Pendidikan, (Cirebon: Pustaka Belajar, 2006), hlm.60 - 61.
[4] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan Para Ilmuwan Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 592.
[5] Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), hlm. 105.
Post a Comment
Post a Comment