-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU KHALDUN (PRAGMATIS – INSTRUMENTAL)


PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU KHALDUN (PRAGMATIS – INSTRUMENTAL)



Disusun oleh :
Nur Azizah
NIM: 17913035



A.    PENDAHULUAN

Kajian filsafat pendidikan islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik, logis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam semata, tetapi juga untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Sementara pandangan para filosof klasik, yaitu Socrates dan Plato, yang menjadi wacana publik para ahli pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia melalui penanaman nilai-nilai kebajikan, sehingga mereka senang belajar dan memiliki kehidupan yang penuh kebajikan[1].
Pendidikan adalah usaha atau proses perubahan dan perkembangan manusia menuju ke arah yang lebih baik dan sempurna. Adanya ungkapan bahwa pendidikan merupakan proses perbaikan dan menuju kesempurnaan, hal itu mengandung arti bahwa pendidikan bersifat dinamis karena jika kebaikan dan kesempurnaan tersebut bersifat statis maka ia akan kehilangan nilai kebaikannya. Gerak dinamis yang continue telah dilakukan oleh nabi dan membuahkan hasil berupa pembangunan peradaban Islam yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat dunia saat itu dan bahkan hingga sekarang ini.
Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses perubahan menuju arah positif. Dalam konteks sejarah perubahan yang positif ini adalah jalan Tuhan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad. Pendidikan Islam dalam konteks perubahan ke arah positif ini identik dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat[2]. Sejak wahyu pertama diturunkan dengan program Iqra’ (membaca) pendidikan Islam praksis telah lahir, berkembang, dan eksis dalam kehidupan umat Islam yakni sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan menghadirkan Tuhan.
Pendidkan Islam terjadi sejak Nabi diangkat menjadi Rasul di Makkah dan beliau sendiri sebagai gurunya[3]. Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang, seiring dengan hal itu banyak bermunculan tokoh-tokoh intelektual Muslim yang memiliki perhatian terhadap masalah pendidikan Islam. Beragam pemikiran pendidikan Islam telah dihasilkan oleh para Ilmuwan Muslim, terdapat tiga aliran utama dalam pemikiran pendidikan Islam, yaitu: aliran agamis konservatif dengan tokohnya imam Ghazali, aliran religious rasional yang diwakili oleh Ikhwanu as-Shofa dan aliran pragmatis dengan tokoh utamanya Ibn Khaldun[4]. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada dataran aplikatif-praktis.
Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju pembentukan kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan kata lain, dinyatakan bahwa kepribadian utama dengan istilah kepribadian muslim yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam dan tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam[5].
Hal ini merupakan sebuah paradigma yang mengimplikasikan proses pendidikan dengan berorientasi kepada aspek-aspek pemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun rohani-psikologis. Aspek fisik –psikologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan, pertumbuhan dan penuaan. Sedangkan aspek rohani-psikologis manusia melalui pendidikan, yaitu didewasakan, disadarkan dan di insan kamilkan. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling mendalam dari kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan kerohanian, sebagai elemen yang berpretensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berkebudayaan dan berkeadaban.
Masalah mendasar di era industri global ini adalah menyiapkan sumber daya manusia yang modern tetapi religius, yang mampu menyandingkan gerak laju sains dengan keimanan. Perlu direnungkan kembali bahwa keharusan belajar sejarah, jika ingin memahami masa depan (study historis, if you would like divine the future). Salah satu wujud kesadaran historis adalah dengan mempelajari, menelaah dan merenungkan kembali karya-karya dan pemikiran-pemikiran kaum intelektual masa lalu sebagai referensi masa depan. Menjawab tantangan tersebut, tulisan ini akan membahas tentang pemikiran Ibnu Khaldun sebagai salah satu seorang tokoh Islam[6].



B.     PEMBAHASAN
1.      Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun[7]. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan pada tanggal 27 mei 1332 M. ia berasal  dari keluarga politis, intelectual, dan aristocrat. Sebelum pindah ke Afrika, keluarganya adalah para pemimpin politik di Moorish (Spanyol) selama beberapa abad.
Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ia berkecimpung dalam bidang politik. Kemudian mengundurkan diri dari bidang politik serta menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian[8]. Ia ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Ia meninggal pada tahun 749 H, akibat wabah pes yang melanda Afrikan Utara dengan meninggalkan lima orang anak. Ketika ayahnya meninggal, Ibn Khaldun baru berusia 18 tahun.
Selanjutnya pada tahun 1362 M Ibn Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada, ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro  dan raja Castila di Sevilla. Karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari pula bekerja oleh penguasa Kristen saat itu. Sebagai imbalannya, tanah-tanah bekas milik keluarganya dikembalikan kepadanya. Akan tetapi, dari tawaran-tawaran yang ada, ia akhirnya memilih tawaran untuk bekerja sama dengan raja Granada. Kesanalah ia memboyong keluarganya dari Afrika. Ia tidak lama tinggal di Granada. Ia selanjutnya kembali ke Afrika dan diangkat menjadi perdana menteri oleh Sultan al-Jazair. Ketika antara tahun 1362-1375 terjadi pergolakan politik, menyebabkan Ibn Khaldun terpaksa mengembara ke Maroko dan Spanyol.
Pada tahun 1382 M ibnu khaldun berniat pergi haji,  tetapi dalam perjalanan hajinya ia singgah di Mesir. Raja dan rakyat mesir yang cukup mengenal reputasi Khaldun  menyebabkan ia tidak melanjutkan perjalanan hajinya. Di daerah ini ia ditawari jabatan guru kemudian ketua Mahkamah agung dibawah pemerintahan dinasti Mamluk.
pada tahun 1387 M[9], setelah pulang haji  ia ingin hidup tenang di Kairo tetapi tidak tercapai. Sebab, kemampuannya yang luas itu telah mengundang sultan Mamluk untuk memanfaatkannya. Bersama-sama dengan hakim dan ahli-ahli hukum lainnya ia dibawa sultan ke Damaskus, kota yang terancam gempuran tentara Timur Lenk. Damaskus tidak dapat dipertahankan dan Sultan bersama dengan tentaranya mundur ke Mesir. Namun, Khaldun dan beberapa orang terkemuka lainya tetap tidak pulang. ia diserahi tugas berunding mengenai penyerahan kota itu ke tangan Timur Lenk. Di tangan Timur Lenk, Damaskus dihancurkan. Tetapi Khaldun berhasil menyelamatkan bukan hanya dirinya, melainkan juga beberapa orang terkemuka, anggota tim perundingan ke Mesir. Di Mesir, ia tetap seorang yang terhormat. Sebab, tidak lama kemudian ia kembali pada jabatannya semula, sebagai ketua Mahkamah Agung. Ia meninggal pada tahun 1406 M  dalam usia 74 tahun, bersama jabatan yang dipegangnya[10].
Semasa hidup, Ibnu Khaldun banyak menghasilkan karya ilmiah, antara lain dalam bidang ilmu manthiq, ringkasan filsafat Ibnu Rusyd, fiqh, matematika, kesastraan arab, sejarah dan ilmu hitung. Namun karya Ibnu Khaldun yang sampai sekarang masih beredar adalah Muqaddimah. Sebuah karangan terkenal yang telah mengkaji tentang ungkapan dan pranata dasar dari masyarakat arab dan non-arab serta para pemegang kekuasaan besar pada masanya.
2.      Pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun dalam mencari berbagai macam ilmu, ditambah dengan begitu luasnya pengalaman praktis yang telah digeluti. Fakta ini pada akhirnya menyebabkan Ibnu Khaldun memuncylkan gagasan-gagasan, termasuk tentang pendidikan yang selalu baru dan cemerlang. Berdasarkan polarisasi baru-klasik, Muhammad Jawwad Ridha Muhammad membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga macam, yaitu agamis-konservatif, religius-rasional dan pragmatis-instrumental[11].
Ibnu Khaldun adalah satu-satunya tokoh dari aliran pragmatis-instrumen. Berikut adalah pandanga Ibnu Khaldun terhadap konsep pendidikan Islam jika dilihat dari berbagai sudut pandang.
a.      Tujuan pendidikan
Menurut Ibn Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Di antara tujuan pendidikan tersebut adalah;
1)      Tujuan peningkatan pemikiran
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Dengan menuntut ilmu dan keterampilan, seorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Di samping itu, melalui potensinya, akal akan mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Melalui proses belajar, manusia senantiasa mencoba meneliti pengetahuan-pengetahuan atau informasi-informasi yang diperoleh oleh pendahulunya. Manusia mengumpulkan fakta-fakta dan menginventarisasikan keterampilan-ketermapilan yang dikuasainya untuk memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan yang semakin meningkat sepanjang masa sebagai hasil dari aktivitas akal manusia[12]. Atas dasar pemikiran tersebut, maka tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.
2)      Tujuan peningkatan kemasyarakatan
Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibn Khaldun berpendapat bahwa Ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia[13]. Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia kea rah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut. Untuk itu, manusia seyogyanya senantiasa berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya. Jadi, eksistensi pendidikan menurutnya merupakan satu sarana yang dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan. Di samping bertujuan mendorong terciptanya tatanan kehidupan masyarakat kea rah yang lebih baik.
3)      Tujuan pendidikan dari segi kerohanian
Adalah dengan meningkatkan kerohanian manusia dengan menjalankan praktek ibadat, zikir, khalwat (menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh pra sufi[14].
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah dimaksud untuk mencapai tujuan-tujuan agama dan akhlak atau tujuan-tujuan kemanfaatan yang tidak bertentangan dengan agama dan akhlak.
b.      Pendidik
Ibnu Khaldun memandang bahwa usaha mendidik yang dilakukan pendidik adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian. Konsenkuensi dari pandangan ini adalah bahwa untuk menjadi seorang pendidik diperlukan kualifikasi tertentu, antara lain pendidik harus memiliki pengetahuan tentang perkembangan kerja akal secara bertahap. Pendidik juga dituntut untuk memiliki ilmu metodologi mengajar sesuai dengan perkembangan akal tersebut. Seorang pendidik tidak saja memiliki ilmu yang akan diajarkan, tetapi juga harus memiliki ilmu mengajar atau memahami cara mengajar yang baik, agar tidak membingungkan peserta didik sehingga tujuan pendidikan tidak terpenuhi.
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya. Adapun sifat-sifat tersebut adalah:
1)                              Pendidik hendaknya lemah lembut, senatiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik, terutama terhadap anak-anak yang masih kecil. Hal ini disebabkan, karena dapat menimbulkan kebiasaan yang buruk bagi mereka (peserta didik); seperti pemalas, berdusta dan tidak jujur, atau berpura-pura menyatakan apa yang tidak terdapat di dalam pikirannya. Sikap yang demikian dapat terjadi disebabkan karena merasa takut disakiti dengan perlakuan yang kasar, terutama jika mereka berkata yang sebenarnya[15].
2)                              Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai Uswah al-Hasanah (suri teladan) bagi peserta didik. Keteladanan di sini dipandang sebagai suatu cara yagn ampuh untuk membina akhlak dan menanamkan prinsip-prinsip terpuji kepada jiwa peserta didik. Menurut Ibn Khaldun, peserta didik akan memperoleh ilm pengetahuan, ide, akhlak, sifat terpuji dan pendidikan adalakanya dengan meniru atau melakukan kontak pribadi dengan lingkungannya, khususnya kepribadian para pendidik.
3)                              Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran, sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
4)                              Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna. Menurut Ibn Khaldun, diantara cara yang paling baik untuk mengisi waktu senggang adalah dengan membiasakan anak membaca, terutama membaca al-Qur’an, sejarah, syair-syair, hadis nabi, bahasa Arab, dan retorika[16].
5)                              Pendidik harus professional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya, serta kesiapan untuk menerima pelajaran. Di antara sikap terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pendidik ialah kemampuan mengungkapkan diri dengan jelas dalam dialog dan diskusi, serta mencoba menyampaikan kemampuan ilmiah kepada peserta didik yang dianggap sebagai suatu keahlian dalma pelajaran.

c.       Peserta didik
Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai muta’allim yang dituntut untuk mengembangkan segala potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Dia memberi petunjuk kepada muta’allim agar berhasil dalam studinya dan menyatakan : “ Hai pelajar, ketahuilah bahwa saya disini akan memberi petunjuk yang bermanfaat bagi studi mu, apabila kamu menerimanya dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh, kamu akan mendapatkan suatu manfaat yang besar dan mulia. Bahwa kemampuan manusia adalah anugerah khusus yang alami ciptaan Allah, sama seperti Dia menciptakan semua makhlukNya[17].
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai subyek didik, bukan obyek didik yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini menandakan bahwa Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang optimis terhadap peserta didik. Peserta didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subyek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan sebagai anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing ke alam kedewasaan. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai obyek didik yang memerlukan subyek didik yaitu guru.
Perbedaan istilah yang digunakan Ibnu Khaldun di dalam merujuk pengertian peserta didik, justru menunjukkan adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan yang memerlukan guru. Konsep ini berlaku untuk jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’allim yang dituntut secara mandiri. Konsep ini berlaku pada jenjang pendidikan tinggi.
d.      Kurikulum
Ibn Khaldun membuat klasifikasi ilmu dan menerangkan pokok-pokok bahasannya bagi peserta didik. Ia menyusun kukikulum yang sesuai sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Hal ini dilakukan, karena kukikulum dan sistem pendidikan yang tidak selaras dengan akal dan kejiwaan peserta didik, akan menjadikan mereka enggan dan malas belajar. Berkenaan dengan hal tersebut, Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi dua  macam, yaitu:
1)      Kelompok ilmu Naqli: ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.
2)      Kelompok ilmu Aqli: ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui panca indera dan akal.
Ibn Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu:
a)      Al-Quran dan hadis
b)      Ulum al-Quran
c)      Ulum al-Hadis
d)     Ushul al-Fiqh
e)      Fiqh
f)       Ilm al-Kalam
g)      Ilm al-Tasawuf
h)      Ilm Ta’bir al-Ru’ya
Menurutnya, al-Quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak. Al-Quran mengajarkan kepada anak tentang syari’at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap umat Islam[18]. Al-Qur’an yang telah ditanamkan pada peserta didik akan jadi pegangan hidupnya. Proses ini hendaknya dilakukan sedini mungkin, karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah karena otaknya masih jernih.
Secara khusus, ilmu aqli dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
a)      Ilmu logika (Mantiq)
b)      Ilmu Fisika: termasuk di dalamnya ilmu kedokteran dan ilmu pertanian
c)      Ilmu metafisika (‘Ilm al-Ilahiyat)
d)     Ilmu matematika termasuk di dalamnya ilmu geografi, aritmatika dan aljabar, ilmu music, ilmu astronomi, dan ilmu nujum.
Mengenai ilmu nujum, Ibn Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid. Pandangannya ini didasarkan asumsi bahwa ilmu tersebut dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar pebintangan. Hal itu, merupakan sesuatu yang bathil dan berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Menurut Ibn Khaldun, mempelajari ilmu-ilmu aqli (rasio) dipandang sebagai sesuatu yang lumrah bagi manusia dan tidak hanya milik suatu agama. Ilmu-ilmu aqli dipelajari oleh penganut seluruh agama. Mereka sama-sama memenuhi syarat untuk mempelajari dan melakukan penelitian terhadap ilmu-ilmu aqli. Ia menyebut bahwa ilmu-ilmu aqli merupakan ilmu filsafat dan kearifan[19]. Hanya dapat diketahui oleh manusia melalui proses berfikir dan meneliti, bukan berdasarkan wahyu an sich. Ilmu-ilmu rasio sepantasnya dipelajari dan dikuasai sebagian manusia. Hal ini disebabkan, demikian besar manfaatnya untuk kehidupan inividu dan masyarakat.
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya bukan substansialnya menjadi dua yaitu: pertama ilmu yang bernilai intrinsic, seperti ilmu-ilmu keagamaan (syar’iyyat); tafsir, hadis, fiqh, kalm; juga teologi dan ontology dari cabang filsafat. Kedua, ilmu-ilmu yang bersifat ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, seperti, kebahasa araban dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy, logika bagi filsafat dan ilmu hitung[20].
e.       Metode mengajar
Dalam hubungannya dengan mengajarkan ilmu kepada peserta didik, Ibn Khaldun menganjurkan agar para guru mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dengan metode yang baik dan mengetahui faedah yang dipergunakannya[21].
Metode mengajar menurut Ibnu Khaldun harus berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan akal manusia. Akal berkembang dimulai dengan mengerti tentang masalah-masalah yang paling sederhana dan mudah, kemudian meningkat mengerti tentang masalah yang agak kompleks, kemudian lebih kompleks.
Ibnu Khaldun mengungkapkan tiga langkah metode mengajar.
-          Pertama : hendaknya kepada peserta didik di ajarkan pengetahuan yang bersifat umum dan sederhana, khusus berkenaan dengan pokok bahasan yang tengah dipelajari. Pengetahuan ini hendaknya disesuaikan dengan tarap kemampuan intelektual peserta didik, sehingga tidak berada di luar kemampuannya untuk memahami. Hendaknya peserta didik belajar pada tingkat pertama atau paling sederhana[22].  
-          Kedua : seorang pendidik kembali menyajikan pengetahuan tersebut kepada peserta didik dalam tarap yang lebih tinggi dengan memetik intisari pelajaran, keterangan dan penjelasan yang lebih spesifik. Dengan demikian pendidik dapat mengantarkan peserta didik kepada tarap pemahaman yang lebih tinggi.
-          Ketiga : seorang pendidik mengajarkan pokok bahasan tersebut secara lebih terinci dalam konteks yang menyeluruh, sambil memperdalam aspek-aspek dan menajamkan pembahasannya. Tidak ada lagi yang sulit dan yang tidak diterangkan ataupun dibahasnya.
Pemikiran Ibu Khaldun tentang metode pembelajaran ini adalah kritik berdasar dari gaya para pendidik pada masanya. Kemudian Ibnu Khaldun juga menganjurkan dalam pembelajaran yaitu[23]:
-          Jangan menggunakan metode indoktrinasi terhadap peserta didik, karena hal ini berarti mendidik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya hendaknya mengajarkan beragam keilmuan secara sedikit demi sedikit mula-mula disampaikan permasalahan pokok-pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik hingga selesai materi.
-          Jangan banyak mengumpulkan ringkasan-ringkasan tentang bermacam-macam masalah keilmuan karena hal ini akan mengganggu proses pembelajaran, peserta didik dihadapkan pada kerepotan dalam memahami istilah-istilah ringkas tersebut
-          Jangan menggunakan metode menghapal hal-hal atau materi yang tidak berguna dalam rentang waktu cukup lama dan menyibukkan diri dengan banyak peristilahan tentang materi.
-          Jangan memberikan alokasi waktu yang banyak untuk mempelajari ilmu-ilmu alat (ekstrinsik)melebihi ilmu-ilmu utama (intrinsik), sehingga menyebabkan hilang fungsi ilmu alat sebagai ilmu penunjang.
-          Jangan menggunakan metode militerisasi karena pendidik bersikap keras terhadap anak didik, yang akan berdampak buruk bagi anak didik berupa kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Berdasarkan uraian di atas, pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan islam sudah jelas dan formulatif menyangkut teori bahwa institusi-institusi keilmuan di samping mampu mencetak out put pendidikan yang berkualitas, tetapi bisa jadi out putnya justru tidak berkualitas. Fakta ini tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Khaldun selalu menarik untuk dikaji dan diteliti, mengingat Ibnu Khaldun telah menjelajah ke seluruh wilayah dunia Islam, sehingga data yang diperoleh amat akurat. Metode mengajar Ibnu Khaldun menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan.
f.       Hukuman
Ibnu Khaldun tidak setuju jika mendidik anak dengan menggunakan kekerasan, karena akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan anak yaitu menyebabkan kelemahan dan tidak sanggup membela kehormatan diri dan keluarga, karena anak tidak memiliki kemauan dan semangat yang berfungsi amat penting dan memperoleh keutamaan dan akhlak yang baik. Dengan kekerasan jiwa, anak akan menyimpang dari tujuan dan ruang lingkup hakikat kemanusiaannya[24].
Seorang pendidik hendaknya mengerti tentang perkembangan akal manusia secara bertahap, sehingga memungkinkan baginya untuk menerapkan perkembangan ini dalam mendidik anak. Disamping itu Ibnu Khaldun juga memberikan nasehat kepada pendidik agar tidak bersikap otoriter terhadap peserta didik yang masih kecil, karena paksaan terhadap tubuh di dalam upaya pendidikan akan sangat membahayakan peserta didik, terutama yang masih kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil akan menimbulkan kemalasan dan menyebabkan mereka berdusta serta membenci ilmu dan pendidikan[25].
Ibnu Khaldun menganjurkan agar seorang pendidik tidak berlaku kejam dalam mendidik dan mengajar anak. Pendidik harus menyesuaikan penggunaan hukuman. Hukuman tidak boleh dilakukan berpisah dari tujuan yang ingin dicapai. Pendidik tidak boleh menghukum sekedar menghukum saja. Prinsip hukuman sebagai alat mendidik penting, akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik, kecuali dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain.
Ibnu Khaldun memandang hukuman adalah metode kuratif, mengingat tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki anak didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya. Hukuman harus diberikan jika anak didik sudah melakukan kesalahan yang benar-benar dapat mengganggu kelancaran proses belajar mengajar atau dapat mengganggu perkembangan jiwa anak. Karena hukuman bersifat kuratif, maka tidak boleh terlalu sering memberikan hukuman.
Hukuman boleh dilakukan ketika dengan cara nasehat atau peringatan tidak berhasil, namun yang perlu dicatat bahwa hendaknya hukuman yang dijatuhkan kepada peserta didik dapat dipahami, sehingga peserta didik sadar dengan kesalahan yang telah dilakukan dan tidak akan mengulangi hal yang sama.
3.      Relevansi Paradigma Ibnu Khaldun Pada Pendidikan Islam Masa Kini
Dengan laju perputaran kondisi jaman yang semakin berkembang dan berubah, tentu waktu yang telah berjalan tidak bisa digantikan oleh waktu sekarang, begitu juga dengan kondisi pada masa lalu tidak bisa digantikan atau relevan dengan masa kini. Oleh karena itu, dalam hal cara berpikir dan cara memandang seorang tokoh tentunya tidak selalu relevan untuk diaplikasikan ke segala dimensi waktu dan ruang, terlebih tokoh-tokoh pemikir klasik.
Namun pemikiran ibnu khaldun banyak yang masih relevan jika diaplikasikan untuk pendidikan islam masa kini. Hal ini bisa dilihat dalam hal menetapkan tujuan pendidikan. Tinjauan filsafat yang digunakan ibnu khaldun sangat nampak, meski juga sangat pragmatis untuk memasukkan unsur mencari kehidupan dalam tujuan pendidikan. Begitu juga dengan pandangan ibnu khaldun tentang materi dan kurikulum menunjukkan bahwa ibnu khaldun memang matang berpikirnya dan dalam pengajaran al-qur’an patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain. Hal yang tidak berbeda jauh adalah prinsip ibnu khaldun bahwa belajar bukan penghapalan di luar kepala, namun pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi.
Ibnu khaldun dalam menjelaskan materi dan kurikulum yang diajarnya dalam metode pendidikan selalu mempehatikan bahasa sebagai jembatan memperoleh ilmu. Ibnu khaldun menganjurkan agar pada anak-anak sebaiknya terlebih dahulu diajarkan bahasa arab sebelum ilmu-ilmu lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan. Menurut ibnu khaldun, mengajarkan al-qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca hal-hal yang tidak mengertinya.










C.    PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi Ibnu Khaldun, pendidikan utamanya untuk peserta didik. Pendidikan harus memberikan nilai manfaat bagi peserta didik dengan pendekatan yang efektif dan efisien. Pendidik tidak boleh memaksakan kehendak dalam memberikan materi kepada peserta didik. Jenis ilmu yang diberikan kepada peserta didik jga harus bertahap, dan yang terpenting pendidikan harus dilakukan dengan melalui proses yang bertahap dan penuh kasih saying.
Paradigma Ibnu Khaldun terhadap pendidikan pada hakikatnya lebih menonjolkan dan mementingkan konsep pendidikannya kepada pembentukan perilaku, akhlak dan budi pekerti. Hal ini dilakukan sebagai wujud apresiasi Ibnu Khaldun terhadap ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Terkait dengan konsep pendidikan, Ibnu Khaldun pada hakikatnya lebih dulu dibandingkan dengan konsep pendidikan yang dibangun oleh para filosof barat, akan tetapi karena faktor publikasi yang minim dari umat Islam, menyebabkan seakan-akan konsep tersebut diambil dari konsep pendidikan barat.
Aliran pragmatism yang disampaikan oleh ibnu khaldun ini, merupakan salahsatu wacana dalam pemikiran pendidikan Islam. Melalui pemikikrannya Ibnu khaldun ingin mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-ruhaniah maupun kebutuhan material.















DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abudin. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Ridlo, Jawad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis Filosofis), trj. Mahmud Arif dari judul al-Fikr al-Tarbawi al-Islamiyu Muqoddimat fi Usuli al-Ijtimaiyati wa al-Aklamiyat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002.

Nizar, Samsul dan Ramayulis,. Fisafat Pendidiklan Islam. Jakarta: kalam Mulia, 2009.

Khaldun, Abd. Al-Rahman Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi. Cairo: Dar al-Nandhah, 1982

Ali, Fachry. “Realitas Manusia: Pandangan Sosiologi Ibnu Khaldun” dalam Dawam Rahardjo, Insan Kamil:Konsepsi Manusia Menurut Islam. Jakarta: Grafiti Press, 1987.

Bawani, Imam. Segi-segi Pendidikan Islam. Surabaya: al-Ihlas, 1987.

 Charlene Tan, Philosophical Reflections For Educators  Singapore : Cengage Learning Asia Pte Ltd, 2007

Djamaluddin Dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1998
Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern, Jakarta : Raja Grafindo, 2004

Thoha Ahmadi, Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta : Tim Pustaka Firdaus, 2001

Ahmad Fu’ad, al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Ma’arif: 1982

Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1987
M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. A. Ghani Dan Bahri Johar, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Fathiya Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu Dan Pendidikan, Bandung: Cv. Diponegoro, 1987


MAKALAH PRAREVISI

[1] Tan Charlene, Philosophical Reflections For Educators(Singapore : Cengage Learning Asia Pte Ltd, 2007), hlm.3
[2] Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, (Surabaya: al-Ihlas, 1987),  hlm. 73-74.
[3] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 9.
[4] Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis Filosofis), trj. Mahmud Arif dari judul al-Fikr al-Tarbawi al-Islamiyu Muqoddimat fi Usuli al-Ijtimaiyati wa al-Aklamiyat, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), hlm. 74.
[5] Djamaluddin Dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam(Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm.9
[6] Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern (Jakarta : Raja Grafindo, 2004), hlm.66
[7] Ramayulis, samsul nizar, Fisafat Pendidiklan Islam, (Jakarta: kalam Mulia, 2009), hlm. 281.
[8] Abd.Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi.(Cairo: Dar al-Nandhah,1982), Jilid, I, hlm.10-11.
[9] Fachry ali, Realitas Manusia: “Pandangan Sosiologi Ibnu Khaldun” dalam Dawam Rahardjo, Insan Kamil:Konsepsi Manusia Menurut Islam(Jakarta : Grafiti Press, 1987), hlm.153. 
[10] Ibid,hlm. 153.
[11] Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis Filosofis), trj. Mahmud Arif dari judul al-Fikr al-Tarbawi al-Islamiyu Muqoddimat fi Usuli al-Ijtimaiyati wa al-Aklamiyat, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), hlm. 74.

[12] Abd.Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi.(Cairo: Dar al-Nandhah, 1982), hlm.1018-1019
[13] Ibid, hlm. 1018
[14] Ibid, hlm.1097
[15] Abd.Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi.(Cairo: Dar al-Nandhah, 1982), hlm.1253
[16] Ibid, hlm.1253
[17] Thoha Ahmadi, Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta : Tim Pustaka Firdaus, 2001), hlm.752
[18] Ahmad Fu’ad, al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Ma’arif: 1982), hlm, 218.
[19] Abd.Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi.(Cairo: Dar al-Nandhah, 1982), hlm.1019
[20] Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis Filosofis), trj. Mahmud Arif dari judul al-Fikr al-Tarbawi al-Islamiyu Muqoddimat fi Usuli al-Ijtimaiyati wa al-Aklamiyat, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), hlm. 104
[21] Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1987), hlm. 255.
[22] Abd.Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq Ali Abd al-Wahid Wafi.(Cairo: Dar al-Nandhah, 1982), hlm.394

[23]. Ibid, hlm. 748-764
[24] M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. A. Ghani Dan Bahri Johar (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 157
[25] Fathiya Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu Dan Pendidikan (Bandung: Cv. Diponegoro, 1987), hlm. 73

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter