-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Model Penelitian Politik: “Islam dan Masalah Kenegaraan” (Dr. Ahmad Syafii Ma’arif)

Model Penelitian Politik: “Islam dan Masalah Kenegaraan”
(Dr. Ahmad Syafii Maarif)


Disusun Oleh:
Ervi Wilandari
Nurul Izah

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
      Islam Indonesia dimana ini memiliki cakupan luas jika dilihat dari pemetaan wilayah, proses masuknya islam di Indonesiapun memiliki banyak berdebatan dalam setiap pemahaman. Dalam posisinya sebagai posisi kualitas dan kuantitas yang mana islam di Indonesia ini akan selalu mengalami proses yang berkelanjutandari zaman ke zaman.
      Kita bisa mengamati kegiatan kegiatan di sepanjang sejara sejak munculnya islam dan perpolitikan yang ada dari zaman Nabi dimana itu pada abad 7M, lalu islam di Indonesia pun tidak jauh pula dari prosses sejarah masuknya islam di indonesia, kita ketahui bersama bahwa islam di indonesia ini dianggap islam pinggiran, yang mana ini dilihat dari letak wilayah pemetaan.
     Dari proses alamiah inilah indonesia memiliki karakterristik tersendiri, dan mengagumkan di kalangan penyebarannya islam memperluas wilayah nusantara selama berabad abad yang lalu, akan tetapi  ada yang lebih menarik lagi untuk di amati perkembangan yang ada di indonesia yakni adalah islam dan medel politiknya di indonesia
     Berbicara tentang Islam dan Masalah Kenegaraan tidak jauh dari sejarah islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, yang mana ini pun juga tidak menyimpang jauh dari sejarah islam di Indonesia, proses sejarah islam di Indonesia dari sudut pandang inilah munculnya berbagai pertanyaan dalam benak kita. Sejarah dari Indonesia  dimana sesungguhnya Indonesia ini bisa dikatakan bangsa muslim pinggiran.[1]
      Dari berbagai kultur kebudayaan dan tradisi-tadisi bangsa indonesia yang beraneka ragam inilah Indonesia memiliki karakteristik bangsa yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sebuah sejarah menyatakan bahwa islam untuk pertamakalinya telah mememunculkan sebuah politik, pada masa setelah wafatnya Nabi muhammad ini memperkukuh teori politik di golongan sunni, yang mana abu bakar terpilih sebagai pemimpin dari kaum umat islam, dan sejarah ini menjadi tiik tolak pada masa awal sejarah politik islam, pada saat wafatnya Nabi Muhammad dan terpilihnya abu bakar sebagai pemimpin inilah yang di sebut sebagai pelaksanaan syura.[2]


B.     RUMUSAN MASALAH
Dari beberapa ungkapan ungkapan yang digambarkan diatas maka ditariklah rumusan masalah
      “ Bagaimana sejarah perpolitikan pada masa sebelum dan sesudah merdeka aplikasinya di negara Indonesia”.

C.    KAJIAN PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan (Studi Tentang Percaturan dan Konstituante) yang di terbitkan pada tahun 1985. Buku ini merupakan hasil dari disertasi Dr. Ahmad Syafii Maarif ketika merampungkan studi di Chicago University (Amerika Serikat). Studi ini terdiri dari lima bab yang saling berhubungan secara organik dan logis. Bab I adalah pendahuluan. Sebelum memasuki tema pokok pembicaraan, suatu pengertian singkat dan tepat tentang Al Qur’an dan Nabi. Selain ini juga harus di pertimbangkan secara hati-hati teori-teori politik yang dirumuskan oleh para yuris muslim abad pertengahan dan oleh sarjana-sarjana serta pemikir-pemikir muslim modern. Ini semua didiskusikan dalam Bab II. Bab III bertitik berat pada mendekati islam Indonesia abad ke-20, yang tidak saja bersifat deskriptif-historis, tapi juga analitis-evaluatif. Bab IV menguraikan secara kritis masalah yang sangat krusial, yaitu pengajuan islam sebagai dasar falsafah negara oleh partai-partai islam dan tentangan kelompok nasionalis dalam sidang-sidang Majelis Konstituante. Dan terakhit Bab V yaitu kesimpulan.[3]
D.    METODOLOGI
Model penelitian politik menurut A. Syafi’i Ma’arif dengan menggunakan metodologi penelitian perpustakaan dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif  historis. Dari pendekatan tersebut A. Syafi’i Ma’arif ialah ingin memamahami lebih sempurna bentuk perjuangan para politisi muslim dengan stratgi ingin menjadikan islam sebagai dasar negara pada bagian akhir tahun 1950-an.
Metode penelitian yang digunakan Syafii Maarif adalah metode deskriptif historis dengan menjelaskan secara konkrit sejarah perjuangan umat islam pada abad-20, khususnya pada tahun 1950-an. Setelah diungkap secara jelas, kemudian Syafii Maarif menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis evaluatif guna mendapatkan jawaban atas fokus masalah yang diangkatnya.
E.     PEMBAHASAN
1.      Islam dan Masalah Kenegaraan menurut A. Syafii Maarif
a.      Islam dan Cita-cita Politik
Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, Al Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini. Menurut muhammad Asad, Al Qur’an memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai perorangan dan sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang berimbangdi dunia ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat. Al Qur’an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan yang baik di sini dan kini merupakan prasyarat bagi kebahagiaan hidup yang akan datang. [4]
Seterusnya Al Qur’an memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik, semua bagian-bagiannya haruslah dibimbing oleh petunjuk dan perintah-perintah etik dan moral yang bersumber dari wahyu terakhir itu. Memang Al Qur’an     mengajarkan konsep kesatuan kehidupan yang padu dan logis. Karena perhatian kita dalam bagian ini adalah untuk menjelaskan dan memahami perintah-perintah dasar moral tertentu bagi cita-cita politik islam yang dapat diambil dari Al Qur’an dan yang telah diterjemahkan secara nyata oleh Nabi Muhammad dan para penerusnya yang dekat, maka aspek-aspek lain dari kehidupan manusia, seperti bidang ekonomi, sosial dan kultural, sekalipun semua bidang ini berkaitan secara organik dengan ajaran-ajaran Al Qur’an.[5]
Bila dilihat dari sudut pandangan seorang muslim tentang tujuan penciptaan suatu negara, maka akan diperoleh gambaran sebagai berikut, yaitu bahwa tujuan “suatu negara islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua.”[6]
Risalah Al Qur’an, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, adalah untuk memberi petunjuk kepada manusia. Manusia bukanlah hanya sebagai makhluk sosial, tapi juga secara alamiah sebagai makhluk politik, sebagaimana pernah dikatakan oleh Aristoteles. Maka agar kita mendapatkan pengertian yang menandai tentang bagaimana petunjuk Al Qur’an beroperasi dalam kenyataan sejarah, kita perlu menjajagi secara ringkas karir sejarah Nabi Muhammad baik di masa Mekkah (610-622 M), maupun di masa Madinah (622-632 M). Dari Al Qur’an orang dapat melihat bahwa periode akhir hanyalah kelanjutan dan pengembangan dari periode awal. Jika di sana nampak perbedaan, hal itu terutama terletak dalam kenyataan bahwa Nabi tidak punya kekuasaan politik untuk menyokong missi kenabiannya pada masa Mekkah, sementara di Madinah ia “sebagai kepala politik-agamanya,”[7]sekalipun ia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang penguasa. Posisi Nabi yang sebenarnya sebagaimana didefinisikan Al Qur’an ialah: “Sesungguhnya Allah telah mengaruniai orang-orang mukmin dengan membangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari jenis mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab Suci dan kebijakan, sedangkan sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata (III:164).” Posisinya sebagai Rasul Allah tetap tidak berubah sampai saat wafatnya pada 632 M. “Muhammad hanyalah seorang Rasul,” kata Al Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 144.
Pada masa kerasulan Nabi Muhamad yang beralngsung selama 23 tahun terbagi atas dua periode yaitu, periode Mekkah yang berlangsung selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10 tahun.[8]Setelah wafatnya Rasulullah pertemuan di balai Banu Sa’idah menjadi titik tolak yang penting dalam sejarah politik islam pada masa awal, pertemuan ini disebut sebagai pelaksanaan syurapertama dikalangan umat sejarah. Pada hari berikutnya pemilihan Abu Bakar dikuatkan oleh ijma’umat islam dan ijma’pertama inilah yang menjadi dasar bagi teori politik golongan sunni.
Pada massa Al-Khulafa Al-Rasyidin (11-41 H/632-661 M), bentuk negara lebih tepat disebut sebagai republik, karena sistem pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara pemilihan/pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya serta berdasarkan kriteria kesalehan, kemampuan dan prestasinya bukan berdasarkan kriteria keluarga.[9]Setelah pemerintahan Al Khulafa Al Rasyidin dilanjutkan era Bani Umayyah berlangsung tahun 611-750 M yang dipimpin oleh Muawiyah dan beberapa khalifah yang menonjol pada masa itu, dan kemudian pada tahun 750 M digantikan oleh dinasti Abbasiyah. Sementara itu sangat penting untuk diingat bahwa lebih dari tiga abad setelah Nabi mendirikan tatanan sosial politik islam di Madinah, baru para yuris muali berspekulasi dan menyusun teori politik mereka, yaitu pada saat pemerintahan Abbasiyah mengalami kemunduran.
b.      Islam Indonesia pada Abad ke-20
1)      Politik Islam Hindia Belanda
Sebuah penilaian yang pantas terhadap pengalaman dan kegiatan politik islam pada masa mutakhir Indonesia terutama tergantung kepada pengertian yang agak cukup terhadap islam sebagai kekuatan pembebas berhadapan dengan politik kolonial Belanda terhdap umat islam pada empat dekade pertama abad ini. Bahkan sebelumnya, yaitu sejak kedatangan kompeni india timur Belanda ke nusantara pada permulaan abad ke-17, “Belanda telah menghadapi sikap permusuhan umat islam di Indonesia.”[10]
Secara kasar, politik Belanda terhadap umat islam Indonesia dibagi menjadi dua prinsip: pertama, bercorak keagamaan, dan kedua bercorak politik. Terhadap yang pertama, pemerintah menunjukkan sikap toleran dan politik netral.[11]Hal ini berdampak pada pemerintahan dan keagamaan terutama berdampak pada lingkungan pendidikan tradisional, sehingga umat islam mendirikan kubu-kubu pendidikan baru di daerah pedalaman, dan merekan melancarkan perlawanan kultural keagamaan terhadap nilai dan gagasan yang bercorak asing. Berawal dari sinilah sehingga gerakan islam bermunculan yang diawali oleh NU (Nahdlatul Ulama) yang merupakan gerakan islam terbesar dengan latar belakang pesantren didirikan pada tahun 1926 di Surabaya. Selain NU masih ada lagi gerakan-gerakan islam konsevatif lokal, seperti Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Al Washliyah, NW (Nahdlatul Wathan) di Lombok, dan PUI (Persatuan Ummat Islam) di Jawa Barat.
Pusat pembelajaran tradisional bagi umat islam yang berada di daerah di pedesaan yaitu pesantren. Pada mulanya pesantren tidak mempunyai kurikulum terperinci, memberi gelar atau sertifikat. Dan beberapa fenomena yang khas dan menarik dalam pesantren, otoritas kyai begitu dominan dan sangat dihormati. Santri mempunyai kewajiban taat dan tunduk kepada kyai hampir-hampir sampai pada batas mutlak.
Sejak dekade kedua dan ketiga abad ke-20, Indonesia telah mengenal berbagai gerakan modernis Islam,seperti: Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al Irsyad dan Serikat Islam.Tiga yang pertama adalah gerakan dan organisasi sosio-keagamaan, dan yang pling berpengaruh diantaranya ialah Muhammadiyah. Muhammadiyah didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 18 November 1912,  karena berhasil mendirikan banyak sekolah dan madrasah, masjid, rumah sakit, klinik, rumah yatim piyatu dan lembaga sosial lainnya. Pada masa ini para pejabat-pejabat Belanda di Indonesia memandang bahwa gerakan pada modernis ini tidak berbahaya bila dibandingkan dengan gerakan nasional, sehingga Muhammadiyah mempunyai kesempatan yang baik untuk mengembangkan kegiatan sosial keagamaannya diseluruh Indonesia.
Karena keberhasilan Muhammadiyah dalam menyebarkan dan memasyarakatkan gagasan-gagasan modernis islam itulah setidak-tidaknya secara kuantitatif, kita merasa dapat dibenarkan bila menganmbil gerakan ini sebagai wakil dari dari modernisme Islam Indonesia. Sekalipun Al Irsyad dan Persis masing-masing didirikan pada 1914 dan 1923 cukup penting, namun pengaruhnya masih terbatas. Tambahan lagi, pemahaman mereka terhadap islam boleh dikatakan tidak berbeda dengan pemahaman Muhammadiyah. Sekiranya ada sedikit perbedaan, maka perbedaan itu terutama terletak pada cara dan gaya menyebarkan ide. Persatuan Islam (persis) misalnya bersikap lebih radikal, tanpa kompromi, seperti sikap Ibn Taimiyah atau bahkan seperti Ahmad bin Hanbal. Sedangkan Al Irsyad, seperti halnya Muhmmadiyah adalah gerakan Islam yang lebih moderat, dengan jangkauan pengaruhnya yang terbatas, yaitu terutama dikalangan keturunan Arab kebanyakan, bukan kelas sayid. Akhirnya Serikat Islam (SI), didirikan tahun 1911, adalah gerakan politik indonesia tingkat nasional yang pertama.[12]Serikat Islam adalah satu di antara organisasi politik di Indonesia abad ke-20 yang menonjol. Berbeda dengan Muhammadiyah yang bercorak sosio-keagamaan, SI sejak semula adalah gerakan politik.
Kekuasaan kolonial Belanda diusir dari Indonesia pada bulan maret 1942 oleh pasukan Jepang tanpa perlawanan yang berarti dari pihak penjajah Belanda. Kedatangan Jepang mula-mula disambut dengan antusias bukan saja oleh umat islam, tapi juga oleh seluruh bangsa Indonesia.
Lantaran kesadaran yang mendalamakan pentingnya perbaikan komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berasaskan islam, maka K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H.A Wahab Chasbullah (NU), dan pimpinan-pimpinan islam lainnya dari SI, Al Irsyad, Al Islam (organisasi islam lokal di solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka, Jawa Barat) dan lain-lain, telah berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) di Surbaya pada tanggal 21 September 1937. Inisitif ke arah persatuan dan saling pengertian ini juga didorong oleh dua kenyataan. Pertama, usaha-usaha politis yang bercorak islam pada waktu itu masih berserakan dan karena itu persatuan amat diperlukan dalam kerangka perjuangan melwan Belanda. Pentingnya persatuan dikalangan umat juga dituntut secara tegas oleh Al Qur’an: “Berpegang teguhlah kepada tali Allah, dan jangan kamu bercerai berai” (Q.S. Ali Imran:103). Ayat ini telah membimbing pemimpin-pemimpin islam pada waktu mereka membentuk MIAI. Asanya friksi-friksi di bidang politik dan perbedaan-perbedaan paham dalam soal khilafiyah di kalangan umat perlu dibenahi di atas dasar semangat persaudaraan dalam MIAI. Kedua, adanya contoh yang kompetitif dari golongan nasionalis sekuler yang juga berusaha mempersatukan dirinya. Kenyataan ini telah semakin mendorong pemimpin umat untuk menatap posisi politik mereka secara lebih kritis, dan persatuan lewat MIAI dipandang cukup memberi harapan pada waktu itu. Dengan persatuan diharapkan mobilisasi seluruh gerakan islam untuk menghadapi pihak penjajah. Belum sampai lima tahun setelah kehadiran MIAI, pasukan Jepang mendarat di Indonesia dan dengan mudah dapat mengusir Belanda.[13]
2)      Islam dan Penduduk Jepang
Berlainan politik netral yang dikembangkan penguasa Belanda terhadap islam, penguasa Jepang berusaha membujuk pempimpin-pemimpin umat agar bersedia bekerjasama dengan mereka. Jepang menyebut dirinya sebagai “saudara tua” rakyat Indonesia. Ditempuhnya politik semacam ini terutama bertujuan untuk memobilisasi seluruh penduduk dalam rangka menyokong tujuan-tujuan perang mereka yang cepat dan mendesak. Maka dalam konteks sosiopolitik dan militer seperti inilah kita harus meneropong mengapa pihak fasis Jepang mebiarkan MIAI hidup buat sementara. Jepang memang benar-benar membutuhkan bantuan umat islam.[14]
Pemerintah Jepang di Indonesia diawali dengan menciptakan Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibukota pada bulan Agustus 1944, dibuka pula cabang-cabangnya yang dinamakan Shumuka diseluruh kepulauan Indonesia.[15]Shumubu mula-mula dikepalai oleh Kolonel Horie, seorang Jepang. Kemudian digantikn oleh Prof. Husein Djajaningrat, dan selanjutnya oleh K.H. Hasjim Asj’ari, tokoh ulama terkenal di Jombang, Jawa Timur. Menurut Nourouzzaman, pengangkatan K.H. Hasjim Asj’ari hanyalah sebagai simbol saja dalam rangka meminjam pengaruh wibawanya, sedangkan yang menjalankannya adalah K.H.A. Wachid Hasjim, anaknya.[16]Keuntungan lain yang diperoleh umat islam pada masa pendudukan Jepang ialah dibentuknya pasukan Hizbullah (unit militer bagi pemuda islam), dan disamping pasukan hizbullah para pemimpin umat juga membentuk sabillah (organisasi militer bagi ulama).
Bertumbuhnya peranan kekusaan islam telah memberikan pengalaman baru dan mulai mekarnya rasa percaya kepada diri sendiri  dikalangan umat islam dalam berurusan dengan administrasi pemerintahan. Melalui Hizbullah dan Sabillah sebagai unit-unit militer, umat islam di bawah pengayoman pemimpin-pemimpinnya sendiri mulai belajar pempergunakan senjata-senjata modern, sesuatu yang sama sekali tidak mungkin mereka alami pada masa penjajahan Belanda. [17]
Kembali pada sikap MIAI sudah jelas bahwa federasi ini mengasosiasikan dirinya kepada kegiatan-kegiatan menentang pemerintah kolonial. Karena itu, lantaran menyadari kecenderungan-kecenderungan antikolonial ini, Jepang membubarkan MIAI pada bulan oktober 1943, dan membentuk federasi lain dengan nama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Alasan pembubaran MIAI ialah karena dikhawatirkan bahwa MIAI akan membelokkan arah anak panahnya kepada Jepang. Akan halnya Masyumi, karena “made in Japan”, di harapkan akan mudah di kontrol. Seperti halnya MIAI, para pendukung utama Masyumi berasal dari Muhammadiyah dan NU.[18]Melalui pengalaman yang didapatkan oleh para umat muslim seperti latihan administrasi dan kemiliteran selama periode kependudukan, sekalipun suasana kehidupan rakyat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu kemiskinan dan kesengsaraan yang amat sangat, semata-mata karena memenuhi ambisi perang Jepang yang imperealistik itu, menurut Syafii Maarif untunglah ambisi perang Jepang ini cepat terpatahkan, bukan oleh kekuatan bangsa Indonesia, tapi oleh “amarah” Tuhan lewat tangan sekutu.
3)      Kemerdekaan Indonesia dan Kesadaran Politik Islam
Agar memperoleh gambaran yang agak tajam tentang gejolak politik umat islam selama hari-hari persiapan kemerdekaan, maka kiranya perlu diikuti perkembangan dan konflik-konflik politik antar berbagai golongan ideologi di Indonesia sekitar tiga bulan menjelang proklamasi kemerdekaan. Pengamatan tentang periode ini akan membantu kita menghayati sikap dan peranan umat islam melalui para pemimpinnya menghadapi isu-isu politik kunci dalam soal kenegaraan.[19]
Pada 9 April 1945, BPUPKI (dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Zunbi Tyoosakai) dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia sebagaimana telah diumumkan perdana menteri Koiso pada 9 September 1944, panitia ini dilantik pada 28 Mei, dan antara 29 Mei dan 1 Juni diadakan sidang-sidang yang pertama. BPUPKI di ketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Masalah-masalah pokok yang dibicarakan dalam BPUPKI berkisar pada persoalan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan hal-hal lain yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Perdebatan tentang masalah-masalah di atas, kecuali tentang dasar filsafat negara, berjalan dengan lancar. Untuk bentuk negara misalnaya, hampir seluruh anggota memilih bentuk republik. Tetapi sekali tentang dasar negara disentuh, iklim politik dalam sidang menjadi sangat hangat. Tokoh-tokoh terkemuka dari pihak nasionalis adalah Dr. Radjiman, Sukarno, Moh. Hatta, Prof. Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Sartoo, R.P. Suroso, dan Dr. Buntaran Martoatmodjo, semua tokoh ini adalah hasil dari didikan barat.
Dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan antara golongan islam dan golongan nasionalis tentang dasar negara yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri, dimana ada dua aliran politik yang muncul dipermukaan: islam dan aliran pemisahan negara dan agama. Perlu diketahui bahwa dalam pancasila Sukarno, sila ketuhanan diletakkan sebagai sila kelima. Dengan demikian Sukarno tidak menjadikan sila ketuhanan sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. Lebih dari itu, bagi Sukarno pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni:1. Sosio-nasionalisme, 2. Sosio-demokrasi, 3. Ketuhanan bahkan sila yang ketiga ini dapat diperas menjadi Ekasila dalam bentuk gotong-royong. Sudah pasti teori tripikal ini dipandang tidak masuk akal oleh setiap muslim yang sadar akan ajaran agamanya.[20]
Untuk membicarakan perbedaan ini lebih lanjut maka dibentuklah Panitia Sembilan yang tediri dari lima orang dari golongan nasionalis yaitu Soekrno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, Muh. Yamin dan AA. Maramis, sedangkan dari golongan Islam diwakili oleh, H. Agus Salim, Kyai Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakir. Adapun sembilan orang tersebut kemudian mulai mengubah susunan Pancasila versi Soekarno. “Ketuhanan yang Maha Esa” di tempatkan menjadi sila pertaama. Sila kedua yang disebut Soekarno sebagai Internasionalisme atau perikemanusiaan” diganti menjadi “Perikemanusiaan yang adil dan beradab.” Adapun sila “Persatuan Indonesia digunakan untuk menggantikan “Kebangsaan Indonesia”. Pada sila keempat digunakan kata “kerakyatan” sedangkan terakhir, digunakan sila “Kesejahteraan Sosial”. Menurut Moh. Hatta pada 22 Juni 1945 rumusan hasil panitia 9 itu diserahkan ke BPUPKI dan diberi nama “Piagam Jakarta”. Namun, ada sejumlah perubahan pada sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”. Kemudian tujuh kata itu, “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”, kemudian dihapus.
Proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai aliran politik di Indonesia untu dengan bebas membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi. Maka pada tanggal 7/8 November 1945, melalui sebuah kongres umat islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Tetapi masyumi ini tidak sama dengan masyumi buatan Jepang, karena ia dibentuk dan didirikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan pihak luar.
Kongres November telah melahirkan dua keputusan penting. Pertama,  pembentukan sebuah partai politik dengan nama masyumi. Kedua, keculi masyumi, umat islam tidak memiliki partai politik lain. Dalam anggaran dasar masyumi ditegaskan secara gamblang bahwa: “tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi”.
4)      Dari Persatuan ke Perpecahan Politik
Kongres November 1945 para pemimpin umat telah mencapai suatu kata sepakat tentang masyumi sebagai satu-satunya partai politik islam. Tetapi dalam perkembangan sejarah pada tahun-tahun berikutnya. Pada bulan Juli 1947 PSII meninggalkan Masyumi, peristiwa ini dapat pula dipandang sebagai fenomena mulai merapuhnya ikatan dalam tubuh masyumi, pada tahun 1952 NU mengikuti jejak PSII, dan mengubah dirinya menjadi Jami’iyyah (gerakan sosial keagamaan). Peristiwa ini mengguncangkan Masyumi, karena NU mempunyai pengikut yang cukup besar, terutama di tiga provinsi: Jawa Timur,Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan.[21]Setelah keluarnya NU dari politik Masyumi parpos islam diwakili oleh Masyumi, NU, PSII dan Perti. Menjelang periode demokrasi terpimpin (1959-1965) sejarah Indonesia modern memasuki periode transisi setelah gagalnya demokrasi parlementer.
Sebelum melihat lebih jauh latar belakang mengapa NU meninggalkan Masyumi, perlu di catat lebih dulu sebab-sebab kemenangan NU di tiga provinsi tersebut. Di antara faktor penentu kemenagan itu ialah banyaknya jumlah pesantren dengan para kyainya yang berpengaruh di tiga provinsi tersebut, dan sebagian besar kyai itu adalah penyokong-penyokong NU yang tangguh. Dalam memperebutkan suara bagi kepentingan kemengan politik, para kyai mempunyai peran strategis , khususnya di daerah pedesaan, sedangkan lebih dari 70 persen Indonesia masih merupakan daerah pedesaan.[22]
Sekalipun perpisahan politik itu terjadi pada tahun 1952, namun akarnya harus dicari pada struktur kepemimpinan dalam masyumi sejak partai itu mulai di bentuk. Kongres November telah menciptakan dua badan dalam Masyumi, yaitu: 1. Dewan Eksekutif, dan 2. Dewan partai. Yang pertama bertugas menangani masalah-masalah politik, sedangkan yang kedua menangani masalah-masalah agama dalam arti sempit, yaitu yang bertalian dengan isyu-isyu hukum agama. Kemudian sejak tahun 1949, Dewan Partai hanyalah berfungsi sebagai Dewan Penasehat. Ulama-ulama NU sejak dari permulaan memang “dinobatkan sebagai raja” dalam dewan partai ini, yang dalam kenyataannya terpisah jauh dari politik praktis, dan inilh salah satu akar “kecemburun” itu. Di sisi lain, Dewan Eksekutif hampir seluruhnya dipegang oleh pemimpin-peminpin modernis. Kelompok modernis menganggap diri mereka lebih tauhu dan lebih berpengalaman dalam sol-soal politik ketimbang kelompok pesantren, terutama karena mengingat latar belakang pendidikan barat mereka. [23]
Sejarah islam pada pasca kemerdekaan Indonesia menjelaskan bahwa sekalipun kekuatan Masyumi bersama dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya sampai akhir 1949 memusatkan usaha mereka untuk memenangkan perjuangan kemerdekaan, namun persaan tidak pantas dari NU terhadap kepemimpinan politik modernis hanyalah surut ke belakang buat sementara waktu. Pada tahun 1949, menurut A.R Baswedan, kemungkinan memisahnya NU dari Masyumi hanyalah soal waktu belaka.[24]Barangkali hambatan yang menghalangi NU memisahkan diri dari perumahan Masyumi pada saat itu adalah karena mempertimbngkan tanggung jawab mereka yang mendalam dalam perjuangan kemerdekaan. Perpecahan politik di kalangan umat pada saat-saat kritis itu dipandang tidak bijak, sebab hanya akan melemahkan perjuangan kemerdekaan. Dengan demikian NU telah menujukkan kesabarannya sampai datangnya tempo yang tepat untuk berpisah. Dan tempo itu datang tiga tahun kemudian.[25]
5)      Islam dan Pemilihan Umum pertama
Negara Indonesia melakukan pemilihan umum untuk pertama kali diselenggarakan pada tanggal 28 september 1955. Yang mana kegiatan ini diikuti sebanyak 28 partai politik, sekalipun banyaknya peserta ataupun perorangan yang ikut serta didalamnya akan ada penbagian pembagian pemahaman idiologi yang mereka anut, yang mana sebenarnya tiga aliran ini sedah terlebih dahulu ada sebelum masa perang, munculnya aliran islam, munculnya aliran marxisme/sosialisme, dan aliran nasionalisme sekuler. Pemilihan umumdalam pengadaan yang pertama ini dilaksanakan oleh Kabinet Burhanudin Harahap  (masyumi).
Yang mana hasil pemilihan umum ini tidak dapat memberikan hasil yang membanggakan pada masa itu. Yang mana tidak ada satu aliran pun yang mendapat suara terbanyak segingga setelah berakhirnya pemilu kabinet Ali-Roem-Idhom (PNI-Masyumi-NU). Kabinet yang terbentuk ini mendapat sokongan yang kuat dari parlemen, akan tetapi kabinet yang terbangun ini tidak mempu bertahan lama, karena perbedaan pendapat dalam menanggapi sebuah isyu-isyu inilah menjadi salah satu faktor penyebabruntuhnya kabinet tersebut faktor lain pun bermunculan, sikap dari oposisis dari presiden sukarno yang mana sejak awal ingin membentuk kabinet berkaki empat yang amana ini dari kabinet ini adalah pendukung PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Dengan  runtuhnya kabinet Ali-Roem-Idhom (PNI-Masyumi-NU). Partai Politik kontemporer yang diusung indonesia ini ikut serta mengamami kemerosotan yang drastis, sehingga harap hanyalah tinggal harapan belaka, sejarah indonesia mederen memasuki transisi setelah kegagalan yang terjadi dalam sejarah demokrasi parlementer. Dengan kata lain harga demokrasi yang diusung oleh indonesia  ini sangatlah mahal harganya.
F.     Sumbangan Keilmuan
Beberapa sumbangan keilmuan yang dapat kita pelajari dari yang pertama masalah masalah moderen yang akan muncul di indonesia, yang mana masalah ini adalah masalah yang komplek yang sedang kita hadapi diera perkembangan politik saat ini. Sistem politik demikrasi adalah sebagai pelaksanaan dari prinsip asyura, teori politik islam komprehensif dapat di operasikan kembali yang mana ini dilihat dari literatur islam moderen.Hal yang menjadi salah satu kendala usaha dalam penciptaan negara islam atau yang berdasarkan keislaman ini menghadapi sesuatu yang tak bisa diselesaikan.proses keislaman masyarakat indonesia.
G.    Kesimpulan
Keberagaman pemeluk agama di Indonesia menjadikan faktor utama dalam merumuskan konsep Dasar Negara, perubahan yang terdapat pada sila pertama di Piagam Jakarta merupakan upaya agar terciptanya persatuan, terkhusus persatuan kehidupan dalam beragama, dan juga persatuan dalam bernegara. Konsep Dasar Negara tersebut merupakan refleksi dari kandungan Islam itu  sendiri, yang telah di rmuskan oleh para tokoh agama islam dan para tokoh nasionalis.
Menurut Syafii Maarif Islam membutuhkan instrument yang disebut Negara. Negara menurut Syafii Maarif merupakan alat yang penting bagi agama, namun demikian agama (islam) tidak harus atau di jadikan dasar Negara. Aspirasi politik hendaknya bukan menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan memformalisasikan syariat Islam, akan tetapi menjalankan kehidupan atas dasar kebersamaan dan bermusyawarah (syura’).
Munculnya permasalahan politik Islam di Indonesia diawali pada masa perpecahan politik yang terjadi pada masa revolusi, dimana organisasi-organisasi Islam memisahkan diri dari Masyumi, sehingga menyebabkan melemahnya kekuatan politik Umat Islam di Indonesia.


H.    Daftar Pustaka
Ahmad Solikhin, “Pemikiraan Politik dan Agama Ahmad Syafii Maarif”. Jurnal Politik Muda, vol 2 No.1, Januari-Maret 2012
Benda, Harry J, Continuity and Change in Southeast Asia, (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1972)
Fazlur Rahman, “The islamic Concept of State,” dalam John J. Donuhue and John L. Esposito (Eds.), Islam in Transition: Muslim Pers Pectives (New York:Oxford University Press
Fazlur Rahman, “Islam and The State. “Makalah yang disajikan pada the Conference of Religious Conviction and Public Action: The Life of Faith in a Pluralistic World”, the University of Chicago, 2 April 1982
Kamal, Zainul, Yudi Latif dkk, Islam Negara dan Civil Society, (Jakarta:Paramadinah,2005)
Singodimedjo, Serial, hal.7. B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff,1971)
Lih, Muhammad Asad, The Message of The Qur’an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, cet ke-1. (Jakarta:Gema Insani Press, 1996)
Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar dalam Ahmad Syfii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta:LP3ES, 1985)
Zuhri, Saifuddin, K.H. Abdulwahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdltul Ulama, (Jakarta: Yamunu,1972

*) Makalah Prarevisi


[1]Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar dalam Ahmad Syfii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta:LP3ES, 1985), halm 2.
[2]Ibid.
[3]Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar dalam Ahmad Syfii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta:LP3ES, 1985), halm 8.
[4] Lih, Muhammad Asad, The Message of The Qur’an (Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980), halm I-II.
[5] Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar dalam Ahmad Syfii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta:LP3ES, 1985), halm 11.
[6] Fazlur Rahman, “The islamic Concept of State,” dalam John J. Donuhue and John L. Esposito (Eds.), Islam in Transition: Muslim Pers Pectives (New York:Oxford University Press, halm. 261-262.
[7] Fazlur Rahman, “Islam and The State. “Makalah yang disajikan pada the Conference of Religious Conviction and Public Action: The Life of Faith in a Pluralistic World”, the University of Chicago, 2 April 1982, halm, 2.
[8]Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, cet ke-1. (Jakarta:Gema Insani Press, 1996) halm. 32.
[9]Kamal, Zainul, Yudi Latif dkk, Islam Negara dan Civil Society, (Jakarta:Paramadinah,2005), halm.77.
[10] Benda, Harry J, Continuity and Change in Southeast Asia, (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1972), halm 83.
[11]Ibid, halm 87.
[12] Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar dalam Ahmad Syfii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta:LP3ES, 1985), halm 64.
[13]Ibid. Halm 95-96.
[14]Ibid. Halm 97.
[15] Singodimedjo, Serial, hal.7. B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff,1971), halm.9-10.
[16] Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar dalam Ahmad Syfii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta:LP3ES, 1985), halm 98.
[17]Ibid. Halm. 99.
[18]Ibid. Halm 100.
[19]Ibid. Halm 101.
[20]Ibid. Halm.104.
[21]Ibid. Halm115.
[22]Ibid. Halm 116.
[23]Ibid. Halm 117.
[24] Zuhri, Saifuddin, K.H. Abdulwahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdltul Ulama, (Jakarta: Yamunu,1972, halm. 58.
[25] Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar dalam Ahmad Syfii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study tentang Percaturan dalam Konstituante. (Jakarta:LP3ES, 1985), halm 118-119

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter