-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Model Penelitian Lembaga Pendidikan Islam


Makalah Pendekatan Pengkajian dalam Islam
MODEL PENELITIAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM: “PESANTREN, MADRASAH, DAN SEKOLAH PENDIDIKAN ISLAM DALAM KURUN MODERN (Karya: Karel A. Steenbrink)
  

Disusun Oleh:
Ahmad Abdul Qiso



Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, MA.


A.    Latar Belakang Masalah
Pada awalnya, ketika Steenbrink mengajukan prosposal untuk mencari sponsor, isinya adalah terkait dengan penelitian perbandingan tafsir di Indonesaia. Setelah pada bulan Maret 1970 dia berangkat ke Indonesia, di tahun pertama dia telah mengalami kesulitan karena pada waktu itu di Indonesai belum muncul diskusi mengenai metodik modern dalam tafisr secara umum. Oleh karena itu ia pindah kepada judul baru, yang sudah disiapkannya sebagai reserve, yaitu perkembangan kehidupan pesantren.[1]
Studi mengenai perkembangan Islam Modern di Indonesia telah banyak dilakukan oleh beberapa sarjana dan ilmuan sebelumnya, misalnya: pertama,Clifford Geertz, yang memberikan gambaran mengenai pesantren (dan Nahdlatul Ulama yang mengelola lembaga itu), dari responden yang dekat dengan dia, yaitu orang Muhamadiyah dari kota. Kedua, Dr. B.J. Boland[2], yang memeliti terkait dengan lembaga baru dalam Islam di Indonesia. Ketiga, Deliar Noer, yang meneliti tentang gerakan modern Islam di Indonesia. Ketiga penelitian ini mengambil fokus penelitiannya kepada gerakan kota, gerakan reformis, dan gerakan medernis.[3]
Karen A. Steenbrink tertarik meneliti lembaga-lembaga Pendidikan pesantren, karena dua hal: pertama, karena kehidupan di pesantren jika diperhatikan dan dialami untuk waktu yang lebih lama, memberikan sebuah pengalaman yang sangat manarik mengenai kehdupan dalam lingkungan khas Islam. Kedua, secara ilmiah Steenbrink mempunyai keyakinan, aspek kehidupan itu belum digambarkan dalam studi modern mengenai Islam di Indonesia. Ketiga, Steenbrink sebagai sebagai peneliti yang berlatar belakang Katolik, merasa lebih dekat dengan orang pesantren, daripada den gan orang Muhamadiyah atau Pesatuan Islam (Persis).[4]  
Selama proses penelitian Steenbrink melakukan pengamatan di sejumlah pesantren di pulau Jawa dan Sumatera, yaitu: di mulai dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Setelah melakukan kunjungan kebeberapa pesantren di daerah Sukabumi dan Garut, peneliti melakukan perjalanan ke Jawa Tengah. Kunjungan ini memakan waktu selama 8 bulan. Penelitian terakhir dilakukan di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Peneliti menetap selama tiga bulan di Gontor. Pesantren ini dipilih karena masih cukup berakar dalam tradisi pesantren, disamping sudah menempuh jalan baru.[5]
Hipotesa penelitian, bahwa sejak permulaan abad 20, telah terjadi sebuah perubahan besar dalam Pendidikan Islam di Indonesia: disamping lembaga tradisional seperti pesantren dan pengajian Qur’an sederhana, didirikan lembaga yang memakai metode modern dan sering disebut madrasah. Malah perubahan yang paling drastis adalah metodik yang dipakai Muhamadiyah untuk HIS: di sana sistem sekolah diikuti saja, ditambah sedikit (2-4 jam per-minggu) pelajaran agama. Pendidikan modern umat Islam di Indonesia sejak itu bersifat aneka ragam dengan dua pola ekstrim: lembaga tradisional di samping sekolah modern. Di antara dua pola ini memang ditemukan banyak bentuk sebagai upaya mencari jalan tengah atau sintesa antara dua ekstrim ini, dengan mengambil unsur yang baik dari dua sistem ini.[6]
Bab pertama dalam penelitian ini, Steenberink membahas tentang “problematika studi melalui pendekatan sejarah” (kajian terhadap dualisme Pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Agama, Situasi Pendidikan Islam pada awal abad ke-20, dan pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia). Bab kedua, peneliti membahas tentang “profil guru agama Modern”. Bab ketiga, peneliti membahas tentang “perubahan dalam materi pengajaran agama”, dan bab empat, peneliti membahas tentang “penghargaan agama terhadap Pendidikan umum”.[7]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana perkembangan pesantren dari zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia?

C.    Telaah Hasil Penelitian Terdahulu
Tema tentang Pendidikan Islam telah banyak dikaji oleh para sarjana, baik dalam dan luar negeri, yaitu:
Pertama, Zamakhsyari Dhofir dalam Tradisi Pesantren: Studi tentang Padanangan Hidup Kyai (1982). Fokus utama penelitian ini adalah “Bagaimana peranan kyai dalam memeliahara dan mengembangkan faham Islam tradisional di Jawa?” dan Apakah perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren dan Islam tradisional di Jawa pada era modern saat ini?. Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi lapangan, terutama atas dua pesantren, yaitu pesantren Tegalsari dan pesantren Tebuireng. Penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi  dengan metode historis[8]dan etnografis[9]. Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa walaupun para kyai terikat kuat oleh pola pemikiran Islam tradisional, namun mereka talah mampu membenahi dirinya untuk tetap memiliki peranan dalam membangun masa depan Indonesia. Para kyai menjadi penghubung antara Islam tradisional dengan dunia nyata. Dari hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa dalam membangun masa depannya, lembaga-lembaga pesantren beridiri dengan teguh di atas landasan traidisi masa lampaunya. Ada elemen-elemen lama yang dibuang, kemudian dimasukkan elemen-elemen baru; ada kebiasaan-kebiasaan lama yang dibuang, sementara lembaga-lembaga baru mulai diperkenalkan, dan sebagainya.[10]
Kedua, Manfred Ziemek dalam karyanya, Pesantren dalam Perubahan Sosial (1986). Fokus utama penelitan ini adalah “Bagaimana peranan Pendidikan Islam tradisional (pesantren) bagi perubahan sosiokultural di kawasan masyarakat Indonesia?”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berjenis library research. Pedekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosio historis.[11]Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai potensi Pendidikan dan kemasyarakatan di Indonesia yanag dapat di lihat pada pesantren tradisional. Menurutnya pesantren merupakan pusat pengembangan di bidang Pendidikan, politik, budaya, sosial, dan keagamaan.[12]
Berbeda dengan dua penelitian di atas (Zamakhsyari Dhofir fokus terhadap usaha-usaha yang dilakukan Kyai untuk memelihara tradisi pesanteren dan  Manfred Ziemek fokus terhadap bagaimana peran dan fungsi lembaga Pendidikan tradisional bagi proses pengembangan masyarakat pedesaan), penelitian karel A. Steenbrink ini fokus kepada perkembangan pesantren zaman colonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesai, yang belum banyak di lirik peneliti.

D.    Metodologi
Karel A. Steenbrink dalam penelitian ini, melakukan studi lapangan ke bebeapa pesantren di pulau jawa dan sumatera. [13]Pendekatan yang digunakan Steenbrink adalah pendekatan sosio antropologis dengan terlibat dan mengalami langsung di lapangan (di pesantren), dengan menggunkan matode sosio historis dan etnografis. Metode sosio historis digunakan untuk mengkaji dan menggali informasi terkait dengan perkembangan pesantren sejak era kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia, kemudian di intrepertasikan, yakni dari sistem Pendidikan pesantren yang masih murni dengan metode sorogan dan bandongan hingga dikembangkannya sistem Pendidikan madrasah dan sekolah umum. Sedangkan metode etnografis digunakan untuk menganalisis proses kebudayaan yang terjadi dalam lingkungan pesantren, yang melibatkan pengamatan yang luas terhadap pesantren tersebut. Peneliti ikut terlibat dalam kegiatan sehari-hari di pesantren untuk mempelajari makna dari prilaku, bahasa, dan intraksi di lingkungan pesantren.
Sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan karel A. Steenbrink “Pesantren, Madrasah, Madrasah: Pendidikan Islam dalam kurun modern” adalah dengan melakuan penelitian lapangan, dengan melakukan wawancara dan pengamatan lapangan. Adapaun sumber sekunder dalam penelitian ini adalah:
1.      Karya Mahmud Junus, “Sedjarah Pendidikan Islam di Indonesia”, Jakarta: 1960.
2.      Kartya Mukti Ali, “Pelbagai Persoalan Islam di Indonesia dewasa ini”, Yogyakarta: 1970.
3.      Karya Snouck Hurgronje, C. “Verspreide Geschriften”, Bonn dan Leipzing, 1923-25, Leiden: 1926, tiga jilid.
4.      Karya Lothrop Stoddard, “The new word Islam”, London, 1921 (dengan terjemahan Indonesia: “Dunia baru dalam Islam”, Jakarta:1966.

E.     Ruang Lingkup Penelitian
Karen A. Steenbrink dalam penelitiannya fokus kepada penelitian dan pengamatan terhadap lembaga-lembaga Pendidikan pesantren, yang dilakukannya di beberapa pesantren di jawa dan sumatera. Adapun ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah:
1.      Dari Pesantren hingga Madarasah dan Sekolah: Sebuah tinjauan historis dari zaman kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia
a.       Asal usul sistem Pendidikan yang dualistis
Pendidikan dualitas ini dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda. J.A. Van der Chijs (1865) ketika menjabat  inspektorat Pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda, ia sudah menolak menyesuaikan Pendidikan Islam yang ada, dengan alasan: “walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi, namun saya tidak menerimanya karena kebiasaan tersebut terlalu jelek[14], sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi. Hal ini juga dikemukan beberapa sarjana lainnya.[15]
Pada saat yang sama, di Minahasa dan Maluku terdapat sejumlah sekolah yang didirkan oleh Zending, tetapi mendapat subsidi dari pemerintah.[16]Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah ini akhirnya masuk dalam sistem Pendidikan umum gubernemen. Secara teknnis memasukkan sekolah tersebut ke dalam sistem sekolah umum lebih mudah dari pada memasukkan pesantren ke dalam sistem Pendidikan umum. Hal ini dikarenakan Zending mempunya hubungan yang baik dengan pemerintah kolonial Belanda dibandingkan Islam.[17]
Ketika tumbuh keinginan untuk mengembangkan satu sistem Pendidikan umum bagi semua pada pada pergantian abad ke 20, beberapa tokoh berpikir untuk mencari kemungkinan melibatkan Pendidikan Islam dalam pengembangan tersebut. Akan tetapi karena alasan politis, penggabungan sistem tesebut tidak terlakasana, sebagai akibat konsekuensi logis dari kebijaksanaan pemerintah Kolonial Belanda yang tidak mau campur tangan dalam persoalan Islam. Hal ini bisa di lihat ketika pada tahun 1888 Menteri Kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam. Semenjak itu (awal abad 20), sekolah Islam mengambil jalan sendiri, lepas dari gubernamen (hingga sekarang Pendidikan Islam terpisah dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, namun berada dibawah Kementerian Agama RI), tetap berpegang pada tradisinya sendiri, tetapi juga terbuka untuk perubahan dalam tradisi tersebut.[18]
b.      Situasi Pendidikan Islam pada awal abad ke-20
Pendidikan Islam yang paling sederhana adalah pengajaran Al-Qur’an, sebagaimana dikutip steenbrink dari Snouck Hurgronje bahwa “Pendidikan Al-Qur’an ini dilakukan secara individual kepada para murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu langar atau di serambi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci dihadapan guru satu persatu di bawah bimbingannya selam 1/4  atau 1/2  jam.[19]
Pendidikan lanjutan, yaitu pangajian kitab. Terdapat beberapa perbedaan antara Pengajian kitab dengan pengajian Al-Qur’an, yaitu:
1)      Para murid pengajian ini biasanya masuk asrama dalam lingkungan pesantren.[20]
2)      Mata pelajaran yang diberikan lebih banyak dibanding pengajian Al-Quran.[21]
3)      Pengajian Kitab juga dilakukan secara berkelompok, tidak hanya individual sebagaimana pengajian Al-Qur’an.[22]
Pendidikan pesantren secara terminologis dapat dijelaskan bahwa di lihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sedangkan Soergarda Poerbakawatja menyebut persamaan pesantren dengan tradisi hindu bisa di lihat dari penyerahan tanah oleh negara bagi kepentingan agama. Hal ini tidak dijumpai dalam Pendidikan Islam di Mekkah. [23] Namun, pendapat ini sebagaimana dikutip Steenbrink dari Soebardi (dalam bukunya “santri religious elements”) yang mengatakan bahwa pernyataan yang menyatakan pendidikan Islam berasal dari Hindu bukan Islam, ternyata kurang tepat, sebab sistem tersebut dapat ditemukan dalam dunia Islam. Senada dengan Soebardi Mahmud Junus mengatakan bahwa sistem pembelajaran di pesantren, ternyata dapat diketemukan di Bagdad ketika menjadi pusat dan ibu kota wilayah Islam. Menurut Steenbrink, begitupan dalam penyerahan tanah oleh negara sebagai Pendidikan agama, dapat ditemukan dalam sistem wakaf di Islam.[24]
c.       Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia sebagai salah satu aspek perbaharuan Islam dalam permulaan abad ke-20
Menurut H. Aboebakar Atjeh sebagaimana dikutip Steenberink, tokoh dan organisasi penting dalam Islam di Indonesai pada permulaan abad ke-20 ini terbagi dalam 3 kelompok, yaitu gerakan salaf[25], gerakan modernis[26], dan gerakan bersifat politik.[27] Menurut Steenbrink untuk mengadakan perubahan Pendidikan berasal dari gerakan salaf yang menolak taqlid yang juga tidak lain berarti menekankan pentingnya bahasa Arab sebagai jalan untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Namun dalam kenyataannya cita-cita ini tidak dapat diwujudkan.[28]
1)      Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabu (1906-1930)
Tokoh pertamanya adalah Abdullah Ahmad. Ia mendirikan sekolah Adabiyah di Padang Panjang. Namun, belum sampai usia satu tahun, sekolah ini sudah ditutup dan dipindahkan ke Padang. Di padang sekolah Adabiyah ini jauh lebih maju dibanding ketika masih di Padang Panjang. Pendidikan umum lebih ditekankan daripada Pendidikan agama.[29]Untuk memperbaiki mutu Pendidikan umum Abdullah Ahmad memasukkan empat orang guru bebangsa Belanda. Pada tahun 1916 sekolah Adabiyah ini diakui oleh pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan oleh organisasi Islam. Setahun selanjutnya mendapat subsidi penuh dari gubernamen.[30]
Tokoh kedua adalah Zainudin Labai el Junusi (1890-1924). Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau dimulainya pada tahun 1916 dengan mendirikan Madrasah Diniyah, yang merupakan madrasah sore untuk Pendidikan agama yang diorganisasikan berdasar sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem pengajian tradisional yang individual. Hamka yang merupakan murid pertama Zainudin Labai, ia menyatakan bahwa gurunya itu mengambil metode Mesir dalam menyelenggarakan Pendidikan. Madrasah diniyah ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan, pada tahun 1922 di Sumatera Barat telah terdapat 15 sekolah yang mengikuti sistem ini. Bahkan mereka mendirikan organisasi bernama “Persatuan murid-murdi diniyah school”.[31]
2)      Pembaharuan Pendidikan Islam di Yogyakarta
Tokohnya adalah Ahmad Dahlan.[32]Pada tahun 1911 beliau mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton Yogyakarta. Sekolah ini dijalankan dengan sistem Pendidikan gubernamen. Dia menekankan  semboyan kepada murid-muridnya: “Sedikit bicara, banyak bekerja”. Pada 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah bersama dengan teman-temanya. Pada mulanya kegiatan terpenting organisasi ini adalah tabligh.[33]Sedangkan dalam bidang Pendidikan, Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan sistem Pendidikan gubernamen. Pada akhir tahun 1923, di Yogyakarta telah didirikan empat sekolah dasar Muhammadiyah. Disamping itu, organisasi itu juga mendirikan sekolah yang lebih bersifat agama, seperti madarasah diniyah di Minangkabau. Pada 8 desember 1921, Muhamadiyah sudah dapat mendirikan pondok Muhammadiyah sebagai sekolah Pendidikan guru agama. Melihat kegiatan yang dilakukan Muhammadiyah ini, nampak jelas bahwa mereka mengikuti pola kegiatan yang sama sebagaimana dilakukan Abdullah Ahmad di Padang.[34]Muhammdiyah mengalami perkembangan yang sangat sangat signifikan, misalnya dalam dunia Pendidikan, pada tahun 1932 Muhammadiyah di Jawa Tengah telah mempunyai 165 sekolah model gubernamen, di samping 68 sekolah agama.[35]
3)      Pembaharuan Pendidikan Masyarakat Arab di Jakarta, Surabaya dan Beberapa Tempat lainnya.
Pada tahun 1901, mereka mengusahakan untuk menyelenggarakan Pendidikan umum dan agama di Jakarta, namun usaha ini gagal. Pada tahun 1905 organisasi Al-Jamiat Khairiyah berhasil mendirikan sekolah pertama bagi masyarakat Arab di Jakarta.  Dari Jamiat Khair ini lahirlah organisasi Jamiah al Islam wal Irsyad al Abiah, mereka ini merupakan anggota Jamiat Khair yang menolah taqlid dan gelar sayyid dan mereka di cap kalangan reformis atau modernis. Ar Irsyad juga mendirikan madrasah sendiri di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia. Kedua organisasi ini menggunakan sistem Pendidikan menurut model Timut Tengah, terutama Mesir dan Tunisia. Pada dasarnya sekolah dikelola kedua organisasi ini sama dengan sekolah yang dikelola gubernamen, walaupun kedua lebih banyak menekankan dalam Pendidikan agama.[36]
4)      Pembahruan Pendidikan Islam Oleh PERTI
Pembaharuan Pendidikan keempat dilakukan oleh organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islam) yang didirkan pada tanggal 5 Mei 1928 dan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah pada tahun 1930. Pada tahun 1942 sudah terdapat 300 sekolah PERTI dengan 45.000 orang murid. Organisasi ini juga akatif di luar Pendidikan, misalnya mendirikan masjid, rumah yatim piatu,  dan membangun klinik.[37]
5)      Pembaharuan Pendidikan Islam Oleh Nahdlatul Ulama
Pembaharun Pendidikan kelima dilakukan oleh oraganisasi Nahdlatul Ulama. Pada awal sebelum lahirnya NU ini, Kyai H. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan jamiah Nahdlatul Wathan bersama Mas Masnur. Jamiah ini bertujuan memperbaiki Pendidikan agama melalui suatu sistem yang tersusun lebih baik, antara lain dengan sistem klasikal.  Organisasi ini cepat berkembang dan tersebar di Surabaya, karena banyak guru agama yang bergabung kepada mereka. Pada tanggal 31 Januari 1926 Abdul Wahab Hasbullah mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama yang merupakan bentuk protes terhadap gerakan reformis,[38]disamping itu, sebagai organisasi yang mebela mazhab Syafi’i dan menyaingi oraganisasi Muhammadiyah dan Al Irsyad. Setelah NU dibahwah kepemimpinan K.H Hasyim Asy’ari lah (1927), yang menjadikan NU cepat popular. Sampai tahun 1945, NU masih tetap sebagai organisasi yang belum diatur secara tegas. Pembahruan lahir dari dua murid Hasyim Asy’ari, yaitu KH. Moh. Ilyas (keponkannya) dan KH. Wahid Hasyim (anaknya). Dengan persetujuan Hasyim Asy’ari, Moh. Ilyas memasukkan mata pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah, dan bahasa Melayu dalam pesantren. Dalam proses pembelajaran Moh. Ilyas mencontoh sistem pengajaran bahasa Bealanda yang ia terima ketika sekolah di HIS. Pada akhir 1931, Moh. Ilyas dan Wahid Hasyim melanjutkan studi agamanya di Mekkah. Pada 1935 Wahid Hasyim pulang ke Indonesia, lebih cepat dari Moh. Ilyas, kemudian menyelenggarakan madrasah di Tebuireng.[39]
NU tidak mempunyai statistik yang pasti mengenai pendidikannya, namun bisa dipastikan pada tahun 20-an dan 30-an itu Tebuireng merupakan pesantren yang paling masyhur di seluruh Indonesia, dengan kurang lebih 6000 orang santri. Dari sini dapat di lihat bahwa sistem yang diterapkan di Tebuireng, memberikan sumbangan kepada dunia Islam, terutama di Jawa Timur dan Madura, untuk lebih terbuka bagi pembaharuan Pendidikan.[40]
Ketika KH Wahid Hasyim memimpin Departemen agama RI, pada tahun 1945 dia mengambil keputusan untuk menyesuaikan diri dengan sistem Pendidikan Barat. Dengan demikian KH Hasyim Asy’ari berhasil menciptakan ilkim yang cocok untuk perubahan itu dengan pengaruh dan kharismanya.[41]
6)      Pembaharuan Pendidikan Islam oleh Persyarikatan Ulama
Sebelum Abdul Halim mendrikan perkumpulan Persyarikatan Ulama, ia telah mendirikan perkumpulan “Hayatul Qulub” pada tahun 1911. Tujuan didirikannya perkumpulan ini adalah sebagai usaha Pendidikan agama dan semacam koperasi simpan-pinjam. Namun, pada tahun 1915 “Hayatul Qulub” dilarang pemerintah Belanda. Pada tahun 1916, Abdul Halim dengan bantuan beberapa kawannya, mendirikan sebuah madrasah yang hanya meperlajari agama, dengan metode kalsikal dan memiliki lima kelas.[42]
Setelah Abdul Halim mendirikan Persyarikatan Ulama (1917), pada tahun 1920-an perkumpulan ini berhasil medirikan rumah yatim-piatu, percetakan, dan sebuah perusahaan tenun. Pada tahun 1932, Abdul Halim mendirikan “Santi Asrama”, yaitu sebuah sekolah yang berasrama. Dalam sekolah tersebut, di samping diberikan pelajaran agama dan umum, juga diberikan Pendidikan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan ukiran kayu. Pelekasanaan kurikulum yang khas ini, karena sekolah gubernamen hanya menyiapkan murid-muridnya untuk pekerjaan kantor. Namun kurikulum yang dikembangkan perkumpulan ini tidak dapat dilanjutkan, karena beberapa hal berikut: (1) Penilaian yang agak rendah terhadap Pendidikan keterampilan praktis, (2) keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum resmi pemerintah, dan (3) banyak anggota PUI (Persyarikatan Ulama ini sesudah tahun 1945 digabungkan dengan perkumpulan yang hampir serupa di Sukabumi, dan berubah menjadi Persatuan Umat Islam atau PUI) yang terjuan ke dunia politik dan mengabaikan sekolah-sekolah yang mereka dirikan.[43]
7)      Pembaharuan Pendidikan Islam Oleh Jamiatul Washliyah
Cikal bakal beridirnya Jamiatul Washliyah pada tahun 1930 di Medan ini merupakan inisiatif  anggota “Debating club” yang didirkan oleh para lulusan “Maktab Islamiyah Tapanuli” pada tahun 1928. Tiga orang pendorong paling penting dalam perkumpulan ini adalah Abdurrahman Syihab,[44]Udin Syamsudin,[45]dan Arsyad Lubis.[46] Organisasi ini tidak mendapat cap tradisionalis atau reformis karena pimpinannya berganti setiap tahun. Karena hubungan yang terjalin baik dengan beberapa madrasah dan sekolah yang sudah terjalin melalui “Debating club”, sehingga banyak dari mereka dan beberapa tokoh dari luar kota Medan yang mengabungkan diri dengan Jamiatul Washliyah. Dengan penggabungan ini terjadilah reorganisasi kurikulum di madrasah serta mamasukkan sistem klasikal dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena perkumpulan ini lebih teratur dan sentralistis dibanding dengan PERTI dan NU. Sehingga perkumpulan ini mendobrak sistem pesantren lama, dimana pendirian sebuah madrasah hanya diserahkan kepada inisiatif lokal.
Seperti halnya Muhamdiyah, Jamiatul Washliyah juga mempergunakan dua sistem Pendidikan, disatu pihak mendirikan sekolah swasta dengan sistem pendidikan gubernamen, di mana di samping pelajaran umum juga diberikan pelajaran agama. Di samping itu, didirkan juga sekolah yang mengajarkan agama dan sedikit mengajarkan yang umum. Namun berbeda dengan Muhamadiyah, perkumpulan ini lebih banyak menekankan pada madrasah, yaitu sekolah yang memberikan prioritas kepada agama.
8)      Pembaharuan Pendidikan Islam oleh Departemen Agama RI
Departemen Agama RI didirikan pada tanggal 3 januari 1946. Kebijakan dalam Pendidikan agama sudah di mulai sejak zaman Jepang.[47] Dan kebijakan ini di lanjutkan oleh Departemen Agama sesudah tahun 1946. Dalam salah satu nota Islamic education in Indonesia yang disusun oleh bagian Pendidikan Departemen Agama pada tanggal 1 september 1956, hal ini digambarkan sebagai berikut:
a)      Memberikan pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir
Peraturan resmi pertama tentang Pendidikan agama di sekolah, dapat di lihat dalam Undang-undang Pendidikan tahun 1950 nomor 4 (hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta) dan UU Pendidikan tahun 1954 no. 20.[48] Salah satu penjelasan pasal dalam UU Pendidikan 1954 No, 20 adalah menetapkan bahwa pengajaran agama tidak boleh memperngaruhi kenaikan kelas para murid. Peraturan bersama Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan kebudayaan dan Depatermen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari 1951 juga menetapkan bahwa Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Ralyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan di mana Islam kuat, pelajaran agama mulai dari kelas 1 dan jam pelajaran ditambah 4 jam perminggu. Di Sekolah Menengah Pertama, pelajaran agama diberikan 2 jam per minggu, sesuai dengan agama para murid. Untuk memperbaiki pertauran sebelumnya, pada 16 Juli 1951 kedua Menteri ini mengeluarkan peraturan bersama. Namun, dari peraturan ini terlihat adanya diskriminatif terhadap orang-orang Islam.[49]
 Pengajaran agama memainkan peranan penting dalam penilaian para murid dan mahasiswa sejak sidang MPRS tahun 1967, MPRS mengubah ketetapan tahun 1960 (yang memberikan kebebasan bagi para mahasiswa di universitas umum untuk mengikuti atau tidak pelajaran agama), dengan mewajibkan para mahasiswa mengikuti pengajaran agama. Mahasiswa hanya dibebeskan memilih agama apa yang akan dipelajari. Katetapan ini juga di ikuti oleh peraturan bersama dua Menteri, pada tanggal 23 Oktober 1967, di mana ditetapkan bahwa kelas I dan II SD diberikan mata pelajaran agama 2 jam per minggu. Kelas III 3 jam per minggu, kelas IV keatas 4 jam per minggu. Hal itu juga berlaku juga pada SMP dan SMA. Untuk universitas dan perguruan tinggi lainnya mata kuliah agama diberikan 2 jam per minggu. Pada akhir tahun 1970 Menteri Agama berusah mengubah kurikulum pengajaran agama yang bertujuan agar semua kelas tertinggi SD dan SMP mendapat 6 jam pelajaran agama per minggu. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil karena tidak disetujui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.[50]  
b)      Memberikan pengetahuan umum di Madrasah
Dalam rangka konvergensi, Depatemen Agama menganjurkan supaya pesantren yang tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama. Departemen Agama hanya memberikan bantuan kepada madrasah yang juga memperhatikan Pendidikan umum. Dalam rangka usaha mendapat pengakuan sosial, Departemen Agama membuat suatu rumusan mengarah pada: Pertama, berusaha mempengaruhi pendapat umum bahwa madrasah tidak hanya cukup memberikan pengajaran agama. Kedua, berusaha mempengaruhi pendapat umum bahwa mata pelajaran umum madarasah tidak akan mencapai tingkat yang sama dibanding sekolah umum. Namun secara formal, Depatermen Agama sudah mendapt keuntungan berkat UU 1950 pasal 10 yang menyebut belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah memenuhi kewajiban belajar.[51]  
c)      Melakukan Pendidikan guru agama (PGA)
Dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) pertama 1969-1973, Departemen Agama merencanakan perluasan PGA dan lembaga pendidikan pegawai Departemen Agama, seperti IAIN. Namun dalam peraturan ini Departemen Agama tidak mengembangkan sistem Pendidikan di marasah secara lebih luas. Untuk memasuki lembaga PGA dan IAIN ini harus ditempuh melalui jenjang formal, yaitu bagi tamatan madrasah Ibtidaiyah atau SD dapat melanjutkan ke PGA, tamatan tsanawiyah atau SMP untuk PGAA, sedangkan IAIN harus tamat SMA atau Aliyah.[52]

2.      Profil Guru Agama Modern
Dalam kurun Modern, guru bukanlah merupakan komponen pendidik yang berdiri sendiri, tetapi seorang guru haruslah mengikuti kurikulum yang di susun orang lain (Departemen Agama atau organisasi-organisasi yang bergerak di bidang Pendidikan). Perkembangan di Indonesia juga menunjukkan bahwa unsur kuturunan tidak lagi yang paling menentukan, akan tetapi unsur pengetahuan yang lebih diperkuat dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia.[53]
Pada awalnya faktor keturunan seseorang sangat mempengarui dia untuk menjadi tokoh, guru, atau kyai (yang di akui masyarkat muslim), misalnya di Pesantren tradisional di mana unsur keturunan memegang peranan penting (Kyai untuk pesantren mungkin anak dari Kyai).[54]Namun, dalam perkembangan terakhir (abad XX) dikemukakan beberapa keberatan terhadap kenyataan bahwa pesantren merupakan milik pribadi salah seroang kyai.[55]Dan akhirnya Steenberink menyimpulkan bahwa dalam perkembangan terakhir Islam di Indonesia, semua orang bisa menjadi kyai  asal dia oleh masyarakat diterima sebagai kyai. Setiap orang bisa membuka pesantren, asal ada santri yang belajar dengannya.[56]
Tipe kesalehan seorang kyai, adalah bahwa dia mengajar tanpa lelah dari pagi hingga sore, selalu bersedia pergi ke desa atau kota lain untuk mengajar agama atas permintaan dan tanpa meminta uang, selain ongkos jalan. Namun, para kyai sering mendapat hadiah dalam bentuk beras, benda-benda berharga, uang, tetapi kebanyakan kyai masyhur mengrusi hidupnya secara sederhana.[57]Kalau dibandingkan dengan guru madrasah dan guru agama di sekolah modern terdapat perubahan mengenai sifat-sifat kesalehan. Pada guru agama tidak dipentingkan lagi pribadi yang utuh seperti guru agama tradisional atau pengajaran yang dicerminkan dalam tingkah lakunya sehari-hari. Pada guru agama modern, unsur intelektual lebih dipentingkan dari pada usnur kepribadian da unsur-unsur lainnya. Kesalehan sebagaimana yang dikatakan pada guru agama tradisional, sedikit berlebihan apabila diterapkan untuk guru agama modern di madrasah dan sekolah. Bagi mereka, persyaratan megajarlah yang dipentingkan. Apa yang mereka perbuat di luar kelas, kurang relevan untuk pengajaran dan pendidikannya.[58]  
Walaupun masih dalam keadaan berkembang, namun sudah dapat diambil kesimpulan dari tendensi yang terjadi, yang berhubungan dengan kedudukan guru dalam umat Islam di Indonesia, yaitu:
Pertama: guru tidak lagi merupakan pusat kegaiatan agama dalam lingkungannya (menjadi perantara anatara Tuhan dan manusia dan penafisr agama yang mandiri). Guru pada umumnya menjadi anggota dari organisasi yang lebih besar, yang menentukan isi ajaran dan menjaminn kemurnian ajaran agama (terikat kepada instansi yang lebih tinggi dan penting).
Kedua:kyai dulu merupakan pribadi yang multi fungsional. Sekarang fungsi-fungsi tersebut sudah terbagi-bagi. Seorang yang masih berdinas dalam organisasi atau Departemen Agama mempunyai tugas yang terbatas. Dia harus mengikuti bahan dan kurikulum yang sudah ditentukan, dan mendapat gaji. Menjadi guru di era modern ini, berarti mencari penghidupan dan gaji, sedangkan tugas-tugas lainnya sebagai sukarelawan pada waktu-waktunya yang terluang.
Ketiga: pertentangan antara penghulu dan kyai, sekarang ini sudah tidak terasa. Hal ini terlihat dari usaha yang dilakukan NU sebagai organisasi yang memeberikan pengaruh yang paling kuat dalam administrasi agama dalam Depatremen Agama, dengan memberikan sumbangan besar dalam menghilangkan jurang antara penghulu, guru, dan kyai. Namun, memang masih ada beberapa keberatan dari organisasi-orgnisasi lain.[59]

3.      Perubahan dalam Materi Pengajaran Agama
a.       Kurikulum dan Silabus Mata Pelajaran
1)      Pengajian Al-Qur’an
Pengajian Al-Qur’an tradisional biasanya terdiri dari membaca sebagian Al-Qur’an, tambahan pelajaran seperti belajar shalat, akidah, dan menghafal “sifat 20”. Jika dibandingkan dengan madrasah diniyah diniyah[60]yang dikelola Departemen Agama, adapun tingkatan (jenjang) dan kurikulumnya tersusun sebagai berikut:[61]
Diniyah Awaliyah
No
Mata Pelajaran
Jam/perminggu

1
Membaca Al-Qur’an
3

2
Tauhid
3

3
Fiqh
2

4
Akhlak
2

Kemudian setelah mengikuti madrasah diniyah awaliyah yang dirancang dengan siklus 4 tahun, dilanjutkan dengan madrasah diniyah Wustho dan Aliyah. Kurikulum nya adalah sebagai berikut:
Diniyah Wustho
No
Mata pelajaran
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Jam/minggu
Jam/minggu
Jam/minggu
1
Al-Qur’an dan Hadits
3
3
3
2
Tauhid
3
2
2
3
Fiqh
1
1
1
4
Sejarah Islam
2
2
3
5
Akhlak
1
1
1


Diniyah Aliyah
No
Mata pelajaran
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Jam/minggu
Jam/minggu
Jam/minggu
1
Al-Qur’an dan Hadits
3
3
3
2
Tauhid
2
2
2
3
Fiqh
3
3
3
4
Sejarah Islam
1
1
1
5
Akhlak
1
1
1

Selama tidak ada subsidi, guru pengajian Al-Qur’an tidak diwajibkan mengikuti kurikulum yang disusun Departemen Agama. Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum ini mempunyai nilai terbatas. Namun, kurikulum ini dapat menjadi pembuktian cara berfikir ahli Pendidikan agama di Departemen Agama, mengenai apa yang diinginkan dan tujuan mana yang akan dicapai. Kalau dibandingkan dengan pengajian Al-Qur’an tradisional, yanag agak menonjol dari kurikulum ini adalah perhatian yang lebih luas terutama dalam bidang akidah, akhlak, dan sejarah Islam, yang dalam pengajian tradisional tidak begitu jelas dan kurang perhatian. Tambahan empat mata pelajaran (Aqidah, Fiqh, Akhlak, dan Sejarah Islam) tersebut, tidak hanya berlaku pada madrasah diniyah, tetapi juga intruksi pada mata pelajaran agama di sekolah umum.[62]Seperi skema berikut:[63]
Kelas pada sekolah Dasar
Jam/tahun
No
Mata pelajaran
1
2
3
4
5
6
1
Tauhid
-
-
-
35
35
35
2
Akhlak
35
35
70
-
-
-
3
Fiqh
35
35
35
35
35
35
4
Al-Qur’an
-
-
-
35
35
35

Dari perkembangan kurikulum ini, menunjukkan bahwa berbeda dengan pengajian Al-Qur’an tradisional yang menekankan rumusan yang tetap dari agama, dengan kurikulum modern, proses pembelajaran bersifat menemukan untuk pertama kali, mengenalkan, hingga meresapkan nilai-nilai agama.[64]
2)      Pengajian kitab
Pengajian kitab tradisional terbagi menjadi dua. Pertama, santri harus menyediakan waktu untuk studi Bahasa arab dan kedua, santri memperlajari isi kitab-kitab agama yang merupakan unsur yang paling penting. Hal yang paling menonjol bahwa isi Pendidikan agama tidak begitu berubah (Fiqh dan tafsir tetap memainkan peran yang penting, meskipun tetap diberikan perhatian yang lebih terhadap ilmu kalam), perubahan yang lebih menonjol pada era modern ini adalah pelajaran Bahasa Arab dan mata pelajaran umum. Dewasa ini juga telah diberikan cukup perhatian untuk mengetahui sumber agama, yaitu hadits, dimana di madrasah menengah, ilmu mustalahul hadits , shahih Bukhari dan shahih Muslim sudah menjadi mata pelajaran tersendiri. Pada lembaga perguruan tinggi Islam, karya Ibnu Rusyd yang kritis, Bidayatul Mujtahid sedah lebih banyak dipakai. Satu perkembangan yang masih dibicarakan adalah bidang ushuluddin. Pada beberapa perguruan tinggi Islam, mata pelajaran ini juga dianggap sebagai mata pelajaran ilmu perbandingan agama di samping ilmu tauhid dan dan ushuluddin. Perubahan yang lebih penting khusus ditemukan dalam bagian studi bahsa Arab dan ilmu pengetahuan umum.[65]
Adapun pentingnya Bahasa Arab di luar motif agama (sehingga dalam kurikulum modern diberikan perhatian lebih) adalah sebagai berikut:
a)      Bahasa Arab kaya sekali dalam kosa kata dan strukrur bahasanya.
b)      Bahasa Arab mempunyai kepustakaan besar di semua bidang ilmu pengetahuan.
c)      Bahasa Arab adalah bahasa dengan mana semua ilmu pngetahuan modern dan kesusastraan modern dapat dikemukakan.
d)     Bahasa Arab adalah bahasa dari kelompok terbersar ketiga di dunia.
e)      Bahasa Indonesia mempunyai banyak perkataan yang berasal dari bahasa Arab.[66]
b.      Lingkungan Hidup Khas Santri
Lembaga pendidian Islam tradisional dalam membentuk manusia muslim yang baik dan shaleh, tidak merasa cukup dengan hanya dengan hanya memberikan isi pengetahuan kepada pera murid. Oleh karena itu lembaga Pendidikan tersebut, berupaya mewujudkan usahanya dengan membentuk suasana yang melingkunginya.[67]
Untuk mengambarkan kehidupan di pesantren, mari perhatikan tulisan Mukti Ali, yang mengemukakan sebagai berikut:
“Didikan langar/pesantren ada baiknya tetapi ada kekurangannya. Baiknya karena ajaran agama yang dilakukan di langar/pesantren dapat mendidik perasaan agama, menanam rasa keagamaan. Mengaji dengan lagu dan irama yang tentu itu, merindukan hati kepada yang jauh dan ghaib, kepada Allah yang Maha Esa, yang menjadikan seruan sekalian alam. Pengetahuann agama yang di dapat dengan mengaji itu tidak dalam. Orang tak tahu arti yang dibaca dengan lagu yang merindukan jiwa. Tetapi perasaan agama jadi mendalam, jiwa terdidik ke jalan yang suci dan murni, dan agama yang tertanam dalam jiwa sejak dari kecil itu tetap menjadi pelita seumur hidup”.[68]

Penghargaan ini diberikan oleh seorang yang telah mengikuti studi tradisional di pesantren dan kurikulum pada sekolah umum, untuk master di McGill, Kanada, untuk Ilmu Perbandingan Agama.[69]
Seiring dengan perkembangan di era modern ini, diciptakan juga sebuah “pesantren terbuka”, di mana para santri pergi ke sekolah di luar pesantren pada siang hari. Ditemukan juga sebuah pesantren kecil, yang lebih mirip asrama atau rumah indekost. Pesantren-pesantren yang letak geografisnya dekat kota besar, sering dipakai sebagai tempat mondok mahasiswa di perguruan tinggi, yang mencari asrama yang murah, disamping untuk tempat menambah pengetahuan agama, seperti pesantren Krapyak (dekat Yogyakarta) dan Jamsaren di Solo, untuk sebagian sudah mempunyai sifat asrama mahasiswa.[70]

4.      Penghargaan Agama Terhadap Pendidikan Umum
a.       Penolakan teoritis adanya perbedaan antara Ilmu Agama dan Umum
Menurut pandangan Islam, Islam bukan hanya semata-mata agama saja, melainkan mencakup aspek-aspek kehidupan lainnya dasar inilah yang dijadikan Mohammad Natsir menolak pemisahan Pendidikan agama dengan Pendidikan umum. Bahkan A. Hasjmy (Gubernur Aceh) yang memperjuangkan dan meralisasikan kota pelajar Darusalam, mengatakan:
“Memperdalam ilmu agama Islam, berarti mempelajari secara mendalam segala bidang ilmu, karena semua ilmu adalah ilmu Islam, baik yang dinamakan al-ulumul naqliah maupun al-ulumul aqliah, baik yang dinamakan ilmu-ilmu social maupun ilmu-ilmu eksakta. Maka Darusalam tidak dapat menerima pendapat sementara orang yang mengatakan bahwa ini “Ilmu Islam” dan itu “ilmu umum” sehingga tinbul istilah: ini sekolah Islam dan itu sekolah umum. Darussalam dengan secara radikal telah menguburkan suatu “mitos” yang telah lama menghantui alam fikiran sebagian masyarakat Indonesia, yaitu kepercayaan adanya jurang antara “agama” dengan “ilmu pengetahuan”, sehingga menyebabkan terjadi pula jurang yang dalam antara orang-orang yang memilih bidang ilmu yang tidak sama: suatu tragedi yang telah memundurkan bangsa Indonesia”.[71]

b.      Berbagai penghargaan postif terhadap Pendidikan umum
Adapun beberpa pedapat umum terkait pentingnya pendidik umum adalah:
1)      Untuk studi ilmu pengetahuan umum adalah tema yang sering dikembangkan secara apologetis, yaitu bahwa Islam mendorong untuk mengadakan studi mengenai bermacam-macam ilmu pengetahuan.
2)      Untuk memelihara hubungan dengan masyrakat seluruhnya tetap terpelihara dengan baik, maka para pemimpin agama mendapat tambahan pengetahuan umum.
3)      Berkenaan dengan persyaratan dalam masyarakat Indonesia modern bagi mereka yang ingin meraih karir dalam masyarakat, harus memiliki ijazah yang mencantumkan derajat Pendidikan umunya.[72]
c.       Beberapa keberatan terhadap masuknya pelajaran umum
Kalau dalam suatu tempat ada hal baru yang dimasukkan, pasti akan medatangkan protses,[73]namun protes ini biasanya tidak secara langsung diarahkan pada Pendidikan umum, tetapi biasanya secara tegas penolakan ditunjukkan kepada hal-hal baru seperti papan tulis dan bangku sekolah.[74]
Salah satu penyebab mengapa sejumlah pesantren dan madrasah tidak dapat mengembangkan pendidian umum adalah karena kenyataan bahwa Pendidikan umum lebih mahal dari pada Pendidikan agama. Satu kritik yang lebih mendasar terhadap Pendidikan umum terlihat dari adanya keluhan bahwa madrasah modern dan IAIN, di samping masih dapat memberikan pengetahuan agama yang agak lumayan, namun perhatiannya masih terpecah belah, sehingga emosi keagamaan di sekolah-sekolah ini tidak dapat dikembangkan secara lebih baik.[75]
Dalam konsep konvergensi, unsur yang paling lemah adalah penilaian rendah masyarakat Indonesisa terhadap diploma madrasah, begitupun sebaliknya, penghargaan agama yang kurang terhadap Pendidikan Islam modern juga melemahkan konsep konvergensi ini. Dalam upaya antsipatif dari Muhamadiyah, organisasi ini memulai Pendidikan baru yang dinamakan Pendidikan ulam tarjih. Pada awalnya kegitan ini beranggotakan 25 orang dengan penekanan terhadap pendalaman bahasa arab, namun karena studi ini terlalu berat setelah berjalan dua setengah tahun tinggal lima orang saja. Pada tahun kedua, diberikan mata pelajaran bahasa Indonesia, Inggris, dan Ilmu Pendiidikan. Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa konsep konvergensi sebagai sebagaimana banyak disinggung di awal tidak dapat diwujudkan.[76]  

F.     Sumbangan Dalam Ilmu Keislaman
Setiap penelitian diharapakan dapat memberikan sumbangan dalam perkembangan khzanah ilmu pengetahuan. Penelitian yang dilakukan karel A. Steenbrink ini memberikan informasi dan menambah wawasan kita terhadap khazanah keilmuan dalam dunia Pendidikan Islam. Hasil penelitian ini memberikan kita informasi tentang: (1) Perkembangan lembaga Pendidikan Islam tradisional sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman kemedekaan Indonesai, (2) Profil guru agama di era modern, dan (3) pembaharuan-pembaharuan sistem Pendidikan yang dilakuan organisasi-organisasi tertentu. 

G.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis peneliti terkait dengan “Perkembangan Pesantren, Madrasah, dan sekolah dalam kurun modern” di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pendidikan dualistis yang saat ini kita rasakan, merupakan warisan dari kebijakan yang sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Dan seiring perkembangan ere modern ini, cita-cita konvergensi (integerasi) antara Pendidikan agama dan umum atau antara madrasah dan sekolah (antara Kemendikbud dam Kemenag) tetap tidak dapat terwujud, karena belum mendapat persetujuan dari masih rendahya penilaian masyarakat Indonsia terhadap diploma madrasah. 
2.      Pendidikan Islam telah dimasukkan ke dalam organisasi-organisasi lebih besar dari pada organisasi lokal yang meliputi dan mencakup satu pesantren seperti ke dalam sistem Pendidikan tradisional. Hal berarti, di era modern ini guru bukanlah merupakan kompnen pendidik yang berdiri sendiri, akan tetapi seorang guru harus mengikuti kurikulum yang di susun oleh Departemen Agama atau organisasi-organsasi Islam yang mendirikan lembaga Pendidikan, dalam arti dia harus mengikuti dan melaksanakannya.
3.      Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia juga menunjukkan bahwa unsur keturunan tidak lagi yang paling menetukan dan unsur pengetahuan lebih diperkuat dalam sistem Pendidikan Islam di Indonesa.
4.      Dalam perkembangan terakhir, yang lebih banyak mengalami pembahruan dan mendapat perhatian yang lebih dalam lembaga Pendidikan Islam adalah pengembangan dalam pembelajaran bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran umum.

H.    Daftar Pustaka
Bekker, Anton dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Islam: Studi tentang pandangan hidup kyai, Jakarta: LP3ES, 1994.
http//www.wikwpedia. org
Steenbrink, karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, .Jakarta: LP3ES, 1994.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam perubahan sosial, Jakarta: P3M, 1986.

*) Makalah Prarevisi


[1]karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. ix.
[2] Bukunya yaitu: The Struggle of Islam in modern Indonesia (The Haque, 1971).
[3] Ibid., hlm. Ix-x.
[4] Ibid., hlm. x. Hampir sama dengan ekspesi kegamaan kalangan pesantren, menurut Steenbrink, kehidupan Katolik juga penuh dengan ziarah ke tempat suci, membakar lilin di muka patung-patung, memakai tasbih, menjalani kehidupan dalam biara dan lain-lain. Orang Muhamadiyah dan Persis suka menekankan, bahwa yang diajarkan oleh merka adalah “Islam yang disempurnakan”, yang tidak memakai tahlil, tidak membakar kemenyan, tidak suka membeli bunga sebagai hiasan kuburan pada malam jum’at dan lain-lain. Prakatek yang paling menonjol dalam kelompok ini adalah pengajaran, ceramah, kuliah shubuh, pengajian sore, pengajaran sekolah, dll. Ekspresi keagaman Katolik, seperti ekspresi keagamaan ummat Islam tradisional di Indonesia, lebih bervariasi dan beraneka ragam. Disamping ekspresi melalui ceramah lisan juga diambil nyanyian-nyanyian (seperti berzanji), serta eskpresi melalui benda seperti Bungan dan kemenyan. Ibid., hlm. x-xi.
[5]Ibid., hlm. xiii-xiv.
[6]Ibid., hlm. xiv.
[7]Ibid., hlm. v (daftar pustaka)
[8]Menurut Gottschalk yang dimaksud dengan metode historis atau sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan di masa lampau. Lihat http//www.wikwpedia. org/pengertian metode sejarah. Di askes pada hari sabtu, 7 oktober 2017, jam 23.18 WIB.
[9]etnografis adalah strategi penelitian ilmiah yang sering dugunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan beberapa cabang sosiologi. Etnografi sering diterapkan untuk mengumpulkan data empiris tentang masyarakat dan budaya sosial. Lihat http//www.wikwpedia. org/pengertian metode etnografi. Di askes pada hari sabtu, 7 oktober 2017, jam 23.13 WIB.
[10]Lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Islam: Studi tentang pandangan hidup kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994)
[11]Pendekatan sosio histori adalah penelitian yang berusaha memeriksa secara kritis pristiwa, perkembangan masa lalu, kemudian mengadakan interpretasi terhadap sumber-sumber informasi. Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
[12]Lihat, Manfred Ziemek, Pesantren dalam perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1986).
[13]Dimulai dari Jawa Barat, peneliti melakuakn kunjungan ke pesantren Palamonan, Cibeber, Citangkil (Al Khairiyah) dan Menes (Mathla’ul Anwar) di Banten. Dilanjutkan ke pulau sumatera, kunjungan pertama adalah ke Sumatera Utara, peneliti ke Medan  (kunjungan ke Jamiatul Washliyah) dan Tanjung Pura kemudian mengunjungi pesantren besar Purba Baru serta Nabundong di Tapanulis Selatan. Perjalanan selanjutnya adalah ke Surmatera Barat, disini peneliti melakukan kunjungan ke Ciandung, dekat bukit tinggi, ke Pesantren Sumatera Thawalib, Parabek, Diniyah Puteri di Padang dan ke sebuah pesantren kecil, pusat Naqsyabandiyah di Kota Tuo, Bukit Tinggi. Kemudian peneliti ke Sumatera Barat untuk mengunjungi Pesantren Nurul Islam di Sribandung, sekitar 30 km dari Palembang. Setelah melakukan kunjungan kebeberapa pesantren di daerah Sukabumi dan Garut, peneliti melanjutkan penelitiannya ke Jawa Tengah, kunjungan pertama di Yogyakarta, peneliti melakukan kunjungan ke Krapyak, di Magelang, Miftahul Ulum di Jejeran dan Watu Congol dekat Muntilan, selanjutnya ke Semarang (Pondok Putri Kauman Timur) dan ke tiga pesantren di Mranggen dan pesantren Kaliwungu. Di Surakarta berkunjung ke Jamsaren, sedangkan di Jombang ke pesantren Tebuireng, ke Rejoso, selanjutnya ke Denanyar dan Tambakberas. Sedangkan di Bangil mengadakan pertemuan dengan lingkungan khas pondok putri Pesatuan Islam. Di Daerah Madiun di Pesantren Sabibil Muttaqin serta dua pesantren kecil di Josenan dan Gading. Kungjungan ini memakan waktu 8 bulan. Penelitian terakhir dilakukan di Pesantren Modern, Gontor Jawa Timur. Peneliti mentap selama 3 bulan di Gontor. Ibid., karel A. Steenbrink, hlm. xiii-xiv.
[14]Yang dimaksud dengan kebiasaan jelek itu terutama adalah metode membaca teks yang hanya dihafal tanpa pengertian. Sebagaiman dikutip Steenbrink dari Pistorius dalam bukunya studien, menyebutkan bahwa suatu penilaian yang sangat negatif tentang hasil Pendidikan dan pengajaran bisa dijumpai dalam karangan Brumund, Het Volksonderwijs. dalam bukunya Brumund menyebut para pesantren “tempat tanaman serta pemeliharaan kebodohan, kepercayaan kepada hal yang aneh dan maksiat”. Ibid., hlm. 3.
[15]Ibid., hlm. 3
[16]Sama seperti lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, sekolah ini hamper 100 persen memusatkan diri pada Pendidikan agama. Sama seperti Pendidikan Islam yang menjadikan al-Qur’an yang tertulis dalam Bahasa arab merupakan buku yang terpenting, maka terjemahan Bybel dalam bahsa Melayu di sekolah-sekolah Zending ini adalah buku yang terpenting. Ibid., hlm. 4.
[17]Ibid., hlm. 4-5.
[18]Ibid., hlm. 6-7.
[19]Ibid., hlm. 11.
[20]Lingkungan pesantren pada umumnya terdiri dari rumah kyai, masjid, langar/surau, pondokan para santri dari bamboo atau kayu, dapur, kamar mandi, dan tempat wudhu. Ibid., hlm. 15-16. Untuk meresapkan jiwa ke-Islaman, pesantren tidak hanya dihormati sebagai tempat belajar, tetapi lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi dengan nilai-nilai agama. Ibid., hlm. 16. Hubungan antara kyai dan santri di pesantren pada umumnya merupakan hubungan ketaatan yang tanpa batas, demikian pula kepada para “guru bantu”. Ibid., hlm. 19.20.
[21]Tingkatan pertama dalam pengajian kitab adalah memperlajari bahasa arab yang terususun dalam uraian pendek yang berbentuk sajak. Para murid diharuskan membaca dan menghafal teks Arab tersebut tanpa salah, kemudian isinya dijelaskan kata demi kata oleh guru kepada mereka. Ibid., hlm. 13.
[22]Ibid., hlm. 12.
[23]Sebelum penyebaran Islam di Indonesia, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk Pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukanlah berasal dari istilah arab, melainkan dari India. Demikian pula istilah pondok, langar di Jawa, surau di Minangkabau, dan rangkang di Aceh bukanlah merupakan istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India. Ibid., hlm. 20-21.
[24]Ibid., hlm. 22.
[25]Salaf merupakan gerakan yang berusaha keras mengembakikan ajaran Islam pada relnya kaum salaf, kembali pada al-Qur’an dan sunnah, mengikis habis bid’ah, khurafat, tahayul, serta klinik, membuka terus pintu ijtihad dan menolak sifat memababi buta dalam gelapnya taqlid. Gerakan-gerakan ini adalah Jamiatul Khair, Al-Irsyad, Jong Islamieten Bond, persatuan Islam, dan persyarikatan Muhamadiyah. Ibid., hlm. 30.
[26]Gerakan ini tidak menyetujui pandangan kritis terhadap sejarah Islam serta tidak merasa perluh kembali kepada ajaran Islam yang sebebarnya. Gerakan ini semata-mata hanya mengharapkan perubahan luar, perubahan yang bersifat social kultural dan politik ekonomis, bukan jiwa ajarannya. Gerkan medoernis ini adalah Persatuan Umat Islam Majalengka, Jamiatul Washliyah, Perti, dan Nahdlatul Ulama. Ibid., hlm. 30-31.
[27]Ibid., hlm. 30.
[28]Ibid., hlm. 34.
[29]Pendidikan agama diberikan diberikan waktu 2 jam perminggu oleh Abdullah Ahamad. Sekolah Adabiyah ini sangat laku dan disukai oleh para anak pedagang, karena sekolah ini terbuka untuk semua orang yang bisa membayar sekolah. Ibid., hlm. 40. Sebagian orang menilai pembaharuan Pendidikan Islam Abdullah Ahmad ini dinilai merupakan adaptasi dari sistem Pendidikan surau kepada sistem barat. Ibid., hlm. 41.
[30]Ibid., hlm. 38-40.
[31]Ibid., hlm. 43-47.
[32]Pada usia yang masih muda, dia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Menurutnya, letak masjid yang tepat menghadap ke barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada di sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Namun, penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid agung dengan cepat menyuruh orang untuk membersihkan tanda shaf yang ditulis dengan kapur. Ibid., hlm. 51.
[33]Tabligh adalah suatu rapat di mana diberikan satu atau beberapa pidato untuk menjelaskan masalah agama. Ibid., hlm. 53.
[34]Persamaan ini bisa kita lihat dari, (1) kegiatan tabligh, (2) mendirikan sekolah swasta menurut model Pendidikan gubernamen, (3) membentuk kader organisasi dan guru-guru agama. Ibid., hlm. 56.
[35]Ibid., hlm. 52-57.
[36]Ibid., hlm. 58-62.
[37]Ibid., hlm. 62-64.
[38]Abdul Wahab Hasbullah termasuk dalam panitia yang akan mengikuti Muktamar Islam di Saudi Arabiah, namun beliau mengundurkan diri dari kepanitiaan itu karena beliau tidak jadi dikirim ke Muktamar tersebut, hal ini diebabkan karena beliau hendak membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasi wahabi. Dan memang yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap Wahabi. Ibid., hlm. 67-68.
[39]Ibid., hlm. 65-71.
[40]Ibid., hlm. 71-72.
[41]Ibid., hlm. 72.
[42]Ibid., hlm. 73-74.
[43]Ibid., hlm. 74-76.
[44]Beliau merupakan seorang yang dapat mengimpun orang supaya aktif dalam perkumpulan ini.
[45]Beliau merupakan seorang yang ahli dalam bidang administrasi.
[46]Beliau merupakan seorang yang sangat luas dalam penegtahuan ilmu agamanya, yang hingga tahun 1942 merupakan tokoh yang penting dalam perkumpulan ini.
[47]hal ini bisa kita lihat ketika KH. Abu Dadiri (kepala kantor agama di kerisidenan Banyumas) pada tahun 1944 mengusulkan untuk diberikan pelajaran agama di semua sekolah desa di keresidenannya. Usul ini disetujui oleh kantor agama pusat di Jakarta. Ibid., hlm. 86.
[48]UU Pendidikan tahun 1954 No. 20 ini atara lain berbunyi: (1) dalam sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran agama tersebut, (2) cara melaksanakan Pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama. Ibid., hlm. 91.
[49]Ibid., hlm. 91-92. Kebijakan yang diskriminatif ini bisa kita lihat dalam peraturan baru ini yang meyebutkan bahwa gereja Kristen sudah mempunyai hirarki tersendiri dan mempunyai ahli agama yang berpendidikan akademis. Sehingga pihak Kristen boleh menentukan pelajarannya sendiri. Akan tetapi karena pihak Islam belum mempunyai tenaga akademis yang cukup, mereka harus mendapat pedoman didaktis dan metodis dari Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Ibid., hlm. 92-93.
[50]Ibid., hlm. 93-94.
[51]Ibid., hlm. 97-98.
[52]Ibid., hlm. 99-100.
[53]Ibid., hlm. 123.
[54]Ibid., hlm. 111
[55]Ibid., hlm. 115. Keberatan-keberatan tersebut antara lain: (1) bahaya dalam perkawinan dalam hubungan keluarga dekat yang dapat menyebabkan lemah keturunan, (2) Kontinuitas yang tidak begitu terjamin dengan sistem keturunan, dan (3) Kurang meratanya penyebaran pesantren. Ibid., hlm. 115-116.
[56]Ibid., hlm. 112
[57]Ibid., hlm. 127.
[58]Ibid., hlm. 128-130.
[59]Ibid., hlm. 162-164.
[60]Madrasah ini desediakan bagi anak-anak yang pada waktu pagi pergi ke sekolah umum, dan pada sore hari mendapat pelajaran agama. Ibid., hlm. 167.
[61]Ibid., hlm. 162-167-168.
[62]Hal ini dapat di lihat dalam instruksi Menteri Pendidkan dan Kebudayaan tahun 1967.
[63]Ibid., hlm. 169-170.
[64]Ibid., hlm. 170.
[65]Ibid., hlm. 171-172.
[66]Ibid., hlm. 176-177.
[67]Ibid., hlm. 206.
[68]Ibid., hlm. 208. Sebagaimana dikutip Steenbrink dari Mukti Ali dalam bukunya “Pelbagai persoalan”
[69]Ibid., hlm. 208
[70]Ibid., hlm. 2019-210.
 [71]Ibid., hlm. 223-224.
[72]Ibid., hlm. 230-231
[73]Seperti yang terlihat pada pembahruan Adullah Ahmad yang gagal dan protes terhadap pembaharuan di Tebuireng pada tahun 1930-an.
[74]Ibid., hlm. 233.
[75]Ibid., hlm. 234.
[76]Ibid., hlm. 235-238.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter