-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Model Penelitian Kalam: Teologi Islam (DR. Harun Nasution)

.
MODEL PENELITIAN KALAM: TEOLOGI ISLAM
(DR. HARUN NASUTION)




Oleh:
Andrigo Wibowo
Imam Syafi’i
  

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Ilmu kalam atau teologi Islam[1]termasuk salah satu studi Islam yang sangat dikenal baik oleh kalangan akademis. Sebab ilmu kalam itulah yang mendasari segala pokok pemikiran yang ada di dunia Islam yang kemudian menjadi  produk pemikiran yang banyak mewarnai kemajuan zaman.
Secara historis, konflik pemikiran di dalam Islam memang sudah ada sejak zaman para sahabat Nabi yang secara mendasar bermula pada perbedaan secara politis (golongan pengikut khalifah Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyyah bin Abu sufyan),[2]sehingga melahirkan sekte-sekte seperti Khawarij,Maturidiyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Ahlussunah wal Jamaah Qadariyah dan Jabariyah. Berbagai penelitian mengenai hal itu pun marak dan penafsiran teks-teks agama pun banyak berbicara tentang konflik tersebut, sehingga menjadi sumbangan yang besar secara historis bahwa perpecahan di dalam Islam pernah menjadi topik yang dominan.
Sampai saat ini, sekte-sekte tersebut masih berkembang di berbagai belahan dunia dan mengalami berbagai perkembangan pemikiran yang masing-masing regional juga mengalami perbedaan, seperti Iran, Arab Saudi, dan negara-negara Eropa, semuanya memiliki karakteristik tersendiri. Tidak terkecuali pula Indonesia yang merupakan negara mayoritas Islam, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa teologi yang berkembang di Indonesia juga ada semacam benang merah yang bisa ditarik dari awal munculnya perpecahan di dalam Islam.
Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasan dan kurang filosofis. Selanjutnya ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tauhid ini pada umumnya dikenal dengan ilmu tauhid ala aliran Asy’ariyah sehingga timbul kesan bahwa sekte di dalam Islam hanyalah teologi dari bentuk Asy’ariyah, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.[3]
Asumsi sementara demikianlah yang telah diungkapkan oleh Harun Nasution di dalam bukunya Teologi Islam sekaligus yang melatarbelakanginya dalam penyusunan buku tersebut. Harun Nasution merupakan seorang pemikir Islam Indonesia yang telah memberikan tawaran kepada masyarakat, khususnya para akademisi untuk melihat lebih jauh secara historis bahwa adanya perpecahan di dalam dunia Islam. Ia memberikan deskripsi di dalam bukunya dengan tujuan untuk membuka wawasan pembaca agar umat Islam tidak hanya mengenal Islam dari sudut pandang hukum atau fiqh saja.[4]
Apabila Islam dipandang dengan cara sempit, yakni hanya melulu pada persoalan halal-haram, baik-buruk, boleh-tidak boleh, maka yang terjadi adalah klaim-klaim yang hanya berdasar pada satu paradigma saja. Ini yang akan memperlambat kemajuan pemikiran di dalam dunia Islam sendiri.
Hal demikianlah yang mendasari Harun Nasution melakukan riset tentang ilmu kalam, yang kemudian pada kesempatan kali ini pemakalah akan mencoba untuk mereview jejak-jejak yang dilakukan oleh Harun Nasution di dalam melakukan riset dalam bidang ilmu kalam ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
Bagaimana corak pemikiran Harun Nasution tentang Teologi Islam?

C.    KAJIAN PUSTAKA
Buku Teologi Islam karya Ahmad Hanafi dengan judul Teologi Islam (Ilmu Kalam) yang diterbitkan pertama pada tahun 1962. Buku ini sangat representatif  untuk melihat sejarah dan perkembangan ilmu kalam dari kemunculnya, aliran-alirannya dan juga pokok-pokok yang meliputi persoalan di dalamnya. Ahmad Hanafi menggunakan pendekatan historis dan komparatif, di sisi lain ia juga memberikan deskripsi tentang perdebatan-perdebatan yang terjadi di masing-masing golongan yang saling bertentangan.[5]
Meskipun ada kesamaan objek material dengan yang dilakukan Harun Nasution, ada karakteristik yang membedakan hasil penelitian Harun Nasution dan Ahmad Hanafi. Dalam penelitiannya Ahmad Hanafi tidak melihat perkembangan-perkembangan pengikut yang ada di dalam sekte-sekte di dalam Islam.   

D.    METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian kalam yang dilakukan oleh Harun Nasution merupakan penelitian kepustakaan dan menggunakan metode deskriptif, dengan pendekatan historis, serta menggunakan analisis doktrin dan juga analisis perbandingan.

E.     PEMBAHASAN
1.      Sejarah Timbulnya Persoalan Teologi dalam Islam
Menurut Harun Nasution  persoalan-persoalan teologi  munculnya di picu oleh  persoalan-persoalan politik.  Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.[6]
 Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi-di masa pemerintahan Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Sehingga timbul peperangan kelompok Ali dengan Kelompok Mu’awiyyah yang dinamakan perang Siffin. Tentara khalifah Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga mereka berlari meninggalkan peperangan. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah yang terkenal licik yaitu ‘Amr  bin al-‘As minta damai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Para petinggi pemerintahan yang dipihak Ali mendesak Ali supaya mau menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai perantara diangkat dua orang yaitu, ‘Amr Ibnu ‘Ash dari pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-Asyari dari pihak Ali.  Akhirnya polemik dari kedua pihak  berakhir dengan peristiwa tahkim (arbitrase) yang sangat merugikan pihak Ali bin Abi Thalib.[7]
Dikarenakan polemik tersebut  sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib menarik diri dari bawah bendera Ali bin Abi Thalib, mereka menganggap Saidina  Ali telah berbuat salah karena mau berdamai (tahkim) dengan pihak Mua’awiyah, apalagi mereka sudah hampir menang dalam” perang saudara” tersebut. Dalam sejarah mereka dikenal dengan khawarij yaitu orang-orang yang memisahkan diri. Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Qadariyah.

2.   Aliran-aliran Teologi dalam Islam
a.      Kaum Khawarij
Kaum khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan. Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan karena kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula pendapat yangmengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surt al-Nisa’. Dalam lapangan ketata-negaraan kaum khawarij mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada diwaktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.[8]
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab badawi. Hidup diapadang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain.
Kaum khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil. Menurut al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas sub sekte, dan menurut al-Baghdadi dua puluh sekte. Al-Asy’ari menyebut sub sekte-sub sekte yang jumlahnya lebih besar lagi.[9]
1). Al-Muhakkimah
2). Al-Azariqah
3). An-Najdah
4). Al-Ajaridah
5). Al-Sufriah
6). Al-Ibadiah

b.      Kaum Murji’ah
            Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah ‘Usman Ibn Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat kaum Khawarij, pada mulanya adalah penyokong ‘Ali, tapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia kepadanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golonganlain dalam Isalmyang dikenal dengan nama Syi’ah.[10]
Kata Murji’ah berasal dari Aarj’a yang mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan kepada yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat bahwa nama Murji’ah diberikan kepada golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hokum terhadap orang Islam yang berbuat dosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kudian dari iman, tapi karena memberi pengharapan bagi orang yang berbuat dosa besar untuk masuk surga.[11]
Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi kedalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Salah satu tokoh besar kaum Murji’ah adalah Abu Hanifah. Di dalam hal ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[12]
Namun menurut al-Asy’ariyah sendiri iman ialah pengaukuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, dan ada pula kemungkinan Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukan ke dalam surga, karena tidak mungkin ia kekal tinggal dalam neraka.
Ringkasnya menurut uraian di atas orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga. Selanjutnya, sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran mereka mengenai iman, kufr dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.

c.    Kaum Qadariah dan Jabariah
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia itu sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbulah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung kepada kehendak dan kekuasan mutlak Tuhan dalam menetukan perjalanan hidup? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?[13]
Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar tuhan (free will dan  fre act).[14]
Kaum jabariyah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa.[15]Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Tuhan. Menurut ahli-ahli teologi Islam, faham Qadariah pertama kali ditimbulkan oleh Ma’bad al-Juhani. Menurut ibn Nabatah, Ma’bad al-jauhani dan temannya Ghailan al-Dimisqy mengambil faham ini dari seorang kristen yang masuk Islam di irak.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan daya sendiri.  Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Selain dari penganjur faham Qadariah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah.[16]
Sedangkan faham jabariah pertama kali  di tonjolkan oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan.  Menurut jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.[17]

d.      Kaum Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis Islam.”[18]
Ada salah satu keterangan bahwa asal usul kaum aum Mu’tazilah berawal dari peristiwa yang terjadi diantara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana yang diketahui orang Khawarij memandang mereka kafir sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basir masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; di sana ia mengulangai pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: ” Wasil menjauh diri dari kita (i’tazala’ ana).” Dengan demikian ia berserta teman-temannya,kata al-Sayahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[19]
                Kata Mu’tazilah berasal dari ”i’tazala” dan ”al-Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikain politik yang ada di zaman mereka.[20]
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn ’Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah, syeikh al-Mu’tazilah wa qadil muha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan al-Basri.
Dua ajaran yang ditinggal oleh Wasil yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Ushul al-Khamasah atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-’adl; keadialn tuhan, al-wa’ad wa al wa’id, janji baik dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar,memrintahkan orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau perlu dengan kekerasan. Adapun tokoh-tokoh lain dari Mu’tazilah yaitu Bisyr Ibn Sa’id, Abu ’Usman al-Za’farani, Abu al-Huzail al-’Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar.[21]
Menurut al-Khayyat, orang yang diakaui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar yang telah disebut di atas. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah. Al-Ushul al-Khamasah, sebagai dijelaskan oleh pemuka-pemuka Mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut:
Al-Tawhid, al-’Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-’Amr bi al-Ma’ruf wa alNahy ’an al-Munkar.[22]
Demikianlah uraian sekedarnya tentang pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah, pendapat-pendapat mereka dan ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah.

e.   Ahli Sunnah Waljama’ah
Term ahli Sunnah dan Jama’ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham golongan-golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka yang menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usah telah dijalankan untuk menyebar ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam. Puncak kejayaan kaum Mu’tazilah pada waktu itu ialah pada masa khalifah setelah al-Ma’mun di tahun 827 M mengakui Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang dianut oleh negara.[23]
Pada hakikatnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tapi mereka ragu akan keoriginilan hadits-hadits yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebgai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Mungkin dari sinilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah.[24]
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. Walaupun al-Asy’ari sendiri telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Tokoh-tokoh dalam golongan Asy’riaah diantaranya, Abu Hamid al-Ghazali, al-Juwani, al-Baqillani, dll.[25]
     Adapun ajaran-ajaran al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama dari kitab al-Luma’ Fi al-Rad ’ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ danal-Ibanah ’an Ushul al-Dianah di damping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu  ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm) tetapi Yang Mengetahui (’Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukalah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendenganr dan melihat.[26]

f.       Aliran Maturudiah
Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu H nifah dan faham-faham teologinya banyak banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturudiah.[27]
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran al-Maturudiah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah. Buku-buku yang banyak membahas tentang sekte-sekte seprti buku-buku al-Syahrastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-Maturidi sendiri belum dicetak dan tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat). Diantaranya yaitu, Kitab al-Tauhid, Risalah Fil al-‘Aqa’id, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Usul al-Din (dikarang oleh pengikutnya) danKitab Ta’wil al-Qur’an.[28]
Salah satu perbedaan tersebut adalah mengenai soal al-wa’ad wa al-wa’id al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme al-Maturudi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interprestasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan.[29]

3.      Analisis dan Perbandingan
a.      Akal dan Wahyu
   Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan dalam soal tersebut. Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban kewajiban manusia kepada Tuhan.[30]
   Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengenai mengetahi Tuhan dan masalah kedua mengenai baik dan jahat. Masalah pertama bercabang menjadi dua yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah Arab disebut Husul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah. Kedua cabang dari masalah kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma;rifah al-husn wa al-qubh dan wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih, yang juga disebut juga al-tahsin w al-taqbih.[31]
   Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah: yang manakah di antara keempat masalah yang dapat diperoleh melalui akal dan yang mana melalui wahyu? Masing-masing aliran memberi jawaban-jawaban yang berlainan.[32]
   Menurut kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib, baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah pula wajib.[33]
   Menurut al-Syahrastani sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution  kaum Mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, orang harus terlenbih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetaahui baik dan buruk. Menurut Harun Nasution bahwa jawaban aliran Mu’tazilah atas pertanyaan ke empat masalah pokok itu dapat diketahi dengan akal.[34]  
   Dari aliran Asy’ariah, al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar pendapat dari Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.[35]
    Jelas bahwa antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah terdapat perbedaan besar mengenai kesanggupan akal manusia. Kalau bagi aliran pertama daya pikir manusia adalah kuat, bagi aliran kedua akal adalah lemah.
   Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan al-Bazdawi berikut:[36]
” Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum ada wahyu adalah wajib dalam paham Mu’tazilah....al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal in sefaham dengan Mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya ulam Samarkand dan sebagian dari alaim ulama Irak.”
           Kaum maturidiah Samarkand memberi jawaban lain terkait hal tersebut. Bagi mereka akal dapat mengetahui adanya Tuhan, wajibnya manusia berterima kasih kepada Tuhan dan kebaikan serta kejahatan. Bagi mereka hanya kewajiban berbuat baik dan berbuat jahat yang tidak dapat diketahui oleh akal. [37]
   Dari golongan Maturudiah Bukhara berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada sebab kewajiban mengetahui Tuhan mengandung arti bahwa bagi mereka akal tidak hanya sampai kepada pengetahuan adanya Tuhan, tetapi juga kepada sifat terpujinya pengetahuan demikian. Untuk mengetahui diwajibkannya sesuatu perbuatan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui sifat terpujinya perbuatan itu. Aliran ini lebih besar kepada akal dari pada Asy’ariah.[38]
   Menurut Harun Nasution dapat disimpulkan bahwa Mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal. Maturudiah samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah, tetapi lebih besar daripada Maturudiah Bukhara. Di antara semua aliran itu, Asy’riahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.[39]
  Kaum Mu’tazilah menganggap akal manusia mempunyai daya besar, dibandingkan dengan anggapan Asy’ariyah dan Maturidiah Bukhara, aliran teologi Mu’tazilah mengambil bentuk rasional yang kerasionalnya lebih tinggi dari kerasionalan aliran-aliran lain. Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an Mu’tazilah lebih banyak memakai penafsiran majazi atau metaforis dari pada penafsiran lafdzi atau leterlek. Sebagaimana umpama wajah Tuhan ditafsirkan menjadi esensi Tuhan dan tangan Tuhan menjadi kekuasan Tuhaan. Asy’ariyah sebaliknya lebih banyak berpegang kepada arti lafdzi, yaitu wajah dan tangan Tuhan tetap berarti tangan, hanya wajah dan tangan Tuhan berbeda dari wajah dan tangan manusia.[40]
b.      Fungsi Wahyu
   Pertanyaan apa tentang perlunya wahyu tentu banyak dihadapka kepada kaum Mu’tazilah. Sebagaimana telah disinggung di atas dalam system teologi mereka, wahyu tidak mempunya fungsi apa-apa dalam soal keempat masalah yang menjadi bahan kotroversi dalam teologi Islam.[41]
   Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempuyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diperluakan. Akal betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan.[42]
    Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan semua yang buruk dapat diketahui akal. Untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Bukan hanya itu, bagi kaum Mu’tazilah wahyu mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Kiranya dapat disimpulkan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi, dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum dikethui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.[43]
    Dalam pandangan kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, maka wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya.
   Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang daripada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk. Sedangkan dalam pendapat golongan kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Lebih tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka sedangkan manusia dalam pandangan Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Di dalam aliran Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah. Dalam pada itu manusia dalam pandangan cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.[44]
     Jelas kiranya bahwa kaum Mu’tazilah, sungguhpun mereka mereka member daya yang kuat kepada akal, tidak membelakangkan wahyu, tetapi teteap berpegang dan berhajat pada wahyu. Demikian pula kaum Maturidiah Samarkand. Adapun Maturidiah Bukhara dan Asy’ariyah, bagi kedua aliran ini fungsi wahyu lebih banyak dari pada kedua aliran di atas. Bagi mereka hanya wahyulah yang dapat menentukan wajibnya bagi manusia sebagai mahkluk untuk berterima kasih kepada Tuhan, hanya wahyu yang menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, dan hanya wahyulah yang dapat mewajibkan orang berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Bagi Asy’ariyah akal mempunyai peranan dalam hal ini. Sekiranya tidak wahyu, manusia tidak akan dapat membedakan antara apa yang baik dan apa yang buruk.[45]
4.   Pemikiran Harun Nasution Tentang Teologi Islam
Menurut Harun Nasution, bahwa semua aliran teologi dalam Islam, baik dari golongan Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah semuanya sama-sama menggunakan akal dalam penyelesaian persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat diantara mereka adalah perbedaan dalam derajat kekuatan yanag diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah mempunyai pendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat dan sebaliknya Asy’ariah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah. Kesemua aliran-aliran yang ada berpegang kepada wahyu. Tapi dalam hal ini perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interprestasi mengenai teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits. Hal ini tidak ubahnya dengan adanya interprestasi maka lahirlah mazhab-mazhab yang dikenal seperti yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan mazahb Maliki.[46]
Teolog-teolog yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat memberi interpretasi yang liberal tentang teks ayat-ayat Al-quran dan hadis. Dengan demikian timbullah teolgi liberal seperti yang terdapat dalam aliran mu’tazilah. Teolog-teolog yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah memberikan interpretasi harfi atau dekat dengan arti harfi dari teks Al-quran dan hadis. Sikap demikian menimbulkan teologi tradisionil sebagai yang ada dalam aliran Asy’yariyah.[47]
Teologi liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan jiwa dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisional, dengan teguhnya ia berpegang pada arti harfi dari teks ayat-ayat Al-quran dan hadis ditambah dengan kurangnya ia menggunakan logika, kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar. Teologi liberal dengan pembahasanya yang bersifat filosofis sukar dapat ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil dengan uraiannya yang sederhana mudah diterima oleh golongan awam.[48]
Bahwa yang dipertentangkan dalam Islam bukanlah akal dengan wahyu, dan bahwa dalam Islam akal tidak lebih tinggi dari wahyu, itu kurang disadari baik dikalangan umat Islam sendiri, maupun dikalangan penulis-penulis barat. Di kalangan umat Islam masih terdapat rasa curiga dan takut terhadap pendapat-pendapat Mu’tazilah dan filosof-filosof Islam, karena dianggap tidak mengindahkan wahyu, bahkan tidak percaya pada wahyu lagi.[49]
Pada hakikatnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu aliran mana sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Hal ini tidak obahnya pula dengan kebebasan orang Islam memilih mazhab fiqih mana yang sesuai dengan jiwa dan kecenderunganya.[50]
F.     SUMBANGAN DALAM ILMU KEISLAMAN
        Harun Nasution adalah seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam yang rasionalis. Harun mendapatkan pengaruh dari beberapa tokoh pemikir modern, khususnya dari Muhammad Abduh dengan paham Mu’tazilahnya. Perkembangan pemikiran Harun Nasution juga ditunjang dengan pendidikan agamanya yang didapatkan dari Barat. Mengenai pemikirannya mengenai Islam rasional, Harun Nasution berpendapat bahwa Islam sesungguhnya merupakan agama yang rasional, di mana kedudukan akal mendapatkan tempat yang tinggi, tetapi tetap tidak melampaui wahyu. Harun Nasution meyakini bahwa salah satu penyebab kemunduran Islam adalah kesalah pahaman teologi yang dipahami oleh kebanyakan masyarakat muslim, di mana paham tradisional yang dianut kebanyakan masyarakat muslim merupakan penghambat untuk kemajuan peradaban Islam karena terpeliharanya taklid.
         Dengan demikian, Harun berpendapat bahwa, perubahan teologi merupakan salah satu jalan untuk memajukan kembali kejayaan Islam, dan teologi rasional inilah yang tepat untuk menunjang perkembangan masyarakat muslim yang sedang membangun. Adapun upaya yang dilakukan Harun Nasution untuk mengimplementasikan pemikirannya ini adalah melalui jalur pendidikan. Khususnya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan berusaha mengubah formasi kurikulumnya yang dipengaruhi oleh pemikirannya sehingga melahirkan generasi-generasi yang berpikiran rasional. Meskipun demikian, pengaruh dari pemikiran Harun Nasution ini menimbulkan pro kontra. Dukungan datang dari mereka kalangan atas, adapun tanggapan negatif datang dari mereka masyarakat awam, khususnya mereka yang masih memegang erat ajarannya yang masih tradisional, sehingga pengaruh dari pemikirannya hanya terbatas pada mereka kalangan intelektual dan mereka yang mendapatkan pendidikan modern.




KESIMPULAN

Harun Nasution membandingkan ajaran beberapa aliran dengan memunculkan permasalahan-permasalahan agama yaitu: mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui soal baik dan jahat serta kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Semua permasalahan di atas berkaitan dengan akal dan wahyu. Harun menuturkan, tiap aliran memiliki jawabannya masing-masing. Mu’tazilah misalnya, mereka berpendapat bahwa pengetahuan dapat diperoleh lewat akal, sedangkan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang dalam. Sedangkan Asy’ariyah menolak pendapat Mu’tazilah itu. Mereka berpendapat bahwa kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu, sedangkan akal tidak bisa membuat sesuatu menjadi wajib, dan mengerjakan yang baik serta menjauhi yang buruk adalah kewajiban bagi manusia.
Harun mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua aliran teologi sama-sama mempergunakan akal dan wahyu dalam menyelesaikan masalah-masalah umat saat itu. Perbedaan mereka mungkin terletak pada perbedaan mengintepretasikan ayat Al Qur’an atau perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa Mu’tazilah adalah salah satu aliran yang berpandangan liberal, kebanyakan ajaran mereka menggunakan rasio untuk menyelesaikan masalah yang ada. Dari aliran seperti inilah lahir teolog-teolog liberal. Kebanyakan dari mereka berfikir dan berlaku sebagaimana kaum terpelajar, pembahasan mereka juga filosofis sehingga bagi sebagian orang awam hal ini sulit dimengerti. Sedangkan para teolog tradisional cenderung berpegang teguh dalam penafsiran ayat Qur’an dan hadits yang terbatas pada harfiahnya saja dan kadang tidak menggunakan logika, hal ini kurang sesuai jika dibandingkan dengan keadaaan saat ini dimana kini telah lahir banyak pemikir yang berfikir secara logika dan kritis.
Sehingga bukan karena aliran atau ajaran mana yang kita anut kita menjadi berbeda, tapi dari sudut pandang kitalah kita berbeda. Jika kita bisa menyamakan sudut pandang kita, bahwa semua manusia sama dan sederajat maka kita akan menemukan dunia yang serasi, selaras dan seimbang; dan Dr. Harun Nasution telah menguraikan teologi yang bagi kita mungkin sulit ini menjadi hal-hal kecil yang sebenarnya mudah untuk dipahami. 
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad, 1976, Theology Islam  (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang,  Cetakan III.

Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, Jakarta: UI- Press, cetakan ke V.

                , 1985. Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press,  Cetakan II.



*) Makalah Prarevisi


[1]Teologi Islam merupakan ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dari agama Islam. Memepelajari teologi Islam akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat tentang agama Islam.
[2]Penjelasan detailnya lihat di pembahasan.
[3]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,1986), cetakan ke V, hlm. Ix-x
[4]Ibid., hlm., X.
[5] Ahmad Hanafi, Theology Islam  (Ilmu Kalam), ( Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Cetakan III
[6]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan,…hlm.3.
[7]Ibid., hlm.5.
[8]Ibid., hlm. 11-12.
[9]Ibid., hlm. 13.
[10]Ibid., hlm.22.
[11]Ibid., hlm.23-24.
[12]Ibid., hlm.24-25.
[13]Ibid., hlm..31.
[14] Ibid., hlm. 31.
[15] Ibid. hlm. 31.
[16] Ibid., hlm. 33.
[17] Ibid. hlm. 33.
[18]Ibid., hlm. 38.
[19]Ibid.  hlm. 38.
[20]Ibid., hlm.40.
[21]Ibid., hlm.43.
[22]Ibid., hlm.52.
              [23]  Ibid., hlm. 61
              [24]Ibid., hlm. 63
              [25]Ibid., hlm. 68
[26] Ibid., hlm. 69.
[27] Ibid., hlm. 76.
[28] Ibid., hlm. 76.
[29] Ibid., hlm. 77.
[30]  Ibid., hlm.79.
[31]Ibid., hlm. 80.
[32]Ibid.,. hlm.80.
[33]Ibid.,. hlm.80.
[34]Ibid., hlm.81.
[35]Ibid., hlm.81-82.
[36]Ibid., hlm.87.
[37] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1985), Cetakan kedua, hlm. 77.
[38]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan…,hlm. 91.
[39]Ibid., hlm.94.
[40]Ibid., hlm. 81.
               [41] Ibid., hlm. 95.
[42]Ibid., hlm. 96.
[43]Ibid., hlm. 97-98.
[44]Ibid., hlm. 101.
[45]Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam…, hlm. 79.
[46]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan..,hlm. 150.
[47]Ibid., hlm. 150.
[48]Ibid., hlm. 151.
[49]Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam…, hlm. 102.
[50]Ibid., hlm. 152.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter