-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Perbandingan Konsep Pendidikan Islam KH Ahmad Dahlan dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Perbandingan Konsep Pendidikan Islam KH Ahmad Dahlan dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas


Oleh:Islahul Mawaddah

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf, MA



A.    Pendahuluan
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa.  Perkembangan dan kemjuan pendidikan tidak bisa lepas dari kontribusi besar dari para tokoh-tokoh pendidikan. Tokoh-tokoh inilah yang dikemudian hari menjadi rujukan dari tokoh-tokoh yang baru yang akan mengembankan dunia pendidikan. Dari tokoh-tokoh inilah kita dapat belajar dan terus mengembangkan dunia pendidikan, salah satu tokoh pembaruan pendidikan di nusantara yang mempunyai kontribusi besar adalah  KH Ahamd Dahlan dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas oleh karena latar itu penulis membuat makalah ini dengan judul “perbandingan pemikiran tokoh pendidikan: KH Ahamd Dahlan dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

B.     Biografi KH Ahamd Dahlan
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta,[1]pada tanggal 1 Agustus 1868 dan meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 23 Februari 1923.[2] Ia berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal dilingkungan kesultanan Yogyakarta. Ayahnya bernama Abu Bakar bin Sulaiman, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu. Ibunya adalah putri H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu.
K.H. Ahmad Dahlan sewaktu kecilnya bernama Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya adalah perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilahnya, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam ditanah Jawa, demikian dijelaskan oleh Hasan Basri dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam.
Hasan Basri melanjutkan bahwa pada umur 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Ketika kembali kekampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, Ahmad Dahlan kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, sempat berguru kepada syeh Ahmad Khatib yang  juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendidi, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, LH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[3]Pada usia yang masih muda, Ahmad Dahlan membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur. Sebagaimana dijelaskan oleh Delias Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.[4]
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.

C.    Pemikiran Pendidikan KH Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada Al-Qur’an dan Hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komfrehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Adapun upaya untuk mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan ini meliputi.
1.      Tujuan Pendidikan
Menurut Ahmad Dahlan Pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, yaitu alim dalam agama, luas pandangan, yaitu alim dalam ilmu-ilmu umum dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat, hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa baik sebagai hamba Allah maupun khalifah dimuka bumi. Untuk mencapai tujuan ini proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik.
Menurut Ahmad Dahlan upaya ini akan terealisasikan manakala proses pendidikan bersifat integral yang mampu menghasilkan manusia yang lebih berkualitas. Untuk menciptakan peserta didik yang demikian, maka sumber ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2.      Materi Pendidikan
Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari dilembaga Muhammadyah yang dipadukan dengan pendidikan umum.[5]
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.       Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.      Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c.       Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
b.      Metode Pembelajaran
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan Ahmad Dahlan, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan.
Pertama, dalam proses belajar-mengajar, sistem yang dipakai masih menggunakan sorogan (khalaqah), ustadz/kiyai dianggap sebagai sumber kebenaran yang tidak boleh dikritisi. Kondisi ini membuat pengajaran nampak tidak demokratis. Fasilitas-fasilitas modern yang sebenarnya baik untuk digunakan dilarang untuk dipakai karena menyamai orang kafir.
Kedua, materi dan kurikulum yang disajikan masih berkisar pada studi Islam klasik, misalnya, fikih, tasawuf, tauhid, dan sejenisnya. Ilmu-ilmu itu wajib syar'i untuk dipelajari. Sementara ilmu modern tidak diajarkan karena ilmu itu termasuk ilmu Barat yang haram hukumnya bagi orang Islam untuk mempelajarinya. Ilmu-ilmu selain studi Islam klasik tersebut dianggap bukan ilmu Islam. Padahal kalau diteliti, ilmu-ilmu yang berkembang di Barat itu merupakan pengembangan lebih lanjut dari ilmu yang sudah dikembangkan oleh umat Islam pada zaman keemasan Islam.
Ketiga, pendidikan modern hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda ini tidak diajarkan ilmu-ilmu keislaman. Kebanyakan siswa yang bisa masuk dalam pendidikan ala Barat ini adalah orang-orang priyayi atau pegawai pemerintah Belanda.
Dari realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqam yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya.
Hal ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Adapun perbedaan model belajar yang digunakan antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan yang diajarka oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
a.       Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b.      Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c.       Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.[6]

D.    Biografi Singkat Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas. Lahir di Bogor Jawa Barat, pada 5 September 1931.[7] Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah salah seorang intelektual Muslim yang memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan Islam. Ahli filsafat, sejarawan, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia, juga pendiri The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur, Malaysia. Keluarga Al-Attas adalah keluarga yang gemar akan Ilmu. Pada usia 5 tahun, Ia dikirim orang tuanya untuk bersekolah di Sekolah Dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun (1936-1941) di Singapura. Namun, sejak Jepang menduduki Malaysia pada pertengahan 40-an, Naquib kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Madrasah Urwatul Wutsqa, Sukabumi. Ia tamat sekolah atas, dan kembali ke Malaysia. Naquib sempat bergabung dengan dinas ketentaraan negeri itu, dan sempat pula dikirim untuk belajar di Royal Military Academy, Inggris (1952-1955). Pada tahun 1957, ia keluar dari dunia militer dan belajar di Universiti Malaya, Malaysia, selama dua tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, Mc.Gill University, Canada (1959-1962), hingga meraih gelar Master dengan tesis  yang berjudul Raniri and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).[8]
Merasa belum cukup puas dengan pengembaraan intelektualnya, kemudian Syed Muhammad Naquib Al-Attas melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Di sinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970). Pada bulan Desember 1987, Al-Attas diangkat menjadi profesor bidang pemikiran dan peradaban Islam. Ia juga merancang gedung ISTAC yang diresmikan tahun 1991. Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan Al-Ghazali Chair of Islamic Thought pada bulan Desember 1993 dari lembaga ini atas sumbangannya dalam pemikiran Islam kontemporer.Naquib Al-Attas  juga sangat produktif dalam menulis, berbagai karya, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malaya, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Al-Bania.[9]

E.     Konsep Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas
1.      Tujuan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Al-Attas mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam lebih menekankan pada tujuan akhir, yakni menjadikan manusia yang baik, dan bukan masyarakat seperti pada peradaban Barat atau warga-warga yang baik yang dalam perspektif ini adalah individu-individu yang beradab atau bijak yang mengenal dan mengakui segala tata tertib realitas sesuatu termasuk posisi Tuhan dalam realitas tersebut sebagai hasilnya, mereka akan selalu beramal sesuai dengan kaidah. Dalam pandangan Al-Attas tujuan pendidikan Islam  adalah membentuk dan menghasilkan manusia yang baik. unsur yang mendasar yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab.[10]Tentang adab sendiri Al-Attas menjelaskan:
“Adab adalah pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan penilaian. adab berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetauan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagaibagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah intelektual maupun ruhaniah seseorang”[11]

Al-Attas menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik hal ini disebutkanya lagi secara detail.
“Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dan kerajaan yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks yang pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaanya bagi negara, masyarakat dan dunia”[12]

Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik yang dimaksudkan juga pembentukan masyarakat yang baik, karena masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah pembuat stuktur masyarakat melalui individu.[13]Dengan penanaman moral pada manusia atau dalam bahasa Al-Attas   sebuah proses ta’dib yang berkaitan dengan konsep adab yang telah dijelaskan sebelumnya.
2.      Aspek Isi (Materi) Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari pandangan bahwa manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama,yang memenuhi kebutuhan yang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.[14]
Dalam kaitannya dengan muatan kurikulum pendidikan Islam, seperti penjabaran isi kurikulum yang dijelaskan diatas Al-Attas juga menekankan tentang pentingnya konsep hierarki atau tingkatantingkatan dan kategorisasi dalam ilmu pengetahuan. Konsep tersebut berimplikasi pada adanya kadar kepentingan yang berbeda antara satu ilmu dengan yang lainnya. Al-Attas menjelaskan bahwa dalam konteks muatan atau isi pendidikan harus terlebih dahulu diketahui mata pelajaran mana yang perlu untuk didahulukan dan mata pelajaran mana saja yang dapat diajarkan belakangan. Al-Attas memilih ilmu pengetahuan yang diajarkan tersebut dalam kategori fardu ‘ain (setiap muslim wajib mempelajari ilmu pengetahun tersebut), dan fardu kifayah (tidak setiap muslim wajib mempelajari tersebut).[15]
Metode ini adalah bagian dari Islamisasi ilmu pengetahuan modern yang sudah dijelaskan sebelumnya. Al-Attas mempertimbangkan kategorisasi diatas ketika membagi muatan kurikulum ke dalam fardu ‘ain dan fardu kifayah. Berikut rincian detail pembagian ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah.[16]
a.    Fardu ‘Ain (ilmu-ilmu agama) meliputi:
1)   Al-Qur‟an: pembacaan dan penafsiran (tafsir dan ta’wil).
2)   As-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para rosul sebelumnya, hadits dan riwyat-riwayat otorritatifnya.
3)   Asy-Syari‟ah: undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktekpraktek hukum (islam, iman dan ihsan)
4)   Teologi (Ilmu kalam): Tuhan, Dzat-nya, Sifat-sifat, Nama-nama, dan
Perbuatan-Nya (At-Tauhid).
5)      Metafisika Islam (At-Tashawwuf): psikologi, kosmologi, dan ontologi; unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin kosmologi yang benar, berkenaan dengan tingkatan-tingkatan wujud
6)      Ilmu-ilmu linguistik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi, dan kesustraannya.
b.   Fardu Kifayah (Ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis). Al-Attas
membaginya ke dalam delapan displin ilmu:
1)      Ilmu-ilmu kemanusiaa.
2)      Ilmu-ilmu alam
3)       Ilmu-ilmu terapan
4)      Ilmu teknologi
5)      Perbandingan agama dari sudut pandang Islam
6)      Kebudayaan dan peradaban Barat. Disiplin ini mesti dirancang sebagai
7)      sarana bagi orang-orang muslim memahami Islam sehubungan dengan
8)      agama-agama, kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban lain.
9)      Ilmu ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam
10)  Sejarah Islam: pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam.
Pada poin (1) sampai (10) merupakan disiplin-disiplin baru yang menjamin adanya kesinambungan dan panduan logis dalam langkah maju kepada pendidikan secara berurutan dari ilmu-ilmu agama menuju kepada ilmu-ilmu rasional, intelektual, filosofis, dan sebaliknya.
3.      Aspek Metode Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Menurut Al-Attas, pentingnya metode pendidikan berangkat dari konsep pendidikan itu sendiri, yaitu “pendidikan sebagai suatu pross penanaman sesuatu kedalam diri manusia” dalam pengetian ini “suatu proses penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap “sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan, dan “diri manusia” mengacu pada penerimaan proses dari kandungan itu.[17]
Al-Attas meyakini bahwa dalam pendidikan terdapat tiga unsur dasar, yaitu, proses, kandungan atau isi, dan penerima (manusia). makna proses disini adalah metode. Namun antara proses dan penerima sebenarnya menjadi satu kesatuan, karena penerima adalah manusia yang memiliki akal untuk menerjemahkan dan mengartikulasikan bagaimana proses itu dapat berjalan. Bagi Al-Attas metode belajar sangat terkait dengan dimensi-simensi yang bersifat spiritual. Oleh karena itu dalam proses belaja mengajar, metode yang pertama kali harus diberikan adalah suatu tata cara bagaimana kedua belah pihak membangun komitmen yang bersifat etis-spiritual. Artinya metodologis paling mendasar yang harus dipegang dalam pembelajaran adalah landasan etis seperti keikhlasan, kesabaran dan kejujuran, dan landasan spiritual meliputi suatu keyakinan bahwa proses transmisi pengetahuan yang dikembangkan murni merupakan bagian dari keimanan.[18]
Landasan etis-spiritual menjadi metode pembelajaran atau pendidikan pada umumnya yang diusung oleh Al-Attas ini berangkat dari konsep tauhid sebagai basis pemahamannya. Tauhid sebagai metode ini merupakan suatu metode yang dianggap tepat dalam konteks Islam. Metode tauhid perlu diterapkan dalam proses pembelajaran guna menyelesaikan problematika karakter pengetahuan yang dikotomis, seperti antara objektif dan subjektif ilmu pengetahuan.[19]
Ketika metode tauhid diterapkan maka tujuan pendidikan integral akan terwujud, karena metode ini menciptakan keseimbangan dalam pemahaman, penghayatan peserta didik sehingga dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai keagamaan. Jika dalam kerangka pelaksanaan pendidikan keterpaduan ini tidak terpenuhi maka cita-cita dari tujuan konsep pendidikan sebagaimana dikemukakan Al-Attas tidak akan tercapai. Maka dalam pendidikan harus ada keselarasan, kesatuan, atau unifikasi antara aspek-aspek lahir dan batin, aspek eksoterik dan aspek isoterik yaitu aspek-aspek hukum dengan aspek yang menekankan pada aspek spiritual, aspek-aspek mental.[20]
Menurut Al-Attas metode tauhid menjadikan karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktikan olehnya. Metode tauhid ini pun menurutnya dapat menyelesaikan problematika dikotomi yang salah. Al-Attas sering jengkel ketika beberapa orang yang telah memahami agama Islam, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip etikanya bertannya mengenai cara mengimplementasikannya dalam kehidupan dan proses mereka. Al-Attas menggaris bawahi bahwa jika seseorang telah benar-benar memahami ini semua, maka tidak ada dikotomi diantara teori dan praktik.[21]Dalam pendidikan, misalnya, antara aspek Dalam pendidikan, misalnya, antara aspek kognitif dengan aspek afektif, aspek emosianal spiritual bahkan juga dengan aspek psikomotorik yang mengandung terjadinya aktifitas. Dengan metode tauhid, seluruh kegiatan pendidikan Islam akan dijiwai oleh norma-norma ilahiyah dan sekaligus dimotivasi sebagai ibadah. Dengan Ibadah dan pekerjaan pendidikan lebih bermakna, tidak hanya makna materialistic akan tetapi lebih mendasar makna spiritual.[22]

F.     Perbandingan Konsep Pendidikan Islam KH Ahmad Dahlan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Konsep Pendidikan Islam KH Ahmad Dahlan
Konsep Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Tujuan pendidikan perspektif KH Ahmad Dahlan adalah bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa baik sebagai hamba Allah maupun khalifah dimuka bumi
Tujuan pendidikan Islam menurut Al Attas adalah membentuk dan menghasilkan manusia yang baik. unsur yang mendasar yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab.
Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran
Landasan etis-spiritual menjadi metode pembelajaran atau pendidikan pada yang diusung oleh Al-Attas yang mana berangkat dari konsep tauhid sebagai basis pemahamannya.
Materi Pendidikan perspektif  KH Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari dan padukan dengan pendidikan umum.
Dalam konteks muatan atau isi pendidikan Al Attas membagi ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam dua kategori yakni fardu ‘ain dan fardu kifayah. Landasan etis-spiritual menjadi metode pembelajaran atau pendidikan pada yang diusung oleh Al-Attas yang mana berangkat dari konsep tauhid sebagai basis pemahamannya.





G.    Kesimpulan
Tujuan pendidikan perspektif KH Ahmad Dahlan adalah bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa baik sebagai hamba Allah maupun khalifah dimuka bumi. Materi Pendidikan perspektif  KH Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari dan padukan dengan pendidikan umum. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran.
Tujuan pendidikan Islam menurut Al Attas adalah membentuk dan menghasilkan manusia yang baik. unsur yang mendasar yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman ada. Dalam konteks muatan atau isi pendidikan Al Attas membagi ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam dua kategori yakni fardu ‘ain dan fardu kifayah. Landasan etis-spiritual menjadi metode pembelajaran atau pendidikan pada yang diusung oleh Al-Attas yang mana berangkat dari konsep tauhid sebagai basis pemahamannya.


Daftar Pustaka

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekontruksi dan Demokrasi, akarta: Kompas, 2001.

Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1985.

Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Hasan Muarif Hambaly, Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, (T Ichtiar Baru Van Hoeve : Jakarta 1996.

Maemonah, Filsafat Pendidikan Agama: Telaah Pemikiran Syed Naquib dan N.
 Driyarkara, Yogyakarta: FA press, 2015.

Muhammad Naquib Al-Attas, Mizan : Bandung, 2003.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, PT Ciputat Press: Jakarta, 2005.

Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers,2002

Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed, Bandung: Mizan, 2003.


MAKALAH PRAREVISI




[1] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 29
[2] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 234
[3] Hasan Basri, Filsafat…, hlm. 235
[4] Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 85

[5] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm. 107
[6] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 306
[7] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (PT Ciputat Press: Jakarta, 2005), hlm. 11
[8] Hasan Muarif Hambaly, Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, (PT Ichtiar Baru Van Hoeve : Jakarta 1996), cet. ke-1, hlm. 78

[9] A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta) cet. ke-1, hlm. 251
[10] Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, hal. 54.
[11] Ibid., hlm. 63.
[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Mizan : Bandung, 2003), cet. ke-1, hlm. 172
[13] Maemonah, Filsafat Pendidikan Agama: Telaah Pemikiran Syed Naquib dan N.
Driyarkara, (Yogyakarta: FA press, 2015), hlm. 129.
[14] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik, hlm. 269.
[15] Maemonah, Filsafat Pendidikan Agama, hlm. 139.
[16] Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, hlm. 89-91.
[17] Maemonah, Filsafat Pendidikan Agama…, hlm. 114.
[18] Ibid., hlm. 115-116.
[19] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…, hlm. 295.
[20] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekontruksi dan Demokrasi,
(Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 127.
[21] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…, hlm. 297.
[22] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan…, hlm. 127.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter