MAKALAH MAQASHID SYARIAH
PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI
Bayu Wibawa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum kita mengetahui karunia Allah yang terkandung dalam perintah dan larangan-NYA, mari kita menilik posisi manusia disbanding dengan mahkluk-mahkluk lainnya malaikat tercipta dari cahaya, mereka tidak makan, tidak berketurunan, dan tidak berselisih. Dalam hidup mereka hanyalah untuk beribadah, mereka tidak membutuhkan penjelasan mengenai hak wajib dan haram untuk mereka. Disisi lain manusia adalah campuran antara roh dan jasad maka harus ada batasan-batasan yang menjelaskan antara yang boleh dan yang tidak boleh di lakukan. Sejatinya manusia lebih mulia dibanding dengan malaikat apabila dia mengetahui bagaimana meninvestasikannya dalam lingkup pancaran hidayah religious. Manusia memiliki kemampuan spiritual yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Sehingga manusia memiliki tanggung jawab agama untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Manusia memiliki kewajiban untuk taat kepada Allah karena itulah Allah mengutus para Rasul dan mengirimkan kitab agar bisa memberikan petunjuk kepada manusia. Kita tahu bahwa Allah tidak lah membuat perundang-undangan atau syariat tanpa tujuan. Namun Allah mensyariatkan peraturan islam dengan tujuan kemahslahatan dunia dan akhirat kembali kepada para hamba sehingg kesejahteraan akan merata dan rasa aman akan mendominasi.
Kemaslahatan dunia dikategorikan menjadi dua baik yang pencapaian dengan cara menarik kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudharatan. Kemaslahatan ada dua yaitu:
1. Kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syariah yang berada dalam urutan paling atas.
2. Kemaslahatan ghairu dharuriyyah (bukan kemaslahatan pokok); namun kemaslahatan ini tergolong penting dan tidak bias dipisahkan.[1]
Dari dua kemaslahatan inilah kita akan membahas salah satunya yaitu Kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syariah yang berada dalam urutan paling atas. Kemaslahatan yang menurut pemikiran Imam Al-Ghazali dibagi menjadi lima yaitu : menjaga agama(hifdz ad din)menjaga jiwa (hifdz an-nafs), Menjaga akal (hifdz al- aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl) dan harta benda (maal). Dari pemikiran Imam Al-Ghazali membuat kita harus berfikir dan membahasa bagaimana pemikiran dari beliau.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu maqashid syariah?
2. Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang maqashid syariah?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan pembahasan makalah ini sebagai berikut:
1. Dapat memahami apa yang dimaksut dengan maqashid syariah
2. Mengetahui pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Maqashid Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dari Maqashid Syariah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[2]Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[3]
Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agam dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)
Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.[4]
Selain itu Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan.[5]
B. Pemikiran Imam Al-Ghazali
Menurut Imam Al-Ghazali kemaslahatan inti atau pokok mencakup lima hal yang tertuang dalam syair,
Ketahuilah hal itu telah dijaga
Oleh setiap agama yang sudah lalu
Menjaga lima perkara dalam semua syariat
Ialah agama, jiwa dan akal urutan ketiga
Juga keturunan dan harta
Maka kumpulkanlah dalam pendengaran
1. Menjaga agama ( hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihat jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menaga jiwa ( hifdz an-Nafs); illat (alas an) diwajibkan hukum qishaash diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya
3. Menjaga akal ( hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga harta ( hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan cara bathil yang lain.
5. Menjga keturunan ( hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh orang berbuat zina.
Maqashid syariah atau mashlahat dharuriyyah merupakan sesuatu yang penting demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal tersebut tidak terwujud maka akan menimbulkan kerusakan bahkan maqashid syariah atau mashlahat yaitu menjaga agama(hifdz ad din)menjaga jiwa (hifdz an-nafs), Menjaga akal (hifdz al- aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl) dan harta benda (maal)
Menurut imam al-ghazali” tujuan utama syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (diin), dari (nafs), akal, keturunan (nasl), harta benda (maal) apa sak. Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum dan dikehendaki. Implikasi lima perkara ini dalam ilmu ekonomi akan dikaji belakangan, hanya saja disini perlu disadari bahwa tujuan suatu masyarakat muslim adalam untuk berjuang mencapai cita-cita ideal. Kata melindungi tidak perlu diartikan melindungi status quo, tetapi mengandung arti perlunya mendorong pengayaan perkara-perkara ini secara terus menerus sehingga keadaan makin mendekat kepada kondisi ideal dan membantu umat manusia meningkatkan kesejahteraan secara kontinu. Banyak usaha dilakukan oleh sebagian fuqaha untuk menambahkan lima perkara dan mengubah urutannya, namun usaha-usaha ini tampaknya tidak memuaskan para fuqaha lainnya. Imam asy-syatibi menulis kira-kira tiga abad setelah imam al-gazali, menyetujui daftar dan urutan imam ghazali yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap sebagai yang paling cocok dengan esensi syariah.[6]
Dalam membahas masalah maqashid, pengayaan agama, diri akal, keturunan, dan harta benda sebenarnya telah menjadi focus utama usaha semua manusia. Manusia itu sendiri menjadi tujuan sekaligus alat. Tujuan dan alat dalam pandangan al-gazali dan juga para fuqaha lainnya, saling berhubungan satu sama lain dan berada dalam satu proses perputaran sebab-akibat. Realisasi tujuan memperkuat alat dan lebih jauh akan mengintensifkan realisasi tujuan.
Diri,akal, keturunan dan harta. Harta benda ditempatkan pada urutan terakhir. Hal ini tidak disebabkan ia adalah perkara yang tidak penting, namun karena harta itu tidak dengan sendirinya membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang dalam suatu pola yang adil kecuali jika factor manusia itu sendiri telah direformasi untuk menjamin beroperasinya pasar secara fair. Jika harta benda ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi tujuan sendiri, akan menimbulkan ketidak adilan yang kian buruk, ketidak seimbangan, dan akses-akses yang lain pada gilirannya akan mengurngi kesejhteraan mayoritas generasi sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu, keimanan dan harta benda keduanya memang diperlukn bagi kehidupan manusia tetapi imanlah yang membantu menyuktikan suatu disiplin dan makna dalam memperoleh penghidupan dan melakukan pembelajaran sehingga memungkinkan harta itu memenuhi tujuannya seraca lebih efektif.
Selain itu maslahat menurut al-Ghâzalî adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al-Ghâzalî berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqâshid al-syarî‘ah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqâshid al-syarî‘ah adalah Izz al-Dîn ibn Abd. al-Salam dari kalangan Syâfî’iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan takmîlat atau tatimmat.Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklîfharus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pembahasan tentang maqâshid al-syarî‘ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syâtibî dari kalangan Mâlikiyah
Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari jiwa/semangat nas dan ijma’. Contoh: menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang mema-bukkan adalah haram diqiyaskan kepada khamar.
2. Maslahat yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, hen-daklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketika pendapat itu disang-gah, mengapa ia tidak memerintah-kan Raja itu untuk memerdekakan budak, padahal ia kaya, ulama itu berkata, kalau raja itu saya suruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya. Oleh karena itu, maslahatnya, ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini adalah pendapat yang batal dan menyalahi nasdengan maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nas-nasnya disebabkan perubahan kondisi dan situasi.
Ketiga hal tersebut di atas dijadi-kan landasan oleh imam al-Ghazali dalam membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam:
1. Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
2. Maslahat tersebut tidak boleh ber-tentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’.
3. Maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah.
4. Kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zanny yang mendekati qat’i.
5. Dalam kasus-kasus tertentu diperlu-kan persyaratan, harus bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah.[8]
Berdasarkan persyaratan operasi-onal yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam.
Sedangkan ruang lingkup opera-sional maslahah-mursalah tidak di-sebutkan oleh Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil peneli-tian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratma Putra terhadap contoh-contoh kasus maslahah mursalah yang di-kemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya (al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja.[9]
Implementasi maslahah-mursalah tersebut, para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, bahkan Imam al-Ghazali memakai beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah, sehingga berimplikasi kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi beri-kutnya mengenai pendapat ulama ter-dahulu tentang masalah ini.
Dalam kitab al-Mankul, Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan istilah istidlal sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia memakai istilah istislah, dan dalam kitab Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah munasib mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam al-Ghazali tetap menyebutnya dengan istilah maslahah-mursalah. Karena Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan beberapa istilah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Penggunaan terma yang berbeda-beda tersebut juga berimplikasi pada terjadinya distorsi pemahaman pada generasi selanjutnya mengenai teori maslahah-mursalah.
KESIMPULAN
Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan persamaan, dan kemerdekaan.
Dalam pemikirannya Imam Al-Ghazali membagi maslahat menjadi lima yaitu
1. Menjaga agama ( hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihat jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menaga jiwa ( hifdz an-Nafs); illat (alas an) diwajibkan hukum qishaash diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya
3. Menjaga akal ( hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga harta ( hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan cara bathil yang lain.
5. Menjga keturunan ( hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh orang berbuat zina.
Daftar Pustaka
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam
Jauhar ,Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah, Jakarta:Amzah,2010.
Jaya, Asafri. Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam,1966.
M.Umer Chapra. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam.Tazkia Cendekia. 2001
Qorib, Ahmad. Ushul Fikih 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997, Cet, II.
Rahman, Fazlur.Islam, Alih Bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994.
http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/v-behaviorurldefaultvmlo_97.html,di ambil tanggal 5 oktober 2017 pukul 20.09 wib..
*) Makalah Prarevisi
[1] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah,(Jakarta :Amzah.2010).hlm XV.
[2]Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), hlm. 170.
[3] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 140.
[4] Asafri Jaya, Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam,1966), hlm. 12.
[3] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 140.
[4] Asafri Jaya, Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam,1966), hlm. 12.
[5] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah,(Jakarta :Amzah.2010).hlm 211
[6] M.Umer Chapra. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam.(Tazkia Cendekia. 2001), Hlm 102.
[7]http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/v-behaviorurldefaultvmlo_97.html,di ambil tanggal 5 oktober 2017 pukul 20.09 wib.
[8] .Ibid.,
[9] Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, hlm.144.
Post a Comment
Post a Comment