Makalah Ushul Fiqh
Maqashid al-Syariah al-Juwaini
Disusun Oleh:
Anisa Intan Permata Sari
Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad Roy Purwanto, MA
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini dengan tujuan agar mengisi dan memakmurkan kehidupan ini sesuai dengan tata aturan dan hukum-hukum Allah. Oleh karena itu, agar tujuan ini berhasil dengan baik maka sebagai kasih sayang kepada Allah terhadap umat manusia, Allah menurunkan tata aturan dan hukum-hukumnya yang disampaikan dalam bentuk wahyu kepada Muhammad SAW. Wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah itu ada yang dikenal dengan wahyu matluw, yaitu Al-Qur’an dan ada juga yang dikenal dengan wahyu ghairu matluw, yaitu sunnah maupun hadist. Kehadiran hukum Allah atau hukum islam yang harus dijadikan pedoman oleh umat manusia dalam menjalani hidup, dengan kata lain agar manusia meraih hasanah(kebaikan), baik didunia maupun diakhirat. Atas dasar ini, para ulama fiqh dan ushul fiqh telah sepakat bahwa maslahat atau kemaslahatan merupakan tujuan inti pensyariatan hukum islam, sehingga muncullah ungkapan yang sangat populer dikalangan mereka: (Dimana ada maslahat, disanalah hukum Allah). Artinya, maslahat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum islam dapat dijadikan pertimbangan penetapan hukum islam.[1]
Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak lepas dari teori dan konsep tentang maqashid syari’ah dalam Islam. Teori ini telah berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud adanya syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada didalam wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Maqashid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al~Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia baik di
dunia maupun diakhirat kelak.
Jika ditelusuri sejarah perkembangan tentang kajian maqashid syari’ah maka diketahui bahwa perhatian terhadap maqashid syari’ah ini telah ada sejak masa Rasulullah SAW. Penelaahan terhadap maqashid syari'ah mulai mendapat perhatian yang lebih setelah Rasulullah SAW wafat, di saat para sahabat dihadapkan kepada berbagai persoalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah masih hidup. Perubahan sosial yang dimaksud adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai- nilai, sikap-sikap, pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Perubahan sosial seperti ini menuntut kreatifitas para sahabat untuk memecahkan persoalan- persoalan baru yang muncul akibat perubahan sosial itu. Menurut Raisuni[2], maqashid syari’ah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum Al-Syatibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh Al-Turmudzi Al-Hakim, kemudian muncul Abu Mansur Al-Maturidi (w.333. H.) dengan karyanya Ma’khad Al-Syara’ disusul Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasyi (w.365 H.) dengan bukunya Ushul Al-Fiqh dan Mahasin Al-Syari’ah. Setelah Al-Qaffal muncul Abu Bakar Al-Abhari (w.375 H.) dan Al-Baqillany (w. 403 H.) masing-masing dengan karyanya, diantaranya adalah: Mas’alah Al-Jawab wa Al-Dalail wa Al-‘Illah dan Al-Taqrib wa Al-Irsyad fi Tartib Thuruq Al-Ijtihad. Sepeninggal Al-Baqillani muncullah Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Razi, Al-Amidi, Ibnu Hajib, Al-Baidhawi, Al-Asnawi, Ibnu Subki, Ibnu Abd Al-Salam, Al-Qarafi, Al-Thufi, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Al-Qayyim.
Pada perkembangan selanjutnya penelaahan terhadap maqashid syari’ah semakin mendapat perhatian di kalangan ulama ushul. Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Abu Al-Ma'ali Abd Al-Malik Ibn Abdullah Ibn Yusuf Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ulama ushul yang pertama kali meletakkan dasar kajian tentang maqashid syari’ah ini. Imam Al-Juwaini mengatakan orang- orang yang tidak mampu memahami dengan baik tujuan Allah dalam memberikan perintah dan larangan-Nya, maka ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau melakukan istinbath hukum-hukum Syari'at. Pemikiran Imam Al-Juwaini ini selanjutnya dikembangkan oleh Al-Ghazali. Bagi Al-Ghazali memahami maqashid syari’ah berkaitan dengan pembahasan tentang masalik al-munasabah yang terdapat dalam masalik atta’lil. Pembahasan maqashid syari’ah ini kemudian mulai menjadi semakin berkembang dan menjadi bahasan sendiri pada abad ke-5 Hijriyah. Imam Al- Haramain Al-Juwaini merupakan salah seorang ulama ushul yang mulai menggunakan substansi maqashid syari’ah dalam istinbath hukum. Kitab-kitab yang dapat dikatakan sebagai embrio
munculnya pembahasan maqashid syari’ah antara lain: Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh karya Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H/1085 M), Al-Mustashfa dan Al-Mankhul karya Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), dll.
Maqashid syari’ah dalam pengertiannya yang sekarang merupakan bentuk yang cukup rumit dipahami bagi orang-orang awam. Maka dari itu, perlu adanya pengertian maqashid yang lebih sederhana dan mudah dipahami khususnya bagi mereka yang tidak berkecimpung langsung dalam bidang fiqih dan ushul fiqih. Imam Al-Haramain Al-Juwaini yang menggagas konsep maqashid syari’ah dengan mengenalkan istilah dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat dalam penetapan suatu hukum merupakan tokoh yang cukup jarang dikupas pemikirannya. Dengan maksud memberikan bentuk konstruksi maqashid syari’ah yang sederhana agar mudah dipahami, khususnya bagi orang yang tidak mengkaji secara langsung maqashid syari’ah, maka penelitian ini bertujuan untuk mengupas pemikiran Imam Al-Haramain Al-Juwaini tentang maqashid syari’ah. Dengan mengetahui maqashid syari’ah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam mencegah pola pikir yang keliru tentang syari’at Islam. Mengetahui konstruksi awal maqashid syari’ah yang digagas oleh Imam Al-Haramain ini memudahkan umat muslim dalam pengaplikasiannya sebab bangunannya masih sederhana sehingga mudah dalam mempelajari dan memahaminya. Beliaulah orang pertama yang mengenalkan konsep dharuriyyat, hajiyat, dan tahsiniyyat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran maqashid syari’ah oleh Al-Juwaini al-haramain?
2. Apakah pengaruh pemikirannya di antara mazhab-mazhab pemikiran yang telah ada?
C. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library reṣearch atau penelitian perpustakaan, dengan metode analisis komparatif untuk mendeskripsikan sisi unik dari pemikiran al-Juwayni.
D. Ruang Lingkup Pembahasan
Menurut 'Allal Al-Fasiy, maqashid syari’ah adalah : Tujuan yang dikehendaki syara'dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syâri' (Allah) pada setiap hukum. Adapun inti dari maqashid syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Dalam kitabnya Maqashid Al-Syariah Al-Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa maqashid syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah dalam semua atau sebagian besar syari’at-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syari’ah atau tujuan umumnya. Inti dari maqashid syari'ah adalah untuk mencapai kemaslahatan umat yang sebesar-besarnya, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan syara'. Adapun tujuan syara' yang harus dipelihara itu adalah:1) menjaga agama, 2) menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga keturunan dan 5) menjaga harta.[3] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang mukallaf akan bisa memperoleh kemashlahatan jika ia mempunyai kemampuan untuk menjaga lima prinsip di atas, dan sebaliknya ia akan mendapatkan kemudharatan atau mafsadahjika ia tidak bisa menjaga lima hal tersebut. Maqashid syari’ah sebagai sebuah kajian dalam ilmu keislaman sebenarnya sudah ada sejak nash Al-Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Karena maqashid syari’ah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariat-Nya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhluk-Nya.
Biografi Al-Juwayni
Al-Juwayni adalah salah seorang ulama terkemuka pada jamannya yang hingga saat ini menjadi salah satu sumber inspirasi di dunia keilmuan Islam. Buku-buku hasil pemikirannya hampir-hampir mencakup semua disiplin keilmuan, seperti teologi dan politik.[4] Nama lengkapnya ialah Abd al-Malik ibn ‘Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Hayawiyyah Al-Juwayni al-Naysaburi. Ia juga dikenal dengan sebutan Imam Haramain Abu Ma’ali karena sejak kedatangannya ke Hijaz ia diangkat menjadi Imam dua tanah suci, yakni Mekkah dan Madinah.[5] Ia dilahirkan pada 18 Muharram, 419 H/1028 M, tetapi tidak ada kesepakatan dikalangan ulama tentang tempat lahirnya. Namun sebagian ahli sejarah tidak mempermasalahkan bahwa nama al-Juwayni tidak berarti ia hidup dan meninggal di Juwain. Ada dua tempat yang disinyalir sebagai tempat lahir ulama besar ini, yang pertama Busthaniqan, sebuah desa di pinggiran Naysabur, dan yang kedua adalah Juwaini. Imam al-Juwayni meninggal pada tahun 478 H/1085 M di Busthaniqan (wilayah yang berdekatan dengan Naysabur) pada hari rabu malam tanggal 25 Rabi’ ath-Thani. Karena kepopulerannya, sebagian pakar sejarah mengatakan bahwa ketika hari kematiannya semua aktifitas masyarakat berhenti untuk menghormatinya. Beliau adalah pemuka madzhab syafi’i dan menjelaskan tentang sikap mazhab fuqaha terhadap istidlal. Dari perkataannya dapat diambil manfaat bahwa sikap syafii terhadap istislah ternyata positif seperti sikap abu hanifa dan sahabat-sahabatnya. Yang termasuk mazhab syafi’i ialah berpegang kepada nilai meskipun tidak bersandar kepada asal dengan syarat dekatnya nilai tersebut terhadap nilai asal yang telah tetap. Perkataan al-Juaini menjelaskan bahwa imam syafi’i memberi syarat dalam mengakui maslahah mursalah, yaitu maslahat harus dekat dengan nilai ushul yang tsabit.Begitu pula pendapat orang istislahiyyun. Hal ini merupakan syarat yang memperkuat hakekat dan pengakuan terhadap maslahat, dan tidak mengeluarkan bagian maslahat. Di samping itu, syarat tersebut seolah-olah syarat yang memperjelas maslahat bukan mentakhasisnya.[6]
Pemikiran Ushul Fiqh Imam al-Juwayni
Ushul Fiqh merupakan suatu ilmu metodologi yang dapat membantu para mujtahid untuk mengetahui secara menyeluruh bagian dari syariah untuk mengeluarkan hukum syariah tersebut dari sumbernya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, dari dalil-dalilnya yang terperinci. Ushul Fiqhadalah ilmu yang terdiri dari aturan umum untuk membantu mujtahid dalam memecahkan permasalahan agama baik dimasa dahulu, sekarang maupun yang akan datang. Jadi, bisa juga dikatakan bahwa tidak mungkin orang dapat sampai pada kesimpulan fikih kalau ia tidak mengetahui ilmu ushul fiqh ini. Al-Juwayni merupakan salah seorang dalam bidang Ushul Fiqh yang terinspirasi dan bahkan mengikukti metode Syafi’i dalam karyanya dibidang Ushul Fiqh yaitu kitab al-Burhan. Kitab ini oleh para ulama dianggap sebagai salah satu kitab terpenting yang membahas tentang ilmu Ushul Fiqh. Dalam karyanya, al-Juwayni menghubungkan suatu permasalahan yang dibahas dengan ilmu Uhul Fiqh . Beberapa kitab yang ia tulis seperti al-Burhan, al-Irshad fi Ushul Fiqh, dan al-Tuhfah, secara spesifik diperuntukkan sebagai pengetahuan tentang wilayah cakupan dan metode ijtihād.[7] Dalam karyanya, secara umum pemikiran metodologis al-Juwayni menggunakan pendekatan yang dipakai oleh Syafi’i, yakni dengan cara memadukan antara akal rasional dengan tekstual nas.
Yang menjadi sumber pokok pada pembahasan ini adalah kitab al-Burhan, karena kitab inilah satu-satunya kitab al-Juwayni yang paling pokok dalam membahas pemikiran Ushul Fiqhnya. Hubungannya dengan pemikiran metodologi ijtihadnya, hampir semua ide al-Juwayni sejalan dengan pemikiran mazhab Syafi’i,[8] karena itulah tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya al-Juwayni adalah salah satu sumber penting yang melestarikan pemikiran mazhab yafi’i. Namun, hal itu tidak berarti menghilangkan kenyataan bahwa al-Juwayni adalah seorang pemikir atau mujtahid independen. Karena dalam banyak hal pula, al-Juwayni tidak segan-segan menunjukkan ketidaksepakatannya dengan imamnya, dan bahkan ia banyak berbeda pandangan dengan para ulama mazhab Syafi’i yang mana ia menjadi bagian di dalamnya. Salah satu karya al-Juwayni, yakni kitab al-Durrah al-Mudiyyah, mengungkapkan hal ini, yakni pendapat-pendapat al-Juwayni yang membuktikan bahwa ia seorang pemikir independen dalam ilmu fikih dan Ushul Fiqh.[9] Menurut al-Juwayni, asal ilmu Ushul Fiqh adalah hasil inspirasi dari ilmu kalam, atau pengetahuan nalar ilmiah. Sedangkan asal dari fikih adalah dalil-dalil atau dengan kata lain nas yang mendukung pandangan hukum. Menurut al-Juwayni, dalil dapat dikelompokkan menjadi tiga,(1) Bayan (revelation) yang terdiri dari al-Qur’an dan Sunnah, (2) Ijma’ (consensus), dan (3) Deduksi yang berdasarkan nas yang termasuk didalamnya adalah qiyas (analogy) dan istidlal (inference).[10] Klasifikasi ini sebenarnya telah disepakati oleh jumhur ulama masa lalu, termasuk oleh para ulama mazhab syafi’i.[11]
Pemikiran Fiqh al-Juwayni
Al-Juwayni, selain terkenal dengan kontribusinya yang besar pada ilmu kalam, ia juga dikenal sebagai seorang pakar dibidang ilmu fiqh. Ia bahkan berani untuk berpikir berbeda dari pemikiran mazhab yang ia anut dalam bidang ilmu tersebut, yakni mazhab Syafi’i. Ia bahkan tanpa segan berani mengkritik dan menantang beberapa pakar fiqh seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Ia pertama kali belajar dengan ilmu fiqh adalah melalui bapaknya, dan kemudian dilanjutkan belajar kepada guru yang sangat terkenal pada masa itu, yakni al-Isfarayini yang memiliki pengaruh besar dalam diri al-Juwayni dan cara berpikirnya.[12] Guru-gurunya, termasuk bapak kandungnya adalah para penganut mazhab Syafi’i, karena itu al-Juwayni menjadi salah seorang pembela paling terkemuka dari mazhab ini.
Pemikiran Maqashid syari’ah Al-Juwaini
Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ulama ushul yang pertama kali meletakkan dasar kajian tentang maqashid syari’ah ini. Al-Juwaini mengatakan orang-orang yang tidak mampu memahami dengan baik tujuan Allah dalam memberikan perintah dan larangan-Nya, maka ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau melakukan istinbath hukum-hukum syari’at.[13] Salah satu arah pembicaraan Imam Al-Haramain Al-Juwaini adalah menyangkut penegakan nilai-nilai keadilan dan memberangus kewenangan melalui imamah. Hal ini juga dapat dilihat dari judul kitabnya, Ghiyats Al-Umam fi Iltiyas Al-Zulm (Menolong Umat dalam Membelenggu Kesewenang-wenangan).
Menurut Al-Juwaini imamahialah kepemimpinan paripurna yang menyangkut kalangan tertentu maupun umum didalam mengemban kepentingan agama dan dunia, yang meliputi pengamanan negara, kesejahteraan rakyat (ri’ayah ar-ra’iyyah), pelaksanaan dakwah dengan cara yang baik (bi al-hujjah) maupun dengan kekerasan (bi as-saif), jika memang untuk mempertahankan diri, pencegahan penyimpangan, kezaliman, penghukuman pihak yang zalim sebagai bentuk keadilan bagi kalangan yang terzalimi, dan mengembalikan hak kepada orang-orang yang berhak dari orang-orang yang merenggutnya. Jadi, imamah pada dasarnya ditegakkan untuk mengatur kepentingan agama dan dunia dengan prinsip-prinsip keadilan. Dan melalui imamah
diharapkan akan terwujud masyarakat yang baik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian (HAM), dan melindungi warga negara dari perilaku kewenangan. Dengan kata lain, kewenangan adalah musuh umat manusia yang harus dibelenggu sehingga tidak mencederai kemanusian itu sendiri. Lebih detail lagi, Al-Juwaini meyakinkan bahwa tanpa seorang imam pun rakyat dapat berdiri secara independen dengan tuntunan ulama. Bahkan lebih dimungkinkan dengan adanya kekuasaan politik problem yang timbul jauh lebih besar. Hal ini dikuatkan oleh sejarah yang merekam tingkah polah para raja yang dengan mudah memanipulasi jargon agama demi sebuah kepentingan. Bagi Al-Juwaini, al-umum bi al-maqashid, la bi alrusum, sesuatu terletak pada esensi bukan pada bentuk dan rupanya.
Menurutnya Al-Risalah lahir bukan tanpa masalah. Bahkan dalam persepsi Al-Juwaini, Al-Risalah adalah sumber dari berbagai problem yang muncul kemudian. Mungkin benar, bahwa Al-Risalah adalah surat damai bagi kaum skripturalis dan rasionalis pada masa Al-Syafi’i. Tetapi tidak bagi masa Al-Juwaini juga pada masa setelah itu. Al-Juwaini memulainya dengan memaknai ulang Al-Risalah karya Imam Al-Syafi’i. Baginya ijtihad, ijma’, qiyas, qath’i dan zanni, konsep ketaatan, perintah, larangan, dan sebagainya, harus dijamah kembali dengan sentuhan yang berpihak pada konteks sosial. Kemudian Al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqashid syari'ah itu dalam hubungannya dengan illat. Al-Juwaini membagi tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu :[14]
1. Dharuriyat, yaitu hal yang amat menentukan kesinambungan agama dan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, yang jika hal ini hilang, maka berakibat kesengsaraan dunia, dan hilangnya nikmat serta datangnya azab di akhirat. Menurut para ulama, ada 5 macam dharuriyat : Memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Hajiyat, yaitu hal yang diperlukan manusia untuk menghilangkan kesusahan atau kesempitan mereka. Bila hal ini tidak ada, tidak sampai mengakibatkan kehancuran kehidupan, namun manusia jatuh pada kesusahan. Contohnya, berbagai rukhshah dalam ibadah.
3. Makramat (Tahsiniyat), yaitu hal yang menjadikan manusia berada dalam adab yang mulia dan akhlaq yang lurus, dan jika tidak terwujud, kehidupan manusia akan bertentangan dengan nilai-nilai kepantasan, akhlaq, dan fitrah yang sehat. Contohnya, menutup aurat dan berpakaian baik dalam shalat.
Dalam muqaddimah kitab Al-Burhan fi Ushul Fiqh tersebut, beliau menuliskan beberapa pokok bahasan diantaranya [15]:
1. Menentukan tujuan yang ingin dicapai, dengan menentukan inti permasalahan kemudian memecahkannya dengan metode pemilahan.
2. Menerangkan makna lafaz dan istilah-istilah yang akan digunakan dalam memecahkan suatu permasalahan.
3. Memuat pendapat-pendapat ulama yang berbeda, menjelaskan dalil-dalil mereka kemudian mendiskusikannya dan memilih yang paling benar.
4. Ijtihad yang bebas, dan tidak terikat dengan suatu madzhab tertentu dan membebaskan diri dari pengaruh pemikiran-pemikiran ulama sebelumnya.
5. Diskusi yang panjang mengenai perdebatan beliau dengan pendapat ulama-ulama sebelumnya.
6. Memelihara ushul dan qawa’id secara terperinci, dan menghindari juz’iyat yang tidak penting.
7. Waspada dan teliti dalam menghindari sebab-sebab yang menggelincirkan dalam bahasan-bahasannya.
8. Memberikan porsi yang sama terhadap pendapat-pendapat lainnya dalam mendiskusikan permasalahan-permasalahan dan dalam mencapai ushul yang diinginkan.[16]
Metode Fiqh al-Juwayni
Metode fiqh Imam al-Juwayni dapat dilihat dari dua aspek: Pertama, adalah perhatiannya serta kesungguhannya dalam mengumpulkan literatur fiqh sebanyak mungkin, terutama literatur-literatur fiqh yang terdapat dalam mazhab syafi’i. Kedua, analisis yang ia lakukan dari pendapat-pendapat terdahulu dan pandangannya terhadap pendapat sebelumnya. Pendekatan khusus yang ia gunakan adalah dengan cara menguji argumen-argumen tersebut secara hati-hati, memperbandingkan pendapat-pendapat yang saling berbeda, serta menggunakan piranti argumentasi dalam ilmu kalam yang sangat ia kuasai untuk menjawab masalah-masalah fiqh.[17] Meskipun al-Juwayni menjadi ulama terkemuka dalam mazhab Syafi’i, namun pada kenyataannya pemikiran al-Juwayni tidak selalu sejalan dengan pemikiran mazhab tersebut. Sebaliknya, dalam tulisannya yang mengkaji pandangan fiqh para ulama sebelumnya, al-Juwayni meskipun dalam banyak hal memiliki pendapat yang sejalan dengan mazhab Abu Hanifah dan Malik, namun ia tidak pernah menganggap kesepakatannya sebagai bentuk deklarasinya untuk memeluk mazhab lain selain mazhab Syafi’i. Sebagai contoh yang bisa disebutkan disini adalah kesepakatannya dengan pandangan mazhab Abu Hanifah dalam beberapa masalah seperti hukum i’tikaf, umrah dan haji. Juga kesepakatannya dengan pandangan mazhab Maliki tentang masalah haji dan konsep hukum taklifi.[18]
Secara umum, ada tiga karakter yang dibangun oleh al-Juwayni terkait pemikiran fiqhnya, sebagaimana yang termuat dalam beberapa kitab karyanya.
Karakter-karakter tersebut tentunya mencerminkan tingkat dan kedalaman keilmuan
sang Imam, karena setiap pendapat yang ia ungkapkan selalu disertai rincian argumen
ilmiah yang muncul dari otentisitas pemikirannya. Adapun karakter fiqh al-Juwayni
diantaranya: Pertama, ia selalu memilih pendapat yang paling toleran atau memudahkan. Hal ini berdasarkan Hadis bahwa ketika Rasulullah dihadapkan pada beberapa permasalahan, beliau selalu memilih pendapat yang paling mudah. Kedua, ia sangat menghargai adat atau tradisi yang hidup dalam masyarakat. Karena menurut pandangan al-Juwayni, adat atau urfadalah pendukung dari dalil-dalil Nas. Ketiga, dalam banyak hal pendapat fiqhnya selalu mengutamakan kemaslahatan umum.
Kontribusi al-Juwayni dalam Ilmu Fiqh pada bagian ini akan disinggung beberapa hal yang menjadi kontribusi al-Juwayni dalam fiqh. Sebagaimana yang penulis jelaskan di awal, bahwa meskipun al-Juwayni bermazhab Syafi’i, namun dalam banyak hal ia berbeda pendapat dengan mazhabnya. Ia cenderung berpendapat berbeda dari para pendahulunya, dan bahkan dari para gurunya. Berikut beberapa contoh pemikirannya. (1) Al-Juwayni menolak pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i tentang tasahud, dengan memilih Hadis dari Ibn Abbas dalam mendukung argumennya, (2) ia mengkritik keras Yahya bin Yahya ketika ia menetapkan denda kepada Amir Andalusia dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan bukan membebaskan budak karena telah melakukan intercourse pada siang hari di bulan Ramadhan. Meskipun maksudnya adalah untuk membuat sang Amir jera, karena hukuman membebaskan budak jauh lebih mudah bagi Amir daripada berpuasa dua bulan berturut-turut, namun demikian al-Juwayni mengkritik fatwa tersebut dan menegaskan bahwa Nash telah sangat jelas menentukan hukuman yang seharusnya diprioritaskan, (3) tentang tayamum (bersuci dengan menggunakan pasir, debu atau batu), ia menolak pendapat yang mengatakan bahwa tayamum dapat mensucikan hanya untuk satu kewajiban tertentu yang ditentukan oleh orang yang melakukan tayamum tersebut. Al-Juwayni berpendapat bahwa tayamum tidak dapat mensucikan, tetapi tayamum dilakukan hanya untuk mendapatkan kebolehan melakukan ibadah. Menurutnya, tayamum memiliki fungsi yang sama dengan wudhu (bersuci dengan air), yakni menjadi syarat sahnya suatu ibadah, hanya saja tidak mempunyai efek mensucikan, (4) ia berbeda pendapat dengan ulama lainnya tentang syarat menghadap Ka’bah dalam shalat. Menurut al-Juwayni, sangat tidak mungkin bagi umat Islam yang jauh dari Mekkah untuk melakukan sholat persis menghadap Ka’bah, yang bisa dilakukan adalah memperkirakan arah Ka’bah. Sehingga menghadap Ka’bah tidak seharusnya menjadi syarat sah sholat, (5) Syafi’i tidak memperbolehkan penggunaan pakaian tertentu dalam ihram. Tetapi al-Juwayni menolak pendapat tersebut dan menegaskan bahwa sepanjang pakaian itu dapat memenuhi tujuan pemakaiannya, yakni menutupi apa yang harus ditutup, maka tidak masalah menggunakannya.[19] Demikian sedikit contoh kontribusi al-Juwayni dalam ilmu fikih. Contoh yang lebih terperinci dapat dilihat dalam beberapa karyanya seperti al-Durrah al-Mudiyyah, Nihayat al-Matlas , dan al-Ghiyathi.
Posisi dan Pengaruh Pemikiran al-Juwayni
Apabila dilihat dari pemikirannya, al-Juwayni mampu menempati posisi sebagai mujtahid mutlaq muntasib, yakni seorang mujtahid bebas yang meskipun dari sisi metodologis tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidah ijtihadnya atau mengikuti salah satu aliran ijtihad yang telah ada, namun dalam banyak hal juga tidak sepenuhnya mengikuti Imam mazhabnya. Hal ini dibuktikan dengan posisinya sebagai mendukung terkemuka mazhab Syafi’i, sekaligus sebagai pengkritik pendapat imam dalam mazhabnya sendiri.
Adapun pengaruh pemikiran al-Juwayni dapat dilihat pada karya para ulama sepeninggalnya. Karya al-Juwayni yang paling terkenal dalam bidang fikih, yakni kitab Nihayat al-Matlas, telah banyak digunakan sebagai rujukan utama terutama dalam mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Nawawi, kitab tersebut adalah salah satu dari empat kitab rujukan utama fiqh Syafi’i. Kitab Nihayat al-Matlas , telah menjadi dasar dari kitab-kitab fikih yang ditulis oleh ulama-ulama besar setelah al-Juwayni, di antaranya adalah Abu Hamid al-Ghazali, al-Shatibi, al-Amidi dan al-Subki. Begitu pula dengan kitab ushulnya al-Burhan, yang menurut al-Subki kitab tersebut menjadi “guru” yang mengajarkan prinsip-prinsip pengembangan ilmu fiqh.[20] Imam Al-Haramain membagi ushul syari`ah menjadi 5 bagian:
1. Ushul yang secara akal merupakan hal yang dharuri demi keberlangsungan hidup, seperti hifz al-dima dan larangan melakukan pembunuhan, hal ini merupakan `illat diwajibkannya qishas.
2. Ushul yang berhubungan dengan kepentingan umum, akan tetapi tidak sampai pada derajat dharuri, ushul seperti ini merupakan `illat bagi beberapa bentuk transaksi dalam syari’ah.
3. Ushul yang merupakan anjuran terhadap adab-adab yang seharusnya (Tahsinat).
4. Ushul yang berhubungan dengan perkara-perkara yang mandub (sunnah).
5. Ushul yang tidak bisa difahami maknanya.
Kelima ushul syari’ah ini menurut Imam Al-Haramain merupakan maqashid syari’ah yang tidak tercantum secara nash-maqasid istiqraiyah, ketika kelima point ini telah diakui keberadaannya sebagai ushul dalam syariah, maka boleh melakukan qiyasterhadap ushul-ushul syari’ah tersebut. Dengan menggunakan metode penulisan yang berbeda dalam kitabnya, Al-Juwaini dianggap sebagai ulama pembaharu dalam bidang ushul fiqih. Jika imam Syafi’i dengan kitab Al-Risalahnya adalah Ashl Al-Ushul, maka Imam Al-Haramain Al-Juwaini dengan kitab Al-Burhan sebagai tonggak dari pemikiran maqashid syari’ah dalam khazanah keilmuan Islam.
E. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun al-Juwayni
bermazhab Syafi’i, namun dalam banyak hal ia berbeda pandangan dengan Imamnya.
Secara tegas ia menempatkan dirinya sebagai pendukung mazhab Syafi’i, sekaligus
sebagai pengkritik paling keras terhadap pemikiran mazhabnya sendiri. Ia adalah salah satu sarjana yang menjadikan Ushul Fiqh sebagai sains tersendiri yang menjadi dasar ilmu fikih. Kontribusi al-Juwayni dalam bidang Ushul Fiqh adalah posisi pemikirannya yang netral. Demikian pula dalam bidang fikih, al-Juwayni adalah pemikir independen. Itu artinya, yang diikuti al-Juwayni dari mazhab Syafi’i hanya terbatas pada perkara yang diyakininya benar.
Konsep maqashid yang ditawarkan Imam Al-Haramain Al-Juwaini adalah menjadikan ijtihad, ijma’, qiyas, qath’i dan zanni, konsep ketaatan, perintah, larangan, dan sebagainya, berpihak pada konteks sosial dan bertujuan untuk kemashlahatan umat. Beliau membagi mashlahat sebagai tujuan syari’at sebagaimana dimaksud dari sisi kekuatannya menjadi tiga, yaitu :
a. Adh-Dharuriyat (الضروریات) Yaitu mashlahat yang keberadaannya sangat diperlukan oleh manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia, jika maslahat ini tidak ada maka rusaklah kehidupan dunianya, dan di akhirat ia akan kehilangan kenikmatan dan mendapat siksa.
b. Al-Hajiyat ( الحاجیات )Yaitu mashlahat yang keberadaannya akan menghilangkan kesempitan ( الحرج ) pada manusia. Contoh mashlahat jenis ini adalah disyari’atkannya jual beli, sewa-menyewa, berbagai rukhshah dalam ibadah seperti mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir, diwajibkannya menuntut ilmu agama, dan lain-lain.
c. At-Tahsiniyat ( التحسینیات) Yaitu mashlahat yang keberadaannya akan menghasilkan kebaikan dan kemuliaan bagi kehidupan manusia. Contoh mashlahat jenis ini adalah kewajiban thaharah, pengharaman makanan-makanan yang buruk serta kotor, taqarrub dengan yang sunnah, dan sebagainya.
Al-Juwayni dapat dikatakan menempati posisi sebagai mujtahid mutlaq muntasib, yakni seorang mujtahid bebas yang meskipun dari sisi metodologis tidak
menciptakan sendiri kaidah ijtihadnya atau mengikuti salah satu aliran ijtihad yang telah ada, namun dalam banyak hal juga tidak sepenuhnya mengikuti Imam mazhabnya. Adapun pengaruh pemikiran al-Juwayni dapat ditelusuri pada karya-karya para ulama sepeninggalnya. Karya-karya al-Juwayni baik dalam bidang ilmu Ushul Fiqh maupun fiqh, telah banyak digunakan sebagai rujukan utama terutama dalam mazhab Syafi’i.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Munif Suratmaputra, 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Musthofa Ahmad Al-Zarqa, 2000. Hukum Islam Dan Perubahan Sosial (Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqh). Jakarta: Riora Cipta.
Al-Raisuni, Dr. Ahmad, 1995. Nazariyyat Al-Maqashid ‘inda Al-Imam Asy-Syathibi. Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’iyyah Li Al-dirasat wa Al-Nasyr wa Al-Tauzi’.
Al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, 1983. Al-Mustashfa min ‘Ilm Al-Ushul Juz I. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Muhammad Al-Zuhayli, 1986. Al-Imam al-Juwayni. Damaskus: Dar al-Qalam 5-6. Harbi, M. ‘Ali ‘uthman, Abu al-Ma’āli al-Juwayni. Beirut: ‘Alam al-Kutub.
Ghilman Nursidin, 2012.“Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari’ah Imam Al-Haramain Al-Juwaini( Kajian Sosio-Historis )”, Tesis, Semarang: IAIN Walisongo.
Chamim Tohari. “PEMIKIRAN TEORI HUKUM ISLAM IMAM AL-JUWAYNI Analisis Pemikiran Ushul Fiqh Imam al-Juwayni, Serta Posisinya Dalam Ijtihad”. Jurnal., Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya.
*) Makalah Prarevisi
[1]Ahmad Munir Suratman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hlm. 1.
[2] Al-Raisuni, Dr. Ahmad, Nazariyyat Al-Maqashid ‘inda Al-Imam Asy-Syathibi, (Beirut, Al-Muassasah Al-Jami’iyyah Li Al-dirasat wa Al-Nasyr wa Al-Tauzi’, 1995) hal. 32.
[3] Al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, Al-Mustashfa min ‘Ilm Al-Ushul, Juz I, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983), hal. 286-287.
[4] Muhammad Al-Zuhayli, al-Imam al-Juwaynī , (Damaskus: Dar al-Qalam, 1986), 5-6. Harbī, M. ‘Ali ‘uthman, Abu al-Ma’āli al-Juwaynī(Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1986), 19-20.
[5] Taj al-Dīn al-Subki, Taṣ baqāt al-Shāfi’iyyahh al-Kubrā (Beirut: Dār al-Ma‘rifa, t.th.), Vol.3, 249-252).
[6][6] Ahmad Musthafa Al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Riora Cipta)., Hlm 72.
[7]Al-Zuhayli, al-Imam al-Juwayni, 167-172.
[8]Ibid, 130.
[9] Imam Haramayn Abu al-Ma’ali Al-Juwayni , al-Durra al-Mudiyya, (Qatar: Idarat Ihya’ al-Turath al-Islami, 1986).
[10] Al-Juwayni , al-Burhan, 562.
[11] ‘Abd al-Halim al-Jundi, al-Imam al-syafi’i, (Cairo: Lajnat al-Ta’rif bi al-Islam, 1969) , 274-294.
[12] Al-Zuhayli, al-Imam…,73.
[13] Kitab ini dicetak dalam banyak versi dan judul beserta dengan komentar, penjelasan dan syarah beberapa ulama. Seperti contohnya cetakan Percetakan Musthafa Bab Al-Halabi, Mesir dengan judul Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh, yang didalamnya memuat penjelasan Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli Asy-Syafi’i.
[14] Ghilman Nursidin, “Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari’ah Imam Al-Haramain Al-Juwaini( Kajian Sosio-Historis )”,Tesis, Semarang: IAIN Walisongo, 2012.
[15]Ghilman Nursidin, “Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari’ah Imam Al-Haramain Al-Juwaini( Kajian Sosio-Historis )”, Tesis, Semarang: IAIN Walisongo, 2012, hlm 20.
[16] Secara bahasa Istiqra’ berarti meminta untuk dibaca, diselidiki, dan diteliti. Sedangkan dalam artian secara istilah ialah: Meneliti permasalahan-permashan cabang (juz’i) dengan mendetail guna menemukan sebuah hukum yang diterapkan pada seluruh permasalahan (kulli). Atau biasa diartikan dengan sebuah pengambilan dalil dengan menetapkan suatu hukum pada hal-hal yang (Juz’i) yang kemudian diberlakukan pada hal-hal yang (Kulli), atau dalam artian lain adalah pengambilan dalil hukum dengan cara metode induktif.
[17]Ibid, 130.
[18]Al-Juwaynī , al-Durra al-Madiyyah, (Qatar: Idarat Ihya al-Turath al-Islami, 1986), 334.
[19] Chamim Tohari, “PEMIKIRAN TEORI HUKUM ISLAM IMAM AL-JUWAYNI Analisis Pemikiran Ushul Fiqh Imam al-Juwayni, Serta Posisinya Dalam Ijtihad”, Jurnal, Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Post a Comment
Post a Comment