MAKALAH
MAQASHID AL SYARIA’AH: “NAJMUDIN AL THUFI”
Disusun Oleh :
Ervi Wilandari Indah Putri
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang mashlahah banyak versi dan beragam dalam hukum islam hal ini dilakukan oleh pemikir pemikir untuk mengkonsepkan mashlahah dan merumuskan tentang perubahan zaman, prinsip ini dimana prinsip ini sangat penting di karenakan ini dapat di gunakan untuk membenarkan perubahan yang memiliki kepentingan lembaga atau pun umum.
Salah satu pemikir mashlahah pada abad pertengahan adalah Najm al-Din al-Thufi yang mana beliau melakukan pembahasan mashlahah menggunakan rasional, sehingga mengundang kontroversi. Sehingga banyak pemikir kontemporer yang merujuk pemikiran pemikiran Najm al-Din al-Thufi.
Pendapat adari al-thufi sendiri adalah mendahulukan mashlahah dari pada Nash dan Ijma’ saat terjadinya pertentangan dan permasalahan, Di antara Nash dan Ijma’. Ada empat pilar yang mendasarinya pertama adalah akal manusia, kedua adalah mashlahah sebagai dalil, ketiga mashlahah sebagai objek, yang kempat maslahah sebagai dalil syari yang terkuat.
Yang mana para ulama ushul fihq terdahulu menempatkan mashlahah di bawah Nash sehingga ini menjadi kontroversi yang timbul yang mana al-Thufi menempatkan mashlahah lebih utama dari pada Nash al-Qur’an, al Sunnah, dan Ijma’.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep pemikiran Najmudin al-Thufi tentang Maqosid syari’ah
C. Ruang Lingkup Penelitian (pembahasan)
1. Gambaran Tokoh
a. Al-Thufi
Najm al-Din al-Thufi yang sebenarnya bernama Sulaimam ada yang menambahkan Abu ar-Rabi yang mana lebih lengkapnya adalah Abu al-Rabi’ Sulaiman Ibn Abdu alQawiy ibn Abdul Karim ibn Sa’id. Al-Thufi Al-sarsari Al- Baghdadi Al-Hanbali. seorang ulama fiqh dan ushul fiqh yang mazhab Hanbali yang dilahirkkan di desa Thufa, Sharshar, Irak. Nama lengkapnya adalah merupakan nama yang dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Thufa. Ia lahir tahun 675 H (1276 M), Najm al-Din sendiri bermakna Bintang Agama yang merupakan nama panggilan atau gelar (laqab) yang diberikan muridnya terkadang pula beliau juga dikenal sebagai Ibn ‘Abd al-Abbas.[1]dan wafat tahun 716 H (1316 M)
Dimana para ulama banyak yang berbeda pendapat mengenai tahun lahir dan tahun meninggalnya at-thufi, sehingga para ulama tersebut meneliti dari berbagai karya karya beliau sehingga pendapat bahwa al-thufi meninggal pada tahun 716 H. Dalam hal ini informasi kehidupan al-thufi tidak banyak yang dapat digali. Sebagaimana yang disebutkan diatas beliau terkenal sebagai ulama yang bermazab hanbali, madzab hanbali ini kita kenal sebagai madzab yang mengedepankan rasionalbeliau menitik tekankan pada maslahah dan akal.
b. Kondisi politik saat lahirnya al-thufi
Kelahiran al-Thufi diiringi dua peristiwa besar yang pertamaadalah perang salib dan yang keduaadalah penyerbuan tentara mongolke baghdad. Syam, Andalisia, Mesir, Afrika, dan di berbagai kota sedang berkobar perang salib perang ini terjadi dalam rentang waktu yang sangat lama hampir dua abad lamanya beruntut selama enam priode pemicu perang ini adalah kekalahan dari kaum muslim, sehingga terjadinya instabilitas Ekonomi, Politik, Budaya, Serta Keilmuan. Dari kedua tragedi tersebut situasi politik dan keilmuan islam menjadi tidak terarah yang nama akhirnya menjadi dapak negatif bagi dunia islam, sehingga pemahaman ajaran keislamanpun mengalami kemunduran.
c. Karya-karya Al-Thufi
Di antara karyanya
a. Bidang ulumul qur’an dan ulumul hadits,
diantaranya al-isyarat al-Ilahiyah ila al-Mabahis al-Ushuliyyah dan Iddah al-Bayan ‘an Ma’ani Umm al-Qur’an.
b. Bidang teologi
Al- intisarat al-islamiyahfi khasyfi syubi al-nashraniyah
c. Bidang akidah, fiqh dan ushul fiqh antara lain:
Bughyah as-Sa’il fi Ummahat al-Masail dan al-Intisyarat al-Islamiyyah fi Daf Syubhah an-Nasraniyyah (bidang ushuluddin). Mukhtasar ar-Raudhah alQadamiyyah dan Ma’arij al-Ushul ila ‘ilm al-Ushul (bidang ushul fiqh) dan ar-Riyad an-Nawadir fi al-Asybah wa an-Nazair dan Syarh Mukhtasar at-Tibrizi (bidang fiqh)
d. Bidang sastra Arab di antaranya:
Daf al-Malam ‘ain ahl al-Mantiq wa al-Kalam, ar-Risalah al-Alawiyyah fi al-Qawaid al-Arabiyah dan Syarh maqamah al-Hariri.
2. Latar Belakang lahirnya Pemikiran Al-Thufi
Pengertian maqoshid syari’ah
Maqashidul Al-Syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari penetapan suatu hukum yang diturunkan Allah SWT kepada makhluk mukallaf. Dalam konteks tujuan yang dimaksud di atas adalah kemaslahatan umat manusia, disini ALLAH sebagai pembuat hukum syari’ah tertinggi, yang mana aturan dan hukum manusia ini diturunkan kepada Nabi muhammad supaya aturan dan hukum ini di gunakan sebagai pedoman dalam kehidupan didunia.
Berdasarkan konteks diatas para pakar ushul fiqh dan fiqh sepakat bahwa maslahah sebagai inti dari tujuan pensyariaatan. Yang mana pada dasarnya hukum islam dan terbentuk berdasarkan kemaslahatan umat. Sehingga segala sesuatu yang diperintahkan Allah pasti mengandung maslahah dan begitu pula sebaliknya.aturan dan hukun ini memiliki dua kaidah dasar yakni mengambil manfaat dan menolak bahaya[2]
3. Konsep Mashlahah al-Thufi.
a. Etimologi & Terminologi
Konsep mashlahah yang menurut al thufi secara etimologi: diambil dari as-salah (kebaikan, kegunaan, validitas, dan kebenaran). Sedangkan terminologi al-thufi mengatakan bahwa segala sesuatu sesuai dengan maksud perbuat hukum. Dua makna diatas dapat disimpulkan bahwa mashlahah dapat terliahat dalam hal kemampuan akal budi yang dimiliki manusia yang mana al-thufi memberikan keutamaan kepada akal manusia untuk menentukan mashlahah dalam hal adah/muamalah.
b. Mashlahah sebagai puncak tujuan pensyariatan
Pendapat al-thufi dalam hal pemberikan pemahaman kepada umat agar umat hidup berdasarkan pada kemashlahatan mereka harus berpegang teguh pada keimanan dengan keimanan mashlahah dapat tercapai.
Dalam hal ini al-thufi mendasarkan pendapatnya berdasarkan
1. Mashlahah sebagai Sumber Hukum Tertinggi
Berbedanya pendapat dari Usman Dan Ibn Abbas yang mana Usman menunjukan bahwa ijma’ berada di bawah teks sedangkan IbnAbbas memberikan prioritas terhadap makna harfiah,
Adanya kontradiksi inilah yang yang menguatakan al-thufi kemaslahatan sebagai dapat diletakkan diatas sumber-sumber hukum yang lain, sehingga maslahah merupaka sumber hukum islam yang di sepakati dan jelas maksudnya
2. Prinsip mendahulukan Maslahah dari ada Nash
Beberapa prinsip hukum yang mendukung pemikiran al-thufi yang mana maslahah sebagai puncak tujuan syari’at, teks agama saling bertentangan, terdapat kontradiksi sesama hadist nabi di satu sisiyang mana kontadiksi ini menjadi pemicu ketidak sepekatan dikalangan ahli hukum, para pengikut madzab hukum yang berbeda telah memalsukan hadist yang mana hadist in untuk mendukung kelompok.yang mana didalamnya ada peperagan dan pertikaian dan saling benci di kalangan madzhab hukum.
Berdasarkan kesimpulan diatas al-thufi meyakini bahawa kemaslahatan umum adalah sumber hukum yang pertama yang harus di perjuangkan.Akar Teologi Pemikiran Hukum Al-Tufi
Bangunan teori Al-Tufi yang menyatakan akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan, konsekuensinya ia berpendapat maslahah merupakan dalail Syar’i mandiri yang kehujjahannya tidak tergantung pada kesaksian atau konfirmasi nashh, tetapi hanya bergantung pada akal semata. Untuk menyatakan sesuatu itu maslahah atau madarat atas dasar adat istiadat dan eksperimen, tanpa memerlukan petunjuk nash.
Sungguh pun demikian, maslahah sebagai sumber hukum, menurut Al-Tufi tetap dibatasi dalam bidang mu’amalat dan adat istiadat. Atas dasar argumen di atas, penulis cenderung mengungkapkan bahwa akar teologis hukum Al-Tufi sejalan dengan pandangan mu’tazilah, sungguhpun ia bermazhab Hanbali. Pandangan radikalnya mengenai maslahah ini kadang dianggap Syiah memperkuat inkonsentensinya pada faham ahli sunnah wal jamaah. Kitab Al-Azab Al-Washid Ala Arwah an Nawasib, yang membela Ali ra dan menyerang orang yang membenci Ali ra, serta ungkapan Al-Tufi sendiri yang mengisyaratkan pada dirinya terselip mazab Hanbali, Syi’iy Rafidy memperkuat pandangan penulis. Paling tidak ketika menulis teorinya ia bergumul dengan pemikiran teologi mu’tazilah.
4. Ulama yang pro terhadap konsep maslahah al-thufi
a. salim ibnu muhammad al Qarni
salim ibnu Muhammad al- Qarni dalam taqliq kitab al-thufi, mengungkapkan bahwa pandangan al-thufi berbeda konsep jumhur fuqohah dan ulama ushul fiqh bahwa pandangan at-Tufi terkait maslahah pendapatnya adalah bersifat khusus dalam hal itu, dan terbatas dalam hukum mu’amalah dan adat.
b. Ibrahim Hosen
Ibrahim Hosen dalam komentarnya terhadap at-Tufi menyatakan, bahwa at-Tufi haruslah dipahami dalam konteks usul fiqh karena sesungguhnya ia bermain pada tataran ini. Ia mengandaikan terjadinya benturan antara nash atau ijma’ dengan maslahah. Persoalannya, benarkah telah terjadi benturan tersebut? Persoalan berikutnya, benarkah benturan yang ia maksudkan itu salah satunya berkaitan dengan pembagian waris? Sekali lagi, at-Tufi tampaknya sedang berandai-andai dan kelihatannya sepanjang yang saya ketahui, ia belum mengungkapkan kasus realistis yang menunjukkan kebenaran pengandaian tersebut. Jika demikian, belum tentu masalah waris termasuk kasus yang dimaksudkan at-Tufi dalam pengandaiannya. Hal ini dapat dipahami, karena seperti saya ungkapkan di atas bahwa at-Tufi bermain dalam tataran usul fiqh, belum memasuki tataran fiqh atau lebih spesifik lagi al-Masail al-fiqhiyah. Di samping itu satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa andaikata apa yang diandaikan at-Tufi itu terjadi, maka menurutnya pengutamaan maslahah atas nash itu harus dipahami dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan mengabaikan dan meninggalkan nash.
Harus pula dipahami kecenderungan teologi Mu’tazilah yang dianut at-Tufi dan yang sepaham dengannya dalam hal kekuatan akal. Maksudnya, pendapat at-Tufi tentang kekuatan dan kemandirian akal dalam memilih dan menentukan mana yang maslahah dan mana yang buruk serta pendapatnya bahwa maslahah adalah dalil syara’ mandiri yang terlepas dari nash, secara mudah kita bisa melihat adanya kecenderungan tersebut, tetapi dengan meminjam trend baru kajian usul fiqh yang dikorelasikan dengan ilmu kalam, kita merasakan keanehan. Bagaimana mungkin at-Tufi yang dianggap sebagai pengikut Ahmad Ibn Hambal, dalam teologinya sejalan dengan Mu’tazilah.
c. Abu Yusuf al-Hanafi
Pada zaman khalifah Harun Rasyid, Abu Yusuf menjabat sebagai Qadi al-Qudat atau semacam Mahkamah Agung. Senada dengan at-Tufi, ia berpendapat bahwa suatu nash yang dulu dasarnya adat, kemudian adat itu telah berubah, maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat dalam nash. Misalnya Nabi pernah menyatakan bahwa untuk jual beli gandum dipergunakan ukuran takaran mengikuti adat setempat waktu itu, tapi kemudian kebiasaan itu berubah. Di banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli dipergunakan ukuran timbangan. Apakah kebiasaan menggunakan menggunakan timbangan itu tidak dibenarkan karena menyalahi petunjuk Nabi. At-Tufi berani berbeda dengan ulama lain. Ia berpendapat apabila terjadi pertentangan antara nash dengan adat kebiasaan, maka ia mengharuskan meninggalkan nash itu dan mengikuti hukum adat. Dengan kata lain adat kebiasaan itulah yang harus diutamakan.
d. Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Ibnu Taimiyah
Dua ulama besar yang juga dari kalangan hambali ini, sejalan dengan at-tufi di dalam mendahulukan maslahah atas nash dan ijma’. Ibn qoyyim mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena perbedaan zaman, lokasi/lingkungan, situasi, niat dan adat istiadat. Sebagai contoh apa yang diperbuat ibnu taimiyah ketika mendiamkan orang-orang yang minum khamar seperti terungkap di atas.
Mengapa demikian
Dalam hal ini al-Thufi membagi 4 landasan teori: 1. akal manusia secara independent dapat mengutarakan mashlahah, 2. Dalil syar’i yang independent, 3. Lapangan sebagai objeknya, 4. Sumber hukum terkuat. Dengan kata lain
a. Akal dan indra sebagai epistimologi yang primer yang sekunder
b. Naql sebagai epistimologi sekunder yang primer
a. Zahid al-Kausari
Salah satu metode dalam mengupayakan syari’at sesuai dengan hawa nafsu adalah pernyatan at-Tufi bahwa prinsip dasar legislasi dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan mu’amalah antar manusia adalah prinsip maslahah tersebut harus diikuti. Alangkah besarnya keburukan pernyataan seperti itu. Ini tak lain hanyalah upaya untuk melanggar hukum Ilahi agar bisa-atas nama maslahah- si pendosa (al-Fajr) ini, mampu merubah syari’at dengan membuka pintu keburukan. Adalah Najmuddin at-Tufi al-Hambali, orang pertama yang membukakan pintu keburukan. Tak seorang muslim pun yang pernah mengeluarkan penyataan seperti itu. Ini adalah bid’ah yang terang-terangan. Barang siapa yang mendengarkan pembicaraan seperti ini, dia tak memperolehilmu apapun tentang ilmu agama.
b. Muhammad Sa’id Ramdan al-Buti
Dalam kitab Dawabit al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, dalam pendahuluannya al-Buti menjelaskan bahwa kaum orientalis sebagai tentara salib yang menyerang Islam telah melakukan tindakan untuk menghancurkan Islam. mereka mendesak kaum muslimin untuk membuka ijtihad seluas-luasnya dan untuk mencapai tujuan itu mereka merujuk pada konsep maslahah sebagai prinsip utama syari’at. Al-Buti yakin bahwa motif mereka yang sebenarnya dibalik usulan tersebut adalah untuk menghancurkan Islam. dia mengakui bahwa pintu ijtihad belum pernah ditutup dan pembuat hukum telah memberikan pertimbangan penuh pada prinsip maslahah, tetapi prinsip ini selamanya telah dibatasi dengan sejumlah persyartan. Setelah melakukan analisis yang terperinci tentang etimologi dan konsep maslahah, al-Buti menyimpulkan adanya persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh para yuris tradisional dalam penerapan prinsip ini. Dia juga membandingakan prinsip inidengan konsep lemnfaatan (utility) dan kenyamanan (pleasure) dalam filsafa Stuart Mill dan J. Bentham. Pada gilirannya bahwa maslahah dalam pengertian tanpa syarat adalah identik dengan konsep-konsep utility danpleasure yang dipandang murni hedonistic. Konsep maslahah yang bersyarat adalah jelas berbeda dengan konsep pleasure.Pertama, konsep maslahah tidak terbatas hanya pada dunia ini saja, tetapi juga menjangakau ke akhirat. Kedua, nilai agama mendominashi pertimbangan-pertimbangan lain. Dengan demikian, apabila persyaratan diabaikan dan maslahah yang ingin ditegakkan semata-mata sebagai pedoman dan kriteria, maka demi Allah, ijtihad semacam ini akan membanjiri kaum muslimin dari segala penjuru. (untuk membuktikan akibat-akibat yang mengerikan seperti itu dibukanya pintu ijtihad), cukuplah diamati keburukan yang membawa hukum-hukum syari’at keluar dari benteng nash, keterbukaan total, terbuka bagi hawa nafsu dan pendapat yang semena-mena yang menipu (kita) dibalik nama maslahah dan manfaat.
c. ‘Abdul Wahab Khalaf
‘Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya Masadir at-Tasyri’ fi Ma La Nash fih mengomentari, bahwa at-Tufi yang menggunakan maslahah mursalah secara mutlak baik ketika ada nash maupun tidak ada nash, maka sesungguhnya ia sebagai orang yang membuka pintu pnehancuran nash. Pada waktu yang sama ia menjadikan hukum-hukum yang berdasarkan nashdan ijma’ itu dapat dinashakh (dihapus) dengan hukum berdasarkan akal, lantaran maslahah secara mandiri ditetapkan berdasarkan akal, maka mafsadahpun juga dapat ditetapkan berdasarkan akal. Ini berati memungkinkan ketika terjadi ta’arud antara nash dan ijma’ dengan maslahah; dimungkinkan untuk menghapuskan hukum-hukum nash dan ijma’ dengan akal, adalah ancaman bagi hukum-hukum Ilahi dan hukum syara’ pada umumnya. Pada waktu yang sama menyelamatkan hukum-hukum ibadah dan al-muqaddarat dari pesan istislah di dalamnya. Dengan kata lain, bukan wewenang maslahah untuk menenukan hukum ibadah dan al-muqaddarah. Termasuk juga menyelamatkan hukum kulli yang disyari’atkan untuk memelihara daruriyah maupun hajiyah dari campur tangan maslahah karena hal demikian sudah menjadi kesepakatan yang paten tentang kemaslahatanya. Dan juga tidak mungkin hukum-hukum juziyyah yang ada nashnya yang sudah jelas ada maslahahnya, akan diukur lagi dengan maslahah yang ditetapkan berdasarkan akal.
d. Ali Hasabullah
Ali hasabullah menolak pemikiran at-Tufi dengan alasan tidak mungkin terjadi pertentangan antara maslahah hakiki dengannash yang qat’i. Apabila dirasa ada pertentangan antara maslahah dengan nash, harus didahulukan maslahah yang hakiki atasnash dengan catatan apabila maslahah itu bersifat daruriyat. Dan dimenangkan nash atas maslahah apabila maslahah itumaslahah tahsiniyah. Adapun maslahah hajiyah, maka lebih didekatkan (dipertemukan) dengan maslahah daruriyahdaripada didekatkan pada masalah tahsiniyah.
e. Muhammad Yusuf Musa
Yusuf Musa menilai bahwa pandangan at-Tufi terkait dengan maslahah adalah murni ijtihadnya, dan ia salah dalam hal ini, karena sungguhpun maslahah adalah dalil syara’ yang hakiki, tetapi tetap dalam ruang lingkup nash. Tidak seharusnya ruang gerak maslahah sampai dengan mendahulukan maslahah atas nash apabila terjadi ta’arud, karena hal demikian masuk klasifikasi menghapus (nashikh an-nash) dengan maslahah, pada hal masa nashikh sudah lewat.
f. Husain Hamid Hasan
Dalam kitabnya Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami setelah menulis asas-asas maslahah at-Tufi, dalammunaqosahnya menyatakan batil terhadap masalah batil tersendiri lepas dari nash dan maslahah didahulukan dari pada nash. Ia menolak pemikiran at-Tufi ini, setelah menganalisi dalil-dalil at-Tufi ternyata lemah dan dapat dipatahkan baik melalui hadis, sunnah maupun asar sahabat dan ijma’. Karena itu pada akhir kesimpulannya, ia menyatakan asas-asas maslahah at-Tufi dalam dakwaannya atas dasar kami mendahulukan maslahah dari pada nash, kami tolak semuanya. Karena itu kami membahasnya secara panjang lebar di dalam rangka agar tidak seorangpun tertipu akan pemikiran at-Tufi yang melenceng, dan mengikuti apa yang dikatakan at-Tufi.
g. Salam Mazkur
Salam mazkur menanggapi pendapat at-Tufi, mengatakan bahwa kita harus mengakui kedudukan maslahah dalam agama. Kendatipun demikian, kita tidak dapat membenarkan pendirian at-Tufi mendahulukan maslahah atas dalil-dalil yang lain. Pertentangan antara maslahah dengan nash dan ijma’ sebenarnya tak dapat diterima oleh akal, karena syara’ yang menjadikan maslahah sebagai pegangan dalam menetapkan hukum, tak mungkin hukum-hukumnya mengandung kemadaratan. Kalaupun terjadi pada suatu ketika pertentangan antara nash dengan maslahah, maka nash harus didahulukan dari pada maslahah, karena nash masuk ke dalam bagian pokok pegangann di mana kita harus kembali kepadanya sewaktu timbul keragu-raguan, dan ingin mentarjihkan suatu dalil. Karena itu tidaklah mungkin dikatakan maslahah dapat mengkhususkan nash atau menjelaskan maslahah karena sesungguhnya yang dapat menjadi mukhassis itu adalah hadis, seperti hadis laa daraara wa laa diraar itu.
h. Wahbah az-Zuhaili
Dalam kitabnya al-Wasit fi ‘Ilmi al-Usul al-Fiqh al-Islami, Wahbah senada dengan Salam Mazkur dalam menolak asas-asas at-Tufi dalam membangun konsep maslahahnya. Di samping Wahbah menolak maslahah sebagai dalil yang mandiri lepas dari nash, dan maslahah dalil yang lebih kuat dari pada nash dan ijma’, ia juga menilai bahwa at-Tufi dalam logika berpikirnya. At-Tufi mengatakan bahwa maslahah hanya berlaku dalam bidang mu’amalah dan adat, bukan pada bidang ibadah. Tetapi at-Tufi juga memberikan ruang pada maslahah dalam ruang ibadah sebagaimana yang dicontohkan dalam kasus Ibnu Mas’ud di atas. Ini berarti bertentang dengan konsepnya sendiri, dan juga bertentangan dengan mazhab yang diikuti oleh at-Tufi. Karena itu argumen at-Tufi yang mewajibkan mendahulukan maslahah dari pada nash adalah kacau dan melenceng.
i. Mustafa Ahmad az-Zarqa’
Najmuddin at-Tufi dari kalangan Hanabilah telah berlebih-lebihan dalam memandang maslahaha. Ia mendahulukan maslahah dari nash qat’i apabila keduanya bertentangan. Ini adalah benar-benar ra’yu yang ditolak oleh semua mazhab fiqh yang mu’tabar, bukan hanya mazhab Ahmad saja, karena pandangan ini akan membawa pada menyia-nyiakan nash syari’at hanya karena ijtihad berdasarkan akal semata. Seandainya manusia diperbolehkan menerima pandangan ini secara mutlak dalam pensyari’atannya, dan memberi toleransi pada orang-orang peradilan atau para hakim dalam ijtihad mereka, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan yang hebat dalam mengamalkan syari’at dan undang-undang. Barang siapa yang melihat kemaslahatan nash syari’at, maka ia mengamalkan nash tersebut, dan barang siapa melihat maslahah yang bertentangan dengan nash syari’at, maka mereka membuang nash, ini adalah puncaknya kekacauan at-Tufi telah mengemukakan pandangannya ini dan hujjah-hujjahnya ketika menjelaskan hadis Arba’in karya an-Nawawi di bawah hadis: laa daraara wa laa diraar.
D. Kesimpulan
Dalam ilmu ushul fiqh bahasan maqasid al-Syari’ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menetapkan hukum Islam. Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah semuanya mempunyai hikmah yang mendalam yaitu untuk kemashlahatan manusia, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an.
Al-Thufi dikenal sebagai seorang pemikir hukum islam yang tidak hanya terkungkung dalam satu mazhab saja, dalam hal ini al-Thufi berusaha membangunkan dengan kata lain adalah memunculkan hukum islam yang telah lama tertidur dengan sangat lelapnya dari masa kekalahan umat muslim.
Dalam hal ini pada akhirnya al-thufi yang mengedepan pendapat yang Rasional sehingga beliau dikatakan seorang yang berfikir “lepas” sehingga tidak ingin konsisten. dengan memegang satu madzhab. Ajaran Islam secara praktis disyari’atkan guna memperjuangkan keberlangsungan ke lima indikator Maqashid al-Syari’ah ini sebagai misi utamanya guna terciptanya suatu kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Dalam redaksi lain disebutkan bahwa tujuan pembuatan syara’ dalam menetapkan hukum berakhir pada kepentingan manusia, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan bagi mereka sebagai mukallaf atau hamba-hamba Allah SWT yang shaleh.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS. Bandung : Pustaka Setia. 2010.
Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Ter. Faiz El Mutaqin.. Jakarta: Pustaka Amani.
Wahbah Zuhaili. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Vol. 13. Beirut: Dar al- Fikr. 2008.
Purwanto Roy. Dekonstruksi teori hukum islam kritik terhadap konsep mashlahah Najmudin al-Thufi. Jogja: Kaukaba 2014
Supriadi Lalu. Studi biografi dan pemikiran usul fikih Najm ad-Din at thufi. Jogjakarta: Suka Press 2013
*) Makalah Prarevisi
Post a Comment
Post a Comment