-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

TINJAUAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


TINJAUAN PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



Oleh:
IMAM SATRIA
NIM: 17913028

A.    PENDAHULUAN

Arus globalisasi membawa manfaat yakni mempermudah dalam segala bidang kehidupan. Namun disisi lain arus globalisasi membawa dampak negatif. Diantara akibat negatif dari era global ini, ialah nilai-nilai moral yang semakin luntur.
Situasi sosial, kultural masyarakat kita akhir-akhir ini memang semakin mengkawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dll telah terjadi dalam lembaga pendidikan kita.[1]Hancurnya nilai-nilai moral dalam lembaga pendidikan kita dapat dilihat dari maraknya tawuran pelajar di daerah-daerah sampai menimbulkan ketidak nyamanan masayarakat dan bahkan sampai memakan korban jiwa.
Dan parahnya lagi hancurnya nilai-nilai moral tersebut tidak hanya terdapat di dunia pendidikan tetapi juga sudah menjalar di pemerintahan. Beberapa minggu yang lalu terdengar berita tentang kasus korupsi berjamaah anggota DPRD Malang. Dengan kejadian tersebut tentu menjadikan tanda bagi kita bahwa sangat lah penting pendidikan karakter untuk lebih diterapkan dan diaplikasikan dalam dunia pendidikan, dan masyarakat.
Berdasarkan fenomena tersebut dan menyadari akan pentingnya pendidikan karakter, dalam makalah ini akan dibahas tentang hakikat karakter, tujuan pendidikan karakter, pilar-pilar pendidikan karakter, dan strategi pembentukan karakter dalam islam.


B.     PEMBAHASAN
1.      Hakikat Karakter
Bila ditelusuri asal karakter berasal dari bahasa latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa inggris: character dan indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang meliputi hal-hal seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai, dan pola-pola pemikiran.[2]
Karakter adalah sifat utama yang terukir, baik pikiran, sikap, perilaku maupun tindakan, yang melekat dan menyatu kuat pada diri seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Karena karakter tersebut sebuah ukiran dalam jiwa, maka ia sulit untuk diubah. Menurut Mounier yang dikutip Doni Koesuma bahwa karakter dapat dilihat dari dua hal, pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatau yang telah ada dari sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkatan kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed). Dengan demikian pendidikan karakter ialah mengukir dan mematrikan nilai-nilai ke dalam diri peserta didik melalui pendidikan, endapan pengalaman, pembiasaan, aturan, rekayasa lingkungan, dan pengorbanan dipadukan dengan nilai-nilai instrinsik yang sudah ada dalam diri peserta didik sebagai landasan dalam berfikir, bersikap dan perilaku secara sadar dan bebas.[3]
Seseorang yang didominasi oleh kondisi-kondisi dari sononya (given), maka karakternya akan lemah-negatif (tuna karakter). Karena dia tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Seballiknya, karakter merupakan bila seseorang yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada (given). Orang yang berkarakter dengan demikian seperti seseorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat perkembangannya. Sebaliknya ia menguasainya, bebas mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaan dan spiritualitas keagamaannya. Itulah yang disebut manusia berkarakter.[4]
Sebagai basis acuan dalam merumuskan filsafat Islam dalam mengukut karakter ialah QS. Rum (30): 30. Dari ayat ini dapat ditarik benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif (4) dualisis-aktif.[5]
Mazhab Fatalis-Pasif mempercayai bahwa setiap individu sejak lahir sudah berkarakter atau tuna karakter melalui ketetapan Alloh secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian saja. Faktor-faktor eksternal, termasuk pendidikan tidak begitu berpengaruh karena setiap individu terkait dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya.[6]Implikasi dari pandangan ini bahwa faktor eksternal termasuk lingkungan dan pendidikan adalah pasif dalam pendidikan karakter. Karena karakter atau tuna karakter telah ditentukan lebih dulu sebelum seseorang lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Alloh. Dengan demikian manusia ibarat wayang, mau jadi apa karakternya terserah kepada sang Dalang. Dalang yang paling Agung ialah Tuhan sendiri.
Yang ke dua mazhab netral-pasif berpandangan bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, berkarakter atau tuna karakter dan bersifat pasif menghadapi diterminasi hereditas, lingkungan terutama lingkungan sosial dan pendidikan. Ini sama dengan teori “tabularasa” dari john lock.[7]
Mazhab yang ke tiga adalah Positif-Aktif, mazhab ini berpandangan bahwa bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter, sedangkan seseorang menjadi tuna karakter bersifat aksidental atau sementara. Artinya seseorang lahir sudah membawa karakter. Karakter itu bersifat dinamis dan aktif mempengaruhi lingkungan sekitar. Jika seseorang tuna karakter, hal ini bukan dari cetak biru Tuhan, dan bukan pula bagian integral dari dirinya. Tetapi hal itu berasal dari luar dirinya yang sifatnya sementara dan menumpang dalam diri seseorang.[8]Jadi manusia itu pada dasarnya sudah memiliki karakter baik, kemudian semisal tuna karakter terjadi sementara dan karena bentukan dari luar atau lingkungan.
Madzhab yang terakhir yaitu dualis-aktif, madzhab ini berpandangan bahwa manusia sejak awal membawa sifat ganda. Di satu sisi cenderung kepada kebaikan (energi positif), dan di sisi lain cenderung kepada kejahatan (energi negatif). Dua unsur pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh, yaitu ruh dan tanah, mengakibatkan dan tuna karakter sebagai suatu kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti Tuhan berupa nilaia-nilai etis spiritual dan kecenderungan mengikuti syetan berupa nilai-nilai a-moral dan kesesatan. Kecenderungan kepada berkarakter dibantu oleh energi positif berupa kekuatan spiritualitas (fitrah tauhid), kenabian dan wahyu tuhan, bisikan malaikat, kekuatan akal sehat, nafs muthmainah( jiwa yang tentram), dan kalbu yang sehat dalam diri manusia. Sedangkan kecenderungan kepada tuna karakter berupa energi negatif yakni nafsu ammarah bissu’ (nafsu yang selalu cenderung destruktif), nafsu lawwamah(nafsu yang tercela dan plin plan/bunglon), kesesatan dan bisikan setan.[9]
2.      Nilai-nilai karakter
Menurut Richard eyre &Linda (1995:xxiv) menjelaskan bahwa nilai adalah suatu kualitas yang dibedakan menurut: a) kemampuannya untuk berlipat ganda atau bertambah meskipun sering diberikan kepada orang lain: b) kenyataan atau (hukum) bahwa makin banyak nilai diberikan kepada orang lain, makin banyak pula nilai serupa yang dikembalikan dan diterima dari orang lain.
Kejujuran didefinisikan sebagai sebuah nilai karena perilaku menguntungkan baik bagi yang mempraktikkan maupun bagi orang lain yang terkena akibatnya. Begitu pula halnya dengan kasih sayang, keramahan, keadilan dan sebagainya. Kualitas-kualitas ini juga memenuhi kriteria untuk nilai meskipun kita memberikan untuk orang lain, persediaan di perbendaharaan kita tetap banyak, dan karena makin banyak kita berikan kepada orang lain, makin banyak juga yang kita terima dari orang lain.[10]
Indonesia Heritage Foundation merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. karakter tersebut adalah :
a.       Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya;
b.      Tanggung jawab, disiplin dan mandiri;
c.       Jujur;
d.      Hormat dan santun;
e.       Kasih sayang, peduli, dan kerja sama;
f.       Percaya diri, kreatif; kerja keras dan pantang menyerah;
g.      Keadilan dan kepmimpinan;
h.      Baik dan rendah hati;
i.        Toleransi, cinta damai dan persatuan.[11]
Sementara Ari Ginanjar Agustian dengan teori ESQ menyodorkan pemikiran bahwa setiap karakter positif sesunggunya akan merujuk kepada sifat-sifat mulia Allah, yaitu al-Ama al-Husna. Sifat-sifat dan nama-nama mulia Tuhan inilah sumber inspirasi setiap karakter positif yang dirumuskan oleh siapapun. Dari sekian banyak karakter yang bisa diteladani dari nama-namka Alloh itu, Ari  merangkumnya dalam  karakter dasar, yaitu :
a.       Jujur;
b.      Tanggung jawab;
c.       Disiplin;
d.      Visioner;
e.       Adil;
f.       Peduli;
g.      Kerja sama.[12]

3.      Tujuan Pendidikan Karakter
Manusia secara natural memang memiliki potensi di dalam dirinya untuk tumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan keterbatasan dirinya dan keterbatasan budayanya. Di lain pihak manusia juga tidak dapat abai terhadap lingkungan sekitar dirinya. Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupiny, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakain menjadi manusiawi. Semakin menjadi manusiawi berarti ia juga semakin manjadi makhluk yang mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan diluar dirinya tanpa kehilangan otonomi dan kebebasannya sehingga ia menjadi manusia yang bertanggung jawab.[13]

4.      Pilar-pilar Karakter dalam menghadapi arus budaya global
Menurut Diane Tilman (2004) ada dua belas karakter yang harus diinternalisasikan yaitu (1) kedamaian, (2) penghargaan, (3) cinta, (4) toleransi, (5) kejujuran, (6) kerendahan hati, (7) kerjasama, (8) kebahagiaan, (9) tanggung jawab, (10) kesederhanaan, (11) kebebasan, dan (12) persatuan. Mengabolarasi dari pendapat Tilman tersebut dan dihubungkan dengan filsafat pendidikan Islam dan nilai-nilai luhur bangsa, maka paling tidak ada sebelas pilar karakter untuk orang menjadi sukses menghadap budaya arus global.[14]
Pertama adalah Nilai spiritual keagamaan (ma’rifatullah). Hakikat spiritualitas ialah pandangan pribadi dan perilaku yang mengekspresikan rasa keterkaitan, tujuan hidup, makna hidup dan kesadaran ke dimensi transendental (Yang Maha Tinggi) atau untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sehingga mengerti arti dan tujuan hidup. Rasa keterkaitan dan kesadaran bahwa segala yang dialami dalam hidup ini selalu terkait dengan yang berdimensi transcendental. Karakter kuat-positif adalah karakter yang beriman kepada Allah, tawakkal kepada-Nya, dan meminta pertolongan kepada-Nya di setiap waktu. Dalam QS. Ali Imran: 159 disebutkan “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka tawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tawakkal kepada-Nya”. Tawakkal kepada-Nya mendapatkan kekuatan spiritual yang memadai untuk melakukan perubahan. Spiritual keagamaan atau keimanan ini adalah inti dari hati nurai moral (moral consequence). Pada hakikatnya hati nurani moral ini merupakan kekuatan ruhaniyah dan keimanan yang memberi semangat kepada seseorang untuk berbuat terpuji dan menghalanginya dari tuna karakter. Character consequence dapat menguasai dan mengawasi seseorang dalam setiap geraknya dan merupakan titik tolak seseorang untuk bersikap dan berbuat. Iman yang letaknya dalam hati akan menimbulkan konsekuensi logis terhadap tindakan-tindakan karakter berupa pengalaman norma-norma Islam (moral judgement), tanggung jawab moral (moral responsibility), dan ganjaran moral (moral rewards). [15]
Kedua: Nilai tanggung jawab, integritas, dan kemandirian. Tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari spiritual keagamaan (ma’rifatullah). Tanggung jawab berarti melaksanakan sebuah atau beberapa pekerjaan atau kewajiban secara baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama di dalam keluarga, di sekolah, di masyarakat dan di manapun, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Setiap orang bertanggungjawab terhadap apa ia katakan dan lakukan dalam tindakan manusiawi secara mandiri dan integritas. [16]
Ketiga Nilai hormat/menghargai dan rasa sayang. Nilai menghargai dan nilai hormat merupakan kelanjutan dari nilai spiritualitas keagamaan dan tanggung jawab. Penghargaan dan rasa sayang dan cintai ditekankan dalam Islam. Dalam hadis dikatakan, bahwa tidak sempurna iman seseorang sehingga ia menghargai, mencinta, dan menyayangi saudaranya (orang lain) sebagaimana ia menghargai, mencintai dan menyayangi dirinya sendiri. Rasa hormat berarti menunjukkan penghargaan kita terhadap harga diri sendiri, harga diri orang lain ataupun hal lain selain diri sendiri. Nilai hormat dan sayang terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan ini lahir karena (1) manusia berasal dari asal yang satu yakni Adam dan Hawa, (2) merasa sebagai hamba Allah yang sama harkat dan martabatnya, tanpa memandang jenis kelamin, kesukuan, dan lain-lain. Tinggi rendahnya manusia hanya ada dalam pandangan Allah yang tahu kadar ketakqwaannya (QS/. Al-Hujurat: 13), dan (3) sama-sama melaksanakan kewajiban kepada Allah dan merasa bagian system dari orang lain. Allah mewajibkan manusia untuk menghormati orang lain. Menghormati dan menyangi dapat berjalan dengan baik jika seseorang merasa dirinya bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya dan merasa sayang terhadap orang lain.[17]
Keempat: Nilai amanah dan kejujuran. Hakikat amanah ialah sesuatu yang ada dalam dirinya adalah titipan, dan akan dipertanggung jawabkan kepada yang memberi amanah sesuai dengan aturan dalam penitipan itu. Amanah artinya sesuatu yang dipercayakan kepadanya. Nilai amanah itu sebagai salah satu konsekuensi spitirualitas keagamaan (ma’rifatullah). Allah mengamanatkan kepada manusia untuk berfungsi sebagai hamba dan sebagai khalifah. Dengan nilai spiritual keagamaan seseorang yang kuat akan mampu mengemban amant itu dengan tidak curang alias jujur (benar). Dia tau bahwa mengemban amanat dengan jujur tidak hanya di senangi oleh manusia tetapi juga diridhai oleh Tuhan. Dia juga tahu jika dia tidak amanat, sekalipun manusia tidak tau, maka Tuhan pasti tau dan akan membalas ke curangannya itu mungkin di dunia dan pasti di akhirat. Menurut Mohammad Nuh pada Upacara Hardiknas di Kemendiknas, Jakarta, Minggu tanggal 2 Mei 2010, diantara karakter yang ingin kita bangun adalah “karakter yang berkamampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran.” Di samping itu apabila seseorang diberi amanah, maka ia harus mampu memikul dan menunaikan amanah itu sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada hak amanah itu.[18]
Kelima: Nilai bersahabat/berkomunikasi (silaturrahmi), kerjasama, demokratis dan peduli. Kebanyakan orang sukses justru ditentukan sejauh mana seseorang menghormati, menghargai, menolong, toleran dan santun dalam berkomunikasi dan bertindak. Intelegensi hanya salah satu faktor saja untuk menuju sukses. Dalam penelitian di AS dari 20 kualitas yang dianggap penting dari seorang lulusan perguruan tinggi untuk seseorang menjadi sukses peringkat atas ialah karakter kemampuan berkomunikasi, integritas dan kemampuan berkerjasama dengan orang lain (Ichsan S. Putra dan Ariyanti, 2005). Dalam agama sangat dikutuk orang-orang yang memutuskan silaturrahmi walau kepada orang tidak suka kepada kita sekalipun. Pribadi yang sukses itu ialah pribadi yang pandai bergaul dan suka membantu orang lain. Ia bergaul dengan siapa saja dan ia dekat di hati siapa saja. Ia juga menyukai cara-cara positif, seperti menghormati orang lain, santun, perhatian, mencintai, membantu, hingga mudah diterima, dan tidak pernah berusaha menguasai orang lain. Dalam isyarat hadis disebutkan, Tuhan menjamin, seseorang yang bershadaqah tidak akan jatuh miskin, bahkan berkah (bertambah kualitas dan kuantitas) dari hartanya.[19]
Keenam: Nilai percaya diri, kreatif, pekerja keras dan pantang menyerah. Setiap muslim diperintahkan, jika seseorang selesai melakukan suatu pekerjaaan, cepat bergegaslah untuk mengerjakan lainnya. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (QS. Insyirah: 7-8). Demikian juga seseorang dilarang keras menggantungkan hidupnya pada orang lain, apalagi meminta-minta. Tangan pemberi lebih baik daripada tangan peminta-minta. Karakter kuat-positif ialah tahu betul kekuatan hukum keyakinan dan prediksi, ia tau menyadari sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang diyakni dan diproyeksikan mewujud sesuai dengan keyakinan dan proyeksi itu atas pertolongan Tuhan.[20]
Ketujuh: Nilai disiplin dan teguh pendirian (istiqomah). Agama sangat menghargai waktu. Tidak ada manusia sukses kecuali dia disiplin dan teguh pendirian dalam segala aspek kehidupan. Pribadi yang berkarakter kuat-positif mengetahui kekuatan hukum konsentrasi dan cara mengesampingkan hal-hal lain agar tetap focus pada sesuatu yang diinginkan. Karena itu, ia menyiapkan bahwa segala masalah pasti ada penyelesaiannya secara spiritual. Ia percaya diri, menyukai perubahan, dan berani menghadapi tantangan. Karena tau tujuan yang diinginkan, ia menyusun rencana berdasarkan segala kemungkinan, lau direalisasikan dalam tindakan nyata. Ia juga selalu melakukan evaluasi, memperbaiki dan belajar dari kesalahan lalu melakukan sesuatu dengan kepercayaan pada Allah sepenuhnya. Dalam QS Fushilat : 3010 disebutkan bahwa orang yang istiqomah dijanjikan surga. Demikian juga sifat disiplin ini, disebutkan dalam hadis: bahwa “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus atau istiqomah (kontinyu/disiplin) meskipun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim)”[21]
Kedelapan: Nilai sabar dan rendah hati. Memperjuangkan kebenaran apabila dilakukan dengan cara yang baik, sabar dan rendah hati jauh lebih bermakna dan lebih efektif, daripada dilakukan dengan cara yang tidak baik dan arogan. Pribadi berkarakter kuat-positif ialah pribadi yang hidup dengan cita-cita, perjuangan, dan kesabaran. Tanpa cita-cita pasti hidup ini terasa sangat sempit, akan kehilangan di telan gelombang kesulitan, pikiran negative, perasaan negative dan berbagai penyakit kejiwaan atau fisik. Ia tau bahwa cita-cita adalah fondasi kemajuan. Manusia tanpa cita-cita berarti dia telah mati sebelum mati atau menjadi manusia jadi-jadian. Dalam Islam sangat dianjurkan manusia untuk bersabar dan orang bersabar adalah berserta dengan Tuhan. Di samping bersabar, juga nilai rendah hati sebagai lawan 10 Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. dari sombong. Hakikat sombong ialah merasa dirinya serba cukup dan karenanya menghina ornag lain bahkan dirinya sendiri. Karena salah satu dari induk kejahatan ialah kesombongan. Iblis di laknat oleh Allah karena kesombongannya. Karena dengan kesombongan, seseorang akan merasa dirinya serba cukup, tidak mau meningkatkan kualitas diri, dan bahkan menghina dan berbuat zalim terhadap dirinya dan kepada orang lain.[22]
Kesembilan: Nilai teladan dalam hidup. Panji-panji Islam dapat ditegakkan apabila seseorang menempatkan dirinya sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi masyarkat dan keluarganya. Tidak akan dapat menciptakan tatanan dunia yang bermoral apabila terutama para pemimpinnya belum dapat menjadikan diri mereka sebagai teladan bagi yang dipimpinnya. Presiden menjadi teladan bagi rakyatnya. Orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya. Guru menjadi teladan bagi murid-muridnya. Majikan menjadi teladan bagi para pekerjanya. Supir menjadi teladan bagi penumpangnya. Mahasiswa menjadi teladan bagi mahasiswa lainnya. Dalam QS. Al-Ahazab: 21 disebutkan: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[23]
Kesepuluh: Toleransi (tasamuh), dan kedamaian. Lahirnya toleransi dan kedamaian berawal dari spiritual keagaaan yang menekankan bertoleransi terhadap orang lain. Dasar filsafatnya bahwa manusia diciptakan dalam perbedaan dan makhluk sosial. Yang saudara sekandung dan kembarpun pasti berbeda, apalagi yang bukan saudara dan bukan pula kembar. Seseorang tidak boleh bercita-cita untuk menyeragamkan (uniform) setiap orang. Sikap toleran, damai dan cinta terhadap perbedaan baik dalam masalah keagamaan, karakter, kemasyarakatan dan tradisi dan kultur. Dalam QS. Thaha: 4411 diabadikan bagaimana 11 ”maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.sikap toleran, lembut dan penuh makna Nabi Musa as dan Nabi Harun as terhadap Firaun yang kejam, bengis, puncak kesombongan bahkan mengakui dirinya sebagai Tuhan. Menurut Ibnu Katsir, bahwa kata-kata yang digunakan Nabi Musa as dan Nabi Harun as terhadap Firaun dalam menyeru kepada jalan Allah adalah kata-kata yang halus (raqiq), lembut (layyin), mudah dicerna (sahl), dan ramah bersahabat (rafiq). Hal itu dilakukan supaya lebih berpengaruh dalam jiwa, lebih dapat diterima dan lebih berguna dan bermanfaat.[24]
Kesebelas: Nilai semangat dan rasa ingin tahu. Manusia diangkat Tuhan derajatnya tiada lain karena tiga hal yang menjadi satu kesatuan (1) beriman (teosentris), (2) berilmu (teosentis dan antroposentris), dan (3) amal shaleh (teosentiris, antroposentris dan kosmosentris) (QS. Al-Mudalah: 11, dan QS. at-Tiin: 6). Rasa ingin dapat berhasil dengan baik jika di awali dengan semangat dari dalam diri (motivasi intrinsic). Semangat yang dilandasi oleh motivasi dari luar (motivasi eksterinsik) tidak bertahan lama dan akan berhenti seiring dengan tercapainya tujuan. Karakter kuat-positif ialah yang tau betul apa yang diinginkan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Ia tau alasan menginginkan sesuatu, kapan menginginkannya, dan bagaimana cara mendapatkannya dengan mengerahkan seluruh potensi serta kemungkinan yang ada. Pribadi yang berkarakter kuat-positif tidak hanya focus pada pemecahan masalah, tapi bagaimana dapat mengambil pelajaran dari setiap masalah yang dihadapi. Pelajaran itu akan ia gunakan untuk merencanakan masa depan. Dengan demikian ia mengolah masalah menjadi peluang, keahlian, keterampilan, dan pengalaman yang dapat diandalkan.[25]
5.      Strategi Membentuk Manusia Berkarakter Religius dan Cinta Tanah Air
kesebelas pilar karakter tersebut di atas, dapat diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan karakter holistik (pendidikan formal, informal) dengan tujuh rukun. Ketujuh rukun pendidikan karakter berikut adalah sebuah lingkaran yang utuh yang dapat diajarkan secara berurutan atau tidak berurutan. Sesuatu tindakan barulah dapat menghasilkan karakter kuat-positif, apabila tujuh rukun pendidikan karakter berikut ini dilakukan secara utuh dan terus menerus. Ketujuh rukun itu adalah sebegai berikut:
Rukun Pertama: Habituasi (pembiasaan) dan pembudayaan yang baik. Kebiasaan adalah yang memberi sifat dan jalan yang tertentu dalam pikiran, keyakinan, keinginan dan percakapan; kemudian jika ia telah tercetak dalam sifat ini, seseorang sangat suka kepada pekerjaaannya kecuali merubahnya dengan kesukaran. Menurut Ahmad Amin (1975) kebiasaan baru dapat menjadi karakter jika seseorang senang atau ada keinginan kepada sesuatu yang dibiasakan dan diterimanya keinginan itu, dan diulang-ulang keinginan dan penerimaan itu secukupnya.[26]Artinya pembiasaan dan pembudayaan adalah memberi sifat dan jalan tertentu dalam pikiran, keyakinan, perasaan-keinginan dan prilaku secara terus menerus; kemudian jika sifat kebiasaan itu telah terpatri, seseorang sangat suka melakukannya. Menurut Ahmad Amin kebiasaan baru dapat menjadi mental berkarakter jika seseorang senang atau ada keinginan kepada sesuatu yang dibiasakan dan diterimanya keinginan itu, dan diulangulang keinginan dan penerimaan itu secukupnya (Ahmad Amin, 1975: 27). Hukum pembiasaan itu melalui lima tahapan yakni (1) berpikir, (2) perekaman, (3) pengulangan, (4) penyimpanan,dan (5) kebiasaan. [27]
Rukun Kedua: Membelajarkan hal-hal yang baik (moral knowing). Kebiasaaan-kebiasaan yang baik yang dilakukan seseorang atau hal-hal yang baik yang belum dilakukan, harus diberi pemahaman dan pengetahuan tentang nilai-nilai manfaat, rasionalisasi dan akibat dari nilai biak yang dilakukan. Dengan demikian, seseorang mencoba mengetahui, memahami, menyadari, dan berpikir logis tentang arti dari suatu nilai-nilai dan perilaku yg baik, kemudian mendalaminya dan menjiwainya. Lalu nilai-nilai yang baik itu berubah menjadi power intrinsik yang berurat berakar dalam diri seseorang. [28]Dalam Islam pun sebuah tindakan baru diminta pertang-gungjawabannya apabila yang melakukan itu sudah dewasa, berakal (memahami dan berpengetahuan), dalam keadaan sadar, dan ada kebebasan untuk memilih. Sebuah tindakan yang tidak disadari, tidak dibim-bing oleh pemahaman tertentu, dan tidak ada kebebasan, maka tindakan itu tidak akan memiliki makna bagi individu tersebut, sebab ia sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui makna dan akibat tindakan yang dilakukannya. Tindakan itu itu disebut tindakan instingtif atau ritual yang lebih dekat pada cara bertindak binatang.[29]
Rukun Ketiga: Moral feeling dan loving: merasakan dan mencintai yang baik. Lahirnya moral loving berawal dari mindset (pola pikir). Pola pikir yang positif terhadap nilai-nilai kebaikan akan merasakan manfaat dari berprilaku baik itu. Jika seseorang sudah merasakan nilai manfaat dari melakukan hal yang baik akan melahirkan rasa cinta dan sayang. Jika sudah mencintai hal yang baik, maka segenap dirinya akan berkorban demi melakukan yang baik itu.[30]
Rukun Keempat: Moral Acting (tindakan yang baik). Melalui pembiasaan, kemudian berpikir berpengetahuan tentang kebaikan, berlanjut merasa cinta kebaikan itu dan lalu tindakan pengalaman kebaikan, yang pada akhirnya membentuk karakter yang kuat dan postif. Tindakan kebaikan yang dilandasi oleh pengetahuan, kesadaran, kebebasan, dan kecintaan akan membentuk endapan pengalaman. Dari endapan itu akan terpatri dalam akal bawah sadar dan seterusnya menjadi karakter kuat-positif. Semakin di ulangi hal yang baik maka semakin kuat akarnya dalam jiwa dengan catatan tindakan yang baik itu diikuti dengan senang hati. Apabila suatu tindakan tidak diikuti dengan kesenangan hati, maka tindakan itu tidak akan mengantarkan menjadi karakter.[31]
Rukun Kelima: Keteladanan (moral model) dari lingkungan sekitar Setiap orang butuh keteladanan dari lingkungan sekitarnya. Manusia lebih banyak belajar dan mencontoh dari apa yang ia lihat dan alami. Perangkat belajar pada manusia lebih efektif secara audio-visual. Fitrah manusia pada dasarnya ingin mencontoh. Salah satu makna hakiki dari terma tarbiyah (pendidikan) adalah mencontoh atau imitasi. Keteladanan yang paling berpengaruh adalah yang paling dekat dengan diri kita. Orang tua, karib kerabat, pimpinan masyarakat dan siapa pun yang sering berhubungan dengan seseorang terutama idolanya, adalah menentukan proses pembentukan karakter atau tuna karakter.[32]
Rukun Keenam: Tobat (kembali) kepada Allah setelah melakukan kesalahan. Tobat pada hakikatnya ialah kembali kepada Allah setelah melakukan kesalahan. Tobat Nasuha adalah bertobat dari dosa/kesalahan yang diperbuatnya saat ini dan menyesal (muhaasabah dan refleksi) atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi di masa mendatang serta bertekad berbuat kebajikan di masa yang akan datang. Dalam tobat, ingatan, pikiran, perasaan, dan hati nurani, secara total digunakan untuk menangkap makna dan nilai yang dilakukan selama ini, menemukan hubungan dengan Tuhannya, dan kesiapan menanggung konsekwensi dari tindakan taubatnya. Tobat akan membentuk kesadaran tentang hakikat hidup, tujuan hidup, melahirkan optimisme, nilai kebajikan, nilai-nilai yang di dapat dari berbagai tindakannya, manfaat dan kehampaan tindakannya, dan lain-lain sedemikian rupa, sehingga seseorang dibawa maju untuk melakukan suatu tindakan dalam paradigma baru dan karakter baru di masa-masa akan datang.[33]

C.    KESIMPULAN
Hakikat pendidikan karakter ialah mengukir dan mematrikan nilai-nilai ke dalam diri peserta didik melalui pendidikan, endapan pengalaman, pembiasaan, aturan, dan rekayasa lingkungan, cerita pengorbanan dipadukan dengan nilai-nilai instrinsik yang sudah ada dalam diri sehingga menjadi landasan dalam berfikir, bersikap dan perilaku secara sadar dan bebas.
Filosofi dalam pendidikan karakter berbasis filsafat pendidikan Islam memandang bahwa sifat dasar moral manusia ialah positif-aktif atau dualis-aktif, bukan fatalis-pasif atau netral-pasif.
Minimal ada sebelas nilai karakter yang harus ditanamkan dalam pendidkan islam yang sumber nilai sentralnya ialah spiritual keagamaan (ma’rifatullah). Dari ma’rifatullah ini akan memancarkan nilai-nilai baik lainya.
Strategi pembentukan karakter dapat dilakukan ddengan menmpuh enam rukun strategi yakni (a) habituasi dan pembudayaan, (b) moral knowing, (c) moral feeling and loving, (d) moral acting, (e) moral model atau keteladanan dan (f) tobat.


DAFTAR PUSTAKA
Koesuma Doni A. Pendidikan karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2010.
Majid Abdul. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. bandung :Remaja Rosdakarya, 2012.
Maragustam, FilsafatPendidikan Islam MenujuPembentukanKarakterManghadapiArus Global, Yogyakarta, KurniaKalamSemesta, 2016.
Maragustam., 2015, “Paradigma Revolusi Mental Dalam Pembentukan Karakter bangsa Berbasis Sinergisitas dan Filsafat Pendidikan”, dalam jurnal pendidikan Agama Islam, Vol. XII, No. 2,



[1]Doni Koesuma A. Pendidikan karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2010), hal. 112
[2]Abdul Majid. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (bandung :Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 11.
[3]Maragustam, M.A. Filsafat Pendidikan Islam “ Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global”. ( yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2014), hal. 245.
[4]Ibid., 245.
[5]Ibid., hal. 246.
[6]Ibid., hal. 246.
[7]Ibid., hal. 248.
[8]Ibid., hal. 250.
[9]Ibid., hal. 253.
[10]Abdul Majid. Pendidikan Karakter... hal. 42.
[11]Ibid., hal. 43.
[12]Ibid.,
[13]Doni Koesuma A. Pendidikan karakter Strategi ...Hal. 134.
[14]Maragustam, M.A. Filsafat Pendidikan ...hal.255.
[15]Ibid., hal. 257.
[16]Ibid., hal. 258.
[17]Ibid., hal. 259.
[18]Ibid.,
[19]Ibid., hal. 260
[20]Ibid., hal. 261.
[21]Ibid.,
[22]Ibid., hal. 262.
[23]Ibid.,
[24]Ibid.,hal. 263.
[25]Ibid., hal. 264.
[26]Ibid., hal. 265.
[27]Maragustam, M.A. Paradigma Revolusi Mental Dalam Pembentukan Karakter bangsa Berbasis Sinergisitas dan Filsafat Pendidikan, dalam jurnal pendidikan Agama Islam, Vol. XII, No. 2, Desember 2015 hal. 169.
[28]Maragustam, M.A. Filsafat Pendidikan ...hal. 267.
[29]Maragustam, M.A. Paradigma Revolusi Mental... hal.170.
[30]Ibid., hal. 269.
[31]Ibid.,
[32]Ibid., hal. 270.
[33]Ibid., hal. 271.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter