KEPEMIMPINAN SEKOLAH BERBASIS BUDAYA
SEBAGAI KUNCI PENINGKATAN MUTU SEKOLAH
(Studi atas Tiga Kepala Sekolah dalam Buku Shaping School Culture The Heart of Leadership Karya Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson)
Disusun Oleh:
Rajibullah
Nur Azizah
Irham Sya’roni
Nur Endah Kusumaningrum
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Rekonstruksi Sistem dan Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Suyata, M.Sc., Ph.D
2017
Abstrak
Kata Kunci: Budaya Sekolah, Kepala Sekolah, Mutu Pendidikan
A. Pendahuluan
Setidaknya ada lima aspek pokok yang perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan mutu sekolah, yaitu: (1) proses belajar mengajar, (2) kepemimpinan sekolah, (3) manajemen sekolah, (4) sarana dan prasarana, dan (5) kultur sekolah (Depdikbud, 1999: 10). Dari kelima aspek tersebut, selama ini aspek kultur sekolah belum mendapat perhatian serius dari pihak sekolah (terutama Kepala Sekolah). Padahal peningkatan mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari basis kultur sekolah. Yang terjadi selama ini adalah usaha peningkatan mutu pendidikan di sekolah cenderung menggunakan pendekatan struktural dengan menekankan pada aspek teknis-administratif, bukan pada goal oriented (berorientasi pada tujuan) yang lebih mengacu pada pendekatan kultural karena menyangkut values. Dengan basis kultur tersebut, Kepala Sekolah, guru, siswa, dan orang tua akan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap pendidikan di sekolah, sehingga mereka akan saling bekerjasama dan bersinergi dalam upaya mewujudkan peningkatan mutu sekolah.
Kepala Sekolah sebagai figur utama penggerak peningkatan mutu sekolah sudah semestinya membuka kesadaran akan urgensi pendekatan kultural ini. Sebagaimana dikatakan Edmonds, kultur atau budaya sekolah ditandai oleh kekuatan kepala sekolah yang lebih banyak di luar kantor mengamati kelas dan menerapkan kepemimpinan kolegial dalam mengatasi masalah pengajaran, memiliki pemahaman yang jelas terhadap tujuan sekolah, iklim sekolah tertib, teratur dengan mengusahakan setiap warga bertanggung jawab, guru menerapkan harapan siswa berprestasi tinggi, dan adanya kesediaan mengevaluasi performa siswa secara objektif.[1]
Dalam konteks inilah studi atas budaya sekolah yang dikembangkan tiga Kepala Sekolah dalam buku Shaping School Culture menemukan urgensinya. Tiga Kepala Sekolah yang dimaksud adalah Charles Baker, Kepala Sekolah Wheaton Wareenvile South High School; Rick Dufour, Kepala Sekolah Adlai E. Stevenson High School; dan Joan Vydra, Kepala Sekolah Hawthorne Elementary School. Ketiga Kepala Sekolah ini berhasil meningkatkan mutu sekolah dengan peran kepemimpinannya yang berbasis budaya.
Merupakan keniscayaan bahwa masing-masing sekolah memiliki karakteristik budaya. Begitu pula ketiga sekolah tersebut, masing-masing memiliki profil budaya yang khas dan berbeda dengan sekolah yang lain. Masing-masing juga menghadapi tantangan yang berbeda pula. Walaupun demikian, secara umum pelajaran pokok yang bisa dipetik dari tiga sekolah dengan tiga budaya berbeda itu adalah sama, yaitu bahwa revitalisasi dan reaktualisasi kepemimpinan berbasis budaya dalam mengembangkan budaya sekolah sebagai kunci utama penggerak mutu sekolah.[2]
B. Budaya Sekolah Sebagai Kunci Utama Peningkatan Mutu Sekolah
Menurut M. Sastrapratedja, ada dua pendekatan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Yang pertama adalah pendekatan struktural yang memusatkan perhatian pada pengubahan aspek-aspek struktural-birokratik, seperti job descriptions, tatanan birokrasi, pengaturan hubungan antar unit organisasi, gaya kepemimpinan, dan aspek struktur sekolah lainnya. Adapun yang kedua adalah pendekatan cultural dengan pusat perhatian pada budaya keunggulan (culture of excellence), yang menekankan pengubahan pada pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga sekolah. Lebih lanjut Sastrapratedja berpendapat bahwa pendekatan kultural lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan struktural.[3]
Dalam pandangan Sastrapratedja, budaya adalah pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga. Dalam konteks sekolah, budaya/kultur sekolah merupakan pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga di sekolah.[4]Sementara Suyata, mengutip catatan James Traub, menyebut bahwa budaya sekolah adalah etos, karakter sekolah, tak dapat dibeli dan dihitung, dan dapat berpengaruh positif atau negative terhadap sikap dan perilaku siswa, guru, kepala sekolah berhadapan dengan usaha perbaikan mutu, ia sumber keberhasilan dan dapat menjadi sumber kegagalan sekolah.[5]
Ditinjau dari peningkatan mutu sekolah, budaya sekolah dibedakan menjadi beberapa kategori[6], yaitu:
1. Budaya sekolah yang positif, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang mendukung pada peningkatan kualitas pendidikan, seperti (a) kerjasama dalam mencapai prestasi yang melibatkan kepala sekolah, guru, siswa, pegawai, komite sekolah; (b) penghargaan terhadap yang berprestasi, seperti: pujian, hadiah, sertifikat; (c) komitmen terhadap belajar yang dimiliki guru dan siswa; (d) interaksi antar warga sekolah yang hangat, harmonis, dan humanis.
2. Budaya sekolah yang negatif, meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung pada peningkatan kualitas pendidikan, seperti (a) Siswa takut berbuat salah (diancam, dihukum, diejek); (b) siswa takut bertanya ataupun mengemukakan pendapat (malu, tidak diberi kesempatan, takut dicemooh, takut pada guru); (c) siswa jarang melakukan kerjasama dalam memecahkan masalah (tidak dibiasakan oleh guru, dianggap tidak penting).
3. Budaya sekolah yang netral, meliputi kegiatan yang kurang berpengaruh positif maupun negatif pada peningkatan kualitas pendidikan, misalnya: arisan guru-guru di sekolah dan seragam guru.
Deal & Peterson meenyebut beberapa aspek kultur sekolah:
1. Tujuan dan Nilai (Purpose and Values)
2. Upacara dan Perayaan (Ritual and Ceremony)
3. Sejarah dan Cerita (History and Stories)
4. Arsitektur dan Artefak (Architecture and Artifacts)
Setiap sekolah pastilah memiliki kebudayaannya sendiri yang bersifat unik, sehingga setiap sekolah memiliki aturan tata tertib, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, mars/hymne sekolah, pakaian seragam dan lambang-lambang yang khas. Karakteristik budaya di setiap sekolah tersebut akan dihayati sehingga memengaruhi siswa di masing-masing sekolah tersebut, seperti sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan, dan sikap terhadap nilai-nilai. Sikap-sikap tidak terbentuk dari kurikulum yang bersifat formal, tetapi dari kultur sekolah. Hal ini sebagaimana ditegaskan Deal & Peterson dalam Shaping School Culture bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap semua aspek di sekolah (Cultures affects all aspects of a shool). Bahkan, budaya sekolah merupakan kunci utama penggerak mutu sekolah[7].
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, motivasi dan minat belajar yang tinggi. Output pendidikan merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya. Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002).[8]
C. Leadership Sebagai Basis Peningkatan Mutu Sekolah
Menurut Glasser, kepemimpinan (leadership) menjadi tumpuan perbaikan mutu sekolah.[9]Dalam leadership ini kepala sekolah menjadi figur kunci dalam membangun budaya sekolah yang bernilai positif. Pola hubungan yang dia bangun dengan guru tidak lagi hierarkik dan birokratik, tetapi kolegial (equal). Kemampuan kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari beberapa hal berikut.[10]
1. Kepribadian
Kepribadian kepala sekolah sebagai leader tercermin dalam sifat-sifat (1) jujur, (2) percaya diri, (3) tanggung jawab, (4) berani mengambil risiko dan keputusan, (5) berjiwa besar, (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan.
2. Pengetahuan terhadap tenaga kependidikan
Pengetahuan kepala sekolah terhadap tenaga kependidikan tercermin dalam kemampuan (1) memahami kondisi tenaga kependidikan (guru dan non-guru), (2) memahami kondisi dan karakteristik peserta didik, (3) menyusun program pengembangan tenaga kependidikan, (4) menerima masukan, saran, dan kritikan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kepemimpinannya.
3. Visi dan misi sekolah
Pemahaman kepala sekolah terhadap visi dan misi sekolah tercermin dalam kemampuannya untuk (1) mengembangkan visi sekolah, (2) mengembangkan misi sekolah, dan (3) melaksanakan program untuk mewujudkan visi dan misi ke dalam tindakan.
4. Kemampuan mengambil keputusan
Kemampuan kepala sekolah dalam mengambil keputusan tercermin dari kemampuannya (1) mengambil keputusan bersama tenaga kependidikan di sekolah, (2) mengambil keputusan untuk kepentingan internal sekolah, dan (3) mengambil keputusan untuk kepentingan eksternal sekolah.
5. Kemampuan berkomunikasi
Kemampuan berkomunikasi tercermin dalam kemampuannya (1) berkomunikasi secara lisan dengan tenaga kependidikan di sekolah, (2) menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, (3) berkomunikasi secara lisan dengan peserta didik, dan (4) berkomunikasi secara lisan dengan orang tua dan masyarakat sekitar lingkungan sekolah.
D. Model Keberhasilan Kepala Sekolah dalam Membangun Kultur Sekolah
Pengembangan mutu sekolah adalah suatu yang unik, khas, dan bukan universal. Karena itulah setiap sekolah dapat merumuskan gagasan dan model pengembangannya sendiri-sendiri karena setiap memang memiliki basis kultural yang berbeda-beda. Upaya pengembangan dan peningkatan mutu ini sangat dipengaruhi oleh budaya yang dibangun di lingkungan sekolah tersebut. Bahkan, budaya sekolah menjadi kunci utama untuk mengembangkan mutu sekolah, dan budaya sekolah berkait kelindan dengan kemampuan kepala sekolah sebagai leader (bukan sekadar manajer).
Dalam Shaping School Culture[11], Deal & Peterson mengemukakan hasil penelitiannya terhadap tiga kepala sekolah yang dinilainya berhasil memainkan peran leadership-nya dalam upaya peningkatan mutu sekolah dengan pendekatan kultural terhadap tiga sekolah yang memiliki budaya khas dan berbeda.
- Charles Baker, Wheaton Wareenvile South High School
Charles Baker adalah Kepala Sekolah Wheaton Warrenville South High School (WWSHS), sekolah menengah umum yang terletak di pinggiran sebelah barat kota Chicago. Sekolah tersebut melayani siswa dari dua komunitas yang berbeda, yaitu siswa dari keluarga berpendidikan dan kaya serta siswa dari keluarga “kerah biru” (kelas menengah ke bawah).
Sekolah ini baru dibangun pada tahun 1993[12]. Sebelumnya telah ada sekolah lain, yaitu Wheaton Central High School (WCHS), yang berusia hampir satu abad. Namun, karena suatu hal, Wheaton Central terpaksa harus menutup sekolahnya dan menggabungkan para siswanya ke dalam keluarga besar WWSHS. Di sinilah terlihat bagaimana kepemimpinan Baker mampu mengatasi masalah penggabungan sekolah tersebut dengan pendekatan kultural. Aneka upacara, ritual, tradisi, dan simbol yang dimiliki Wheaton Central tidak serta merta dimusnahkannya. Baker justru menghargai dan mempertahankan nilai-nilai kultural Wheaton Central. Baker berdiskusi dan bekerjasama dengan para siswa untuk menentukan artefak apa yang harus diambil dari sekolah lama untuk dipasang di sekolah baru.
Pada wisuda terakhir di sekolah lama, Baker membagikan catatan pribadi yang ia tulis di atas kartu berwarna jingga kepada empat ratus wisudawan. Melalui catatan itu Baker meminta mereka menyanyikan lagu spesial bersamanya. Semua terharu atas sikap Baker tersebut. Tak seorang pun yang tak meneteskan air mata saat Baker menyanyikan lagu “Auld Lang Syne”[13]bersama para siswa dan wisudawan. Semuanya menangis. Acara tutup tahun hari itu benar-benar mengharukan dan penuh penghormatan.
Baker juga meyakinkan mereka bahwa tradisi-tradisi yang pernah ada di WCHS akan tetap dilestarikan dan menjadi bagian dari tradisi WWSHS. Setelah bergabung dengan WWSHS, para siswa ikut dilibatkan dalam menentukan cara terbaik untuk menggabungkan stempel dan moto/slogan dari sekolah lama ke dalam stempel dan moto sekolah yang baru. Di sekolah lama terdapat empat lorong utama, yang masing-masing lorong diberi nama dari empat motto berikut: “Darmasiswa/Pengetahuan, Komitmen, Tradisi, dan Integritas.” Akan tetapi, muncul problem ketika empat motto itu hendak dipasang di sekolah baru. Ternyata di sekolah baru hanya ada tiga lorong. Karenanya, para siswa lalu mengusulkan agar ketiga lorong itu diberi nama dengan tiga motto yang pertama, yakni “Darmasiswa/Pengetahuan, Komitmen, dan Tradisi.”
Baker juga membagikan catatan pribadi yang dia tulis di atas kertas kartu oranye kepada calon wisuda Wheaton Central. Baker sengaja memilih warna itu karena itu adalah warna sekolah Wheaton Central yang sebentar lagi tinggal kenangan. Melalui catatan itu Baker mengajak mereka menyanyikan lagu spesial bersamanya sehingga semua terharu dengan sikap penghormatan Baker tersebut. Artefak-artefak dari sekolah lama diberi ruang yang sama dalam galeri karya di sekolah baru.
Salah satu maskot yang sangat dipuja di sekolah lama adalah macan. Untuk menghargai maskot itu bersama kisah yang melatarinya, dalam kesempatan reuni alumni, Baker menyuguhkan cerita tentang Tiger atau macan di hadapan para alumni. Bahkan, pernah pula Baker memainkan drama Tiger ini lengkap dengan kostum harimau. Saat kostum dibuka, para alumni dan siswa terkejut ternyata sosok di balik kostum itu adalah kepala sekolah mereka yang sangat mereka cintai. Bahkan, pernah pula Baker membawa seekor anak harimau dalam acara reuni alumni. Atas upaya Baker ini, Tiger akhirny benar-benar melekat kuat di hati para alumni. Hampir semua aksesoris saat itu tidak luput dari maskot Tiger. Baker juga mengingatkan dan mengetuk kepedulian mereka bahwa habibat macan hampir punah sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Jalinan emosional mereka pun terikat sangat kuat. Saat di antara mereka dirundung musibah, mereka saling membahu memberikan bantuan dan sokongan baik materi maupun nonmateri.
Menyadari bahwa setiap siswa memiliki kegemaran dan kecenderungan berbeda, Baker memberi nilai dan apresiasi kepada siswa tidak hanya dari satu aspek tertentu. Mereka yang suka olahraga akan mendapat pujian di bidang itu. Mereka yang menyukai alam dan binatang mendapatkan apresiasi pula. Begitu pula kecenderungan-kecenderungan yang lain. Semua dimotivasi oleh Baker untuk menjadi yang terbaik sesuai bakat dan kemampuan mereka. Sebagai leader Baker berhasil melaksanakan tugas kepemimpinannya sebagai pelayan kebutuhan siswa.
- Rick Dufour, Adlai E. Stevenson High School
Kepala sekolah yang satu ini meminpin sekolah berbeda dengan budaya yang juga tidak sama. Di sekolah yang dia pimpin, para siswa diklasifikasikan dalam lima kelas berdasarkan tingkat kemampuan masing-masing sesuai hasil tes. Para siswa yang masuk dalam kelas dengan tingkat kemampuan rendah atau sedang terus diberi motivasi agar berkembang. Kebijakan ini (dan kebijakan-kebijakan lain) tidak dia ambil sendirian, tetapi melibatkan guru, orang tua, staf, juga siswa. Dufour juga senang berbagi penelitian tentang sekolah-sekolah efektif, mengumpulkan informasi tentang kinerja akademis sekolah-sekolah terbaik di negara lain, lalu membandingkannya dengan sekolah yang dia pimpin sampai akhirnya hal itu membuahkan kesepakatan dan kesepahaman tentang visi dan misi Stevenson agar lebih baik dan berkembang.
Dufour mendudukkan para guru dalam pola relasi kolegial dengan dirinya. Karena itulah Dufour sering memperlihatkan penghargaannya kepada guru, termasuk dengan melibatkan mereka dalam diskusi-diskusi pengambilan kebijakan. Tidak hanya para guru, tetapi para staf non-guru pun mendapat perlakuan apresiatif yang sama. Beragam penghargaan untuk guru dan staf non-guru juga diberikan, tidak hanya saat mereka berprestasi tetapi juga dalam momentum-momentum bersejarah mereka, seperti ulang tahun, pernikahan, dan lainnya. Bahkan, mereka yang pensiun pun tetap mendapat penghormatan dan penghargaan yang istimewa. Pada tahun 1991 Stevenson ditetapkan sebagai salah satu sekolah menengah terbaik di Amerika.
- Joan Vydra, Hawthorne Elementary School
Lain lagi dengan budaya di sekolah yang dipimpin Joan Vydra. Saat pertama kali memegang amanah kepemimpinan di Hawthorne Elementary School, Vydra bergerak cepat untuk memahami dan beradaptasi dengan ritual dan tradisi di sekolah tersebut. Sepanjang tahun pertama Vydra banyak melakukan diskusi dan sinergi dengan orang tua serta staf untuk mencari, mengevaluasi, dan memutuskan kebijakan-kebijakan. Sampai akhirnya tercetus tema menarik untuk menjadi bagian budaya di sekolah tersebut. Tema tersebut adalah “sekolah kecil dengan hati yang besar”. Melalui tema ini Vydra membangkitkan dan menumbuh-kembangkan emosional siswa agar lebih memiliki kepedulian dan perhatian baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, setiap hari Selasa, siswa memperlihatkan kepedulian dan perhatian mereka kepada keluarga dengan cara menulis catatan atau surat berisikan ucapan terima kasih kepada orang tua.
Perhatian dan kepedulian dibudayakan pula terhadap lingkungan mereka. Misalnya, pada Kamis para siswa membersihkan dan merawat keindahan sekolah mereka. Begitu pada musim semi, sekolah bersinergi dengan orang tua untuk mengadakan aksi menanam pohon di sekitar sekolah. Budaya ini pada akhirnya melekat dalam cara hidup mereka sehingga menjadi karakter yang positif. Para orang tua dengan latar belakang profesi yang berbeda juga berkontribusi positif terhadap siswa sesuai latar profesi masing-masing. Misalnya, orang tua siswa yang berprofesi di dunia penerbitan aktif membantu menerbitkan tulisan para siswa. Pun apabila ada siswa yang kurang mampu secara ekonomi, kepala sekolah dan stafnya bersinergi dengan beberapa keluarga untuk "mengadopsi" siswa kurang mampu tersebut.
Vydra juga menginisiasi terbitnya bulletin mingguan untuk orang tua, yang berisi kegiatan-kegiatan terkini para siswa dan catatan-catatan berisi aspek-aspek yang bisa dilakukan orang tua untuk meningkatkan prestasi, membangun harga diri, dan untuk berkontribusi pada keberhasilan sekolah. Karya-karya siswa baik berupa cerita maupun lainnya juga dimuat dalam bulletin itu. Dalam hal ini orang tua merupakan mitra sekolah yang saling bekerjasama demi mewujudkan kesuksesan dan prestasi siswa.
Perayaan dan permainan adalah bagian yang sangat teratur di Hawthone. Perayaan dan penghargaan diberikan Vydra kepada guru dan stafnya dengan cara yang penuh kejutan. Misalnya, atas kerja keras guru, Vydra kerap menyelipkan hadiah dan ucapan terima kasih (maupun ucapan lain yang mengekspresikan hal setema) untuk sang guru. Hadiah yang diberikan tidak harus bernilai mahal, tetapi keberadaannya cukup membuat hati para guru tersentuh. Kepemimpinan Vydra telah mengubah budaya Hawthorne menuju mutu sekolah yang lebih baik.
E. Kesimpulan
Setiap sekolah memiliki budaya khas yang berbeda dengan sekolah lain. Memperlakukan karakteristik budaya secara positif akan membawa perubahan positif pula bagi sekolah. Bahkan, budaya sekolah merupakan kunci utama penggerak mutu sekolah. Namun, kultur sekolah ini tidak akan memiliki arti jika tidak disentuh dan dikelola secara baik oleh kepemimpinan kepala sekolah yang berbasis budaya.
Begitu pula model tiga sekolah dalam buku Shaping School Culture tiga juga memiliki budaya dan tantangan yang berbeda. Masing-masing bersifat unik. Baker dan stafnya memanfaatkan tradisi, cerita, dan maskot untuk membangkitkan semangat sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan. Dufour dan para pemimpin informalnya menekankan pentingnya pengembangan kepercayaan bersama bahwa semua siswa dapat berhasil. Vydra dan stafnya membawa masyarakat berbagi bersama dengan menekankan pentingnya nilai-nilai kepedulian terhadap diri sendiri, sesame manusia, dan lingkungan.
F. Daftar Pustaka
Deal, Terrence E., Kent D. Peterson., 1999, Shaping School Culture The Heart Of Leadership,California: Jossey-Bass Inc Publisher.
Suyata, “Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan”, Pidato Dies pada Upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta, 23 Mei 1998.
Sastrapratedja, 2001, Majalah Ilmiah Dinamika Pendidikan, No. 2/Th. VIII, Nov. dalam “Model Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar Berbasis Kultur Sekolah Untuk Mewujudkan Sekolah Efektif”. 2013, Laporan Tahunan Penelitian Hibah Bersaing, Yogyakarta: UNY.
Farida Hanum, 2011, Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta: Kanwa Publisher, dalam “Model Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar…”
Suyata, Em., “Strategi Budaya & Kepemimpinan dalam Perbaikan Pendidikan”, disampaikan dalam perkuliahan Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017. Ppt Materi Perkuliahan bertanggal 13 Februari 2013.
Fitrah, Muh., Februari 2017, “Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”, Jurnal Penjaminan Mutu.
Suyata, “Kepemimpinan dan Budaya Organisasi”, disampaikan dalam perkuliahan Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017.
Mulyasa, E., 2006, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Cet. VIII, Bandung: Remaja Rosdakarya.
*) Makalah Prarevisi
[1] Suyata, “Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan”, Pidato Dies pada Upacara Dies Natalis XXXIV IKIP Yogyakarta, 23 Mei 1998, hlm. 22.
[2] Terrence E. Deal and Kent D. Peterson, Shaping School Culture The Heart Of Leadership, (California: Jossey-Bass Inc Publisher, 1999), hlm. 69.
[3] Sastrapratedja. 2001. Majalah Ilmiah Dinamika Pendidikan, No. 2/Th. VIII, Nov. dalam “Model Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar Berbasis Kultur Sekolah Untuk Mewujudkan Sekolah Efektif”, Laporan Tahunan Penelitian Hibah Bersaing, (Yogyakarta: UNY, 2013).
[4] Ibid.
[5] Suyata, “Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah …, hlm. 22.
[6] Farida Hanum, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2011) dalam dalam “Model Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar…”
[7]Em. Suyata, “Strategi Budaya & Kepemimpinan dalam Perbaikan Pendidikan”, disampaikan dalam perkuliahan Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017. Ppt Materi Perkuliahan bertanggal 13 Februari 2013.
[8] Muh. Fitrah, “Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”, Jurnal Penjaminan Mutu, Februari 2017, hlm. 33.
[9]Suyata, “Kepemimpinan dan Budaya Organisasi”, disampaikan dalam perkuliahan Pascasarjana FIAI UII pada 25 November 2017.
[10] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Cet. VIII, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 115-116.
[11] Terrence E. Deal and Kent D. Peterson, Shaping School Culture The Heart Of Leadership, (California: Jossey-Bass Inc Publisher, 1999), hlm. 69-82.
[12] Sumber lain menyebut bahwa sekolah tersebut berdiri pada 1992, setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang mulai berdirinya Wheaton High School (1876–1925), Wheaton Community High School (1925–1964), Wheaton Central High School (1964–1992), Wheaton-Warrenville High School (1973–1983), sampai akhirnya berdiri Wheaton Warrenville South High School (1992–sekarang).
Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Wheaton_Warrenville_South_High_Schooldiakses pada 5 Desember 2017, pukul 15.22 WIB.
[13]Lagu ini diciptakan oleh Robert Burns (Skotlandia, 1759-1796). Secara harfiah, Auld Lang Syne berarti 'sejak sudah lama sekali', 'dulu sekali', atau 'hari-hari yang telah berlalu'. Selain dinyanyikan dalam acara wisuda dan perpisahan, Auld Lang Syne sering dinyanyikan pula dalam perayaan malam tahun baru masehi. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Auld_Lang_Synedan http://srireskyawati.blogspot.co.id/2014/09/sejarah-lirik-lagu-dan-terjemahan-auld.htmldiakses pada 7 Desember 2017, pukul 12.03 WIB.
Post a Comment
Post a Comment