-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH DALAM NALAR ILMIAH THAHIR IBNU ‘ASYUR

MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH
DALAM NALAR ILMIAH THAHIR IBNU ‘ASYUR
  Oleh:
 
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag., MH.

A.      PENDAHULUAN
Rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik, dan kebudayaan sudah jauh berbeda. Hukum (ijtihadi) sendiri terus berjalan dinamis sesuai dengan ruang dan waktu, sebagaimana kaidah fikih tagayyur al-aḥkām bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah (perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat).[1] Dinamika permasalahan masyarakat sebagai implikasi dari perkembangan zaman dan perubahan tempat tersebut menuntut terjadinya dinamisasi metode istinbāṭ hukum Islam agar produk hukum yang dihasilkan bernilai etik, bijaksana, maslahat, dan tidak rigid. Salah satu metode istinbāṭ yang patut dipertimbangkan dan diperhatikan serius untuk mencapai tujuan itu adalah maqāṣid al-syarī’ah.[2] Di sinilah maqāṣid al-syarī’ah, sebagai alat untuk menggali tujuan dan hikmah penetapan hukum syara’, memiliki kedudukan sangat penting dalam kajian ushul fiqih dan wacana hukum Islam. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa elastisitas syariah Islam sangat ditentukan oleh seberapa serius maqāṣid al-syarī’ah direalisasikan dalam menjawab dinamika permasalahan hukum Islam.
Maqāṣid al-syarī’ah dan pembaruan-pembaruannya memiliki fase sejarah yang cukup panjang sejak zaman Nabi.[3] Fase pertama (abad ke-1 H), peristiwa terkait dengan larangan shalat Ashar[4], kecuali di Bani Qurazhah, pada masa Nabi bisa diajukan sebagai salah satu sampel ijtihad berdasarkan maqāṣid. Pada waktu itu, sahabat yang memahami hadis tersebut secara maqāṣidy melaksanakannya di tengah perjalanan, bukan di Bani Quraizhah. Mereka menangkap instruksi Nabi tersebut secara maqāṣidysebagai al-isrā’ (bergegas). Walaupun secara tekstual apa yang mereka lakukan berpunggungan dengan makna lahiriah teks, tetapi hal ini tidak ingkari oleh Nabi. Pasca Rasulullah wafat, ijtihad-ijtihad yang berlandaskan kemaslahatan yang merupakan pilar utama maqāṣid lebih marak lagi digalakkan, terlebih pada masa Khalifah Umar ibn Khattab. Fase pertama ini boleh jadi kita sebut sebagai “fase penyemaian maqāṣid al-syarī’ah”.
Fase berikutnya (abad ke-2 H) mulai muncul kitab-kitab yang menyiratkan pemikiran maqāṣid al-syarī’ah. Di antara tokoh berpengaruh pada abad itu adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi’i, al-Auza’i, dan lain-lain. Kemudian maqāṣid al-syarī’ah mengalami masa keemasan pada abad ke-3 sampai abad ke-5 H. Menjelang akhir abad ke-3 lahir naskah pertama yang secara tersurat menyebut kata maqāṣid sebagai judul naskah tersebut, yaitu al-Ṣalaṣ wa Maqaāṣiduhā (Salat dan Tujuan-tujuannya)[5]. Naskah ini adalah karya al-Tirmidzi al-Hakim (w. 296 H/908 M). Terkhusus abad ke-5 H, teori maqāṣid mengalami perkembangan yang signifikan, dengan al-Juwaini (w. 478 H)[6] dan al-Gahazali (w. 505 H)[7]sebagai tokohnya yang paling berpengaruh. Pada fase ini mulai diletakkan teori-teori dasar dan dasar-dasar universal (al-uṣūl al-kulliyyah) maqāṣid secara ilmiah.
Pada abad ke-6 H maqāṣid al-syarī’ah mengalami stagnansi cukup akut, sampai akhirnya menggeliat dan bangkit lagi pada abad ke-7 sampai ke-8 H.[8] Kemudian di tangan al-Syathibi (w. 790 H) maqāṣid al-syarī’ah mencapai puncak kematangannya melalui kitabnya berjudul al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, yang berarti Harmonisasi Asas-Asas Syariat.
Selewat masa al-Syathibi maqāṣid al-syarī’ah mengalami kemandekan sampai akhirnya di era modern al-Muwāfaqāt karya al-Syathibi kembali dicetak untuk pertama kali di Tunisia (1301 H/1884 M). Di era inilah terjadi dialektika intensif antara ulama-ulama modern dengan al-Muwāfaqātsehingga bermunculan tokoh-tokoh maqāṣid al-syarī’ah. Satu di antaranya adalah Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur (w. 1393 H/1973 M) dengan karya monumentalnya Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Dialah yang kemudian dijuluki sebagai “Bapak Reformasi Studi Maqāṣid” atau “Bapak Maqāṣid Kontemporer”.
Secara khusus makalah ini akan mengulik pandangan-pandangan Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur tentang maqāṣid al-syarī’ah: bagaimana dia mendefinisikan maqāṣid al-syarī’ah, apa urgensi maqshid dalam kajian fikih, apa perbedaan pandangannya dari para pendahulu dalam maqāṣid al-syarī’ah, serta metode apa yang digunakannya untuk mengetahui dan menetapkan maqāṣid al-syarī’ah.

B.       PEMBAHASAN
1.      Biografi Singkat Ibnu ‘Asyur
Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Thahir (Thahir II) ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thahir (Thahir I) ibn Muhammad ibn Muhammad al-Syadhili ibn al-‘Alim ‘Abd al-Qadir ibn Muhammad ibn ‘Asyur (selanjutnya disebut Ibnu ‘Asyur). Lahir pada tahun 1296 H/1879 M di Tunisia, Afrika Utara, dan meninggal di kota yang sama pada 3 Rajab 1393 H/ 12 Juni 1973 M. Ayahnya bernama Muhammad ibn Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, seorang ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu.[9]
Memulai pendidikan tingkat dasar pada usia enam tahun, Ibnu ‘Asyur telah menghafal Alquran, lalu belajar bahasa Persia. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu dalam bidang bahasa (nahwu) dan kitab-kitab fikih mazhab Maliki.[10] Saat berusia 14 tahun, Ibnu ‘Asyur melakoni pengembaraan intelektual di Universitas Zaitunah, Tunisia.[11]
Pada tahun 1899 M, Ibnu ‘Asyur dipercaya mengajar di Universitas Zaitunah. Selain itu, dia juga mengajar di Perguruan Tinggi Sadiqiyyah sejak tahun 1904 M. Pada tahun 1932 M, Ibnu ‘Asyur ditetapkan sebagai Syaikh al-Islam al-Maliki di Universitas Zaitunah sekaligus Rektor di universitas tersebut. Selain di bidang pendidikan, Ibnu ‘Asyur juga berkarir di bidang peradilan, yang sejak 1911 M dia bertugas menjadi Hakim, dan dua puluh dua tahun kemudian dia ditetapkan sebagai mufti dalam mazhab Maliki.[12]
Ibnu ‘Asyur termasuk ilmuwan muslim prolifik (produktif dalam berkarya).  Di antara karyanya adalah Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Uṣūl al-Niẓām al-Ijtimā‘iy fī al-Islām, A Laysa al-Ṣubḥ bi Qarīb, al-Waqf wa Āṡāruh fī al-Islām, Kasyf al-Mu‘thiy min al-Ma‘āniy wa al-Alfāẓ al-Waqī‘ah fī al-Muwaṭṭa’, al-Tawḍīh wa al-Tasḥīḥ fī Uṣūl al-Fiqh, dan masih banyak lagi karya lainnya baik dalam bidang Islamic studies, bahasa, sastra, maupun sejarah.[13]

2.      Pengertian Maqāṣid al-Syarī’ah
Kata Maqāṣid merupakan bentuk plural dari kata maqṣad, yang terbentuk dari kata qaṣada – yaqṣidu – qaṣdan – wa maqṣad, yang secara etimologi berarti niat, maksud, atau tujuan.[14]Menurut al-Yubi, kata maqṣad memiliki beberapa pengertian, di antaranya: (1) pegangan, mendatangkan sesuatu; (2) jalan yang lurus; (3) keadilan, keseimbangan; (4) pecahan.[15] Adapun kata “al-syarī‘ah” berarti jalan menuju sumber air atau sumber pokok kehidupan. Secara istilah, al-syarī‘ah mempunyai beberapa pengertian, salah satunya adalah ketentuan-ketentuan yang diturunkan oleh Allah kepada hamba-Nya melalui Nabi Muhammad yang mencakup akidah, muamalah, dan akhlak.[16] Sementara secara terminologi (ma’nā iṣṭilāḥiy) terdapat beberapa pengertian yang saling berdekatan maksudnya, yang semuanya bermuara kepada arti ‘maksud dan tujuan di balik syariat demi kemaslahatan umat’. Beragam definisi yang diajukan para ahli ushul pada intinya berangkat dari satu titik yang sama, yaitu bahwa hukum itu bertujuan untuk kemaslahatan manusia.
Merujuk kepada literatur-literatur klasik, para ulama Ushul abad klasik tidak memberikan definisi Maqāṣid al-Syarī‘ah secara komprehensif. Definisi maqāṣid al-syarī‘ah secara komprehensif justru lebih banyak dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer, seperti Ibnu ‘Asyur. Menurut Ibnu ‘Asyur, maqāṣid al-syarī’ah ialah:
المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها، بحيث لاتختص ملاحظتها بالكون في نوع خاص من أحكام الشريعة، فيدخل في هذا أوصاف الشريعة وغاياتها العامة والمعاني التي لا يخلو االتشريع عن ملاحظتها.
Makna-makna dan himah-hikmah yang menjadi pertimbangan Syari’ dalam segenap atau sebagian besar pen-tasyri’-annya, yang pertimbangannya itu tidak terbatas dalam satu jenis tertentu. Jadi, termasuk ke dalam maqāṣid adalah karakteristik syari’ah, tujuan-tujuannya yang umum, serta makna-makna yang tidak mungkin untuk tidak dipertimbangkan dalam pentasyri’an.[17]
Ibnu ‘Asyur juga membagi maqāṣid menjadi dua bagian: maqāṣid al-syarī’ah al-‘ammah dan maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah. Maqāṣid al-syarī’ah al-‘āmmah adalah sasaran dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan kemaslahatan manusia secara umum, seperti melestarikan sebuah system yang bermanfaat, menjaga kemaslahatan, menghindari kerusakan, merealisasikan persamaan hak antarmanusia, dan melaksanakan syariat sesuai aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Sedangkan maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah adalah tujuan syariat yang khusus, yakni tentang muamalat,  yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqāṣid al-syarī’ah, misalnya maqāṣid al-syarī’ah hukum keluarga, maqāṣid al-syarī’ah penggunaan harta, maqāṣid al-syarī’ah hukum perundang-undangan dan kesaksian, dan sebagainya.[18]

3.      Maqāṣid al-Syarī’ah dalam Perspektif Ibnu ‘Asyur
Dalam pandangan Ibnu ‘Asyur, setiap syariat yang diturunkan da dititahkan Allah kepada manusia pastilah tidak hampa dari tujuan dan hikmah mulia. Ia mendasarkan pandangannya ini kepada sumber legalistik, firman Allah Swt, di antara surah al-Dukhān [44]: 38-39 “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Gagasan tentang maqāṣid al-syarī’ah, sebagai sebuah nilai, prinsip, dan paradigma telah dikenal sejak permulaan Islam. Namun, secara konseptual, pemikiran tentang maqāṣid al-syarī’ah baru terkonstruksi secara sistematis oleh al-Syathibi (w. 790 H) melalui bukunya al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, yang berarti Harmonisasi Asas-Asas Syariat. Atas jasanya itulah al-Syathibi digelari sebagai Bapak Perumus maqāṣid al-syarī’ah Pertama. Melalui karyanya itu, al-Syathibi mengembangkan teori al-maqāṣid dengan melakukan tiga transformasi penting.[19]
Pertama, transformasi al-maqāṣid dari sekadar al-maṣāliḥ al-mursalaḥ (maslahat-maslahat lepas) ke uṣūl al-dīn wa qawā’id al-syarī’ah wa kulliyāt al-millah (asas-asas agama, kaidah-kaidah syariat, dan pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam).
Kedua, transformasi al-maqāṣid dari ‘hikmah di balik aturan’ kepada ‘dasar aturan’. Berdasarkan pemahaman ini al-Syathibi menarik kesimpulan bahwa aturan mana pun yang dibuat atas nama syariat tidak dapat melangkahi al-maqāṣid. Lebih lanjut ia mengatakan, berdasarkan transformasi kedua ini, pengetahuan akan al-maqāṣid adalah syarat utama bagi keahlian ijtihad pada segala tingkatan.
Ketiga, transformasi al-maqāṣid dari ‘ketidaktentuan’ menuju ‘keyakinan’; dari ẓanniy menuju qaṭ’iy. Yakni keyakinan akan hasil proses induksi yang dilakukannya terhadap ayat-ayat Alquran untuk menarik kesimpulan tentang al-maqāṣid.
Sementara Ibnu ‘Asyur, melalui bukunya Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, mengelaborasi al-maqāṣid lebih holistik lagi dengan mengembangkan dan menyempurnakan konsep maqāṣid al-syarī’ah-nya al-Syathibi. Bahkan, Ibnu ‘Asyur telah mengindependensikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai disiplin ilmu tersendiri. Karenanya, Ibnu ‘Asyur dijuluki “guru kedua” (al-mu’allim al-ṡanī) setelah al-Syathibi sebagai “guru pertama”.[20] Ibnu ‘Asyur telah berhasil mengembangkan teori maqāṣid al-syarī’ah yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian kulliyah (teks-teks suci yang berkenaan dengan pokok-pokok agama) dan juz’iyyah (teks-teks suci yang berkenaan dengan detail-detail agama) menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan studi maqāṣid al-syarī’ah ke dalam maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah tentang muamalat yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqāṣid al-syarī’ah, misalnya maqāṣid al-syarī’ah hukum keluarga, maqāṣid al-syarī’ah penggunaan harta, maqāṣid al-syarī’ah hukum perundang-undangan dan kesaksian, dan sebagainya.[21]
Ada beberapa pandangan Ibnu ‘Asyur terkait maqāṣid al-syarī’ah yang berbeda dari para pendahulunya.
Pertama, Ibnu ‘Asyur memandang penting terwujudnya independensi maqāṣid al-syarī’ah sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Bagi Ibnu ‘Asyur, pembaruan terhadap ilmu ushul fikih (tajdīd uṣūl al-fiqh) sangat penting dilakukan. Namun, pembaruan tersebut berangkat dengan cara melakukan pemilahan antara dalil-dalil yang qaṭ’iy (absolut) dengan dalil-dalil yang ẓanniy (relatif); dan pengelompokan dalil-dalil yang disepakati seluruh ulama dengan dalil-dalil yang mengandung perbedaan pemahaman di kalangan ulama. Untuk mewujudkan hal ini, Ibnu ‘Asyur menilai perlunya maqāṣid al-syarī’ah dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Di sisi lain, beliau memandang bahwa ilmu ushul tetap dalam kondisinya yang ada, sementara ilmu maqāṣid al-syarī’ah berperan sebagai landasan filosofis dari proses penggalian hukum yang merupakan ranah objek kajian ilmu ushul fikih.[22]
Bahkan, menurut Ibnu ‘Asyur, ushul fikih harus ditinggalkan karena hanya akan mengakibatkan perdebatan-perbedaan dalam masalah-masalah furū’ (fikih).[23] Statement ini menuai respon beragam sehingga pro-kontra antara para sarjana kajian maqāṣid al-syarī’ah mengemuka dalam tiga bilah kelompok, kubu, atau golongan.
-          Kelompok pertama sepakat dengan independensi maqāṣid al-syarī’ah sebagai disiplin ilmu yang berpisah secara total dari Ushul Fikih.
-          Kelompok kedua menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai kajian tengah antara Fikih dan Ushul Fikih.
-          Kelompok ketiga menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai hasil perkembangan dari kajian Ushul Fikih.[24]
Kedua, korelasi “al-fiṭrah” (naruli beragama), “al-samāḥah” (toleransi), “al-musāwah” (egaliter), dan “al-ḥurriyah” (kemerdekaan bertindak) dalam konteks maqāṣid al-syarī’ah.
Dalam pandangan Imam Ibnu ‘Asyur, sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh manusia itu sesungguhnya sejalan dengan maqāṣid al-syarī’ah. Dalam pandangannya, ada 4 hal yang memperkuat maqāṣid al-syarī’ah, yaitu:
a.       Al-fiṭrah, artinya bahwa ajaran Islam atau syariat Islam yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia sesungguhnya sangat sesuai dengan karakter asasi manusia itu sendiri. Begitu juga, dalam pandangan Ibnu ‘Asyur, fitrah adalah sifat dasar manusia (al-khilqah) dalam artian sebuah sistem tertentu (al-niẓām) yang telah Allah swt tanamkan atau ciptakan pada setiap ciptaannya, baik bersifat lahiriah (yang terlihat) maupun batiniah (tidak terlihat). Ibnu‘ Asyur mendasari pandangannya ini dengan firman Allah swt surat al-Rum ayat: 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Ibnu ‘Asyur membagi fitrah ke dalam dua macam, yaitu “fiṭrah ‘aqliyyah” (akal jernih) dan “fiṭrah nafsiyyah”. Dengan fitrah yang pertama, manusia bisa merasakan adanya zat yang patut diimani serta menyadari urgensi aturan atau syariat untuk mengatur kehidupan manusia.[25] Sementara fitrah yang kedua adalah naluri dan keinginan yang diciptakan Allah kepada manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan secara baik dan terarah. Contohnya, naluri atau fitrah ingin menikah, berinteraksi dengan sesama, dan sebagainya.[26]
b.      Al-Samāḥah (toleransi). Dengan terjemahan yang lebih bebas, al-Samāḥah dapat diartikan sebagai sikap saling menghargai. Ini adalah sifat yang berada antara perilaku kelewat batas (al-ifrāṭ) dan perilaku terlalu menggampangkan sebuah persoalan. Sikap toleransi ini menjadi pengikat tegaknya makna al-fiṭrah. Selain itu, toleransi merupakan karakter mendasar dari umat Muhammad dan menjadi bagian penting dari sifat-sifat yang mulia karena di dalamnya terhimpun sifat-sifat lain, seperti adil dan proposional dalam bersikap. Hal ini sesuai dengan firman Allah surah al-Baqarah ayat 143,
وَكَذٰلِكَ جَعَلناكُم أُمَّةً وَسَطًا
“dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil”. Banyak lagi dalil al-Qur’an maupun sunnah yang menekankan toleransi ini.
c.              Al-Musāwah (egalitar). Islam memandang bahwa semua manusia di hadapan hukum-hukum syar’i diberlakukan secara sama. Bagi Ibnu ‘Asyur, al-musāwah sangat penting diterapkan terutama terhadap lima prinsip dasar yang menjadi tujuan syariat Islam (al-ḍarūriyyāt al-khamsah), yaitu ḥifẓu al-dīn (menjaga agama), ḥifẓu al-nafs (menjaga jiwa), ḥifẓu al-‘aql (menjaga akal), ḥifẓu al-nasl (menjaga keturunan), danḥifẓu al-māl (menjaga harta).  Dalam hal ini Ibnu ‘Asyur berpijak pada firman Allah surah al-Nisa ayat 135.
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنوا كونوا قَوّامينَ بِالقِسطِ شُهَداءَ لِلَّهِ وَلَو عَلىٰ أَنفُسِكُم أَوِ الوالِدَينِ وَالأَقرَبينَ ۚ إِن يَكُن غَنِيًّا أَو فَقيرًا فَاللَّهُ أَولىٰ بِهِما ۖ فَلا تَتَّبِعُوا الهَوىٰ أَن تَعدِلوا ۚ وَإِن تَلووا أَو تُعرِضوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعمَلونَ خَبيرًا

 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
d.             Al-Ḥurriyah (kebebasan). Menurut Ibnu ‘Asyur, ketika seseorang diberlakukan sama secara hukum dari segala bentuk perbuatannya maka di situlah ditemukan apa yang disebut dengan al-ḥurriyah (kemerdekaan).[27] Dalam bahasa Arab, al-ḥurriyah memiliki dua arti, (1) al-ḥurriyah sebagai lawan dari perbudakan (al-‘ubūdiyah); (2) al-ḥurriyah yang berarti seseorang melakukan suatu hal memang atas dasar pilihannya. Walaupun tentunya kebebasan di dalam Islam tidaklah bersifat mutlak sebagaimana didengung-dengungkan oleh kalangan Barat.[28]

4.      Metode Ibnu ‘Asyur dalam Menetapkan Maqāṣid al-Syarī’ah
Metode penetapan maqāṣid al-syarī’ah, menurut Ibnu ‘Asyur, ada tiga.
a.      Istiqrā’ (melakukan pengamatan terhadap perilaku syariat). Langkah ini bisa dalam dua bentuk.
Pertama, meneliti hukum-hukum yang sudah diketahui illatnya melalui prosedur masālik al-‘illah yang dikenal dalam ushul fikih, untuk kemudian dicari hikmah dari hukum-hukum tersebut. Contoh, dilarang meminang wanita makhṭūbah (sedang dalam pinangan orang lain), maka maqāṣid al-syarī’ah yang tampak dari kasus ini adalah demi menjaga kelangsungan ukhuwwah di antara sesama muslim.
Kedua, dengan mengamati dalil-dalil hukum yang mempunyai kesamaan ‘illah. Melalui cara ini, akan diketahui bahwa ‘illah itu merupakan tujuan yang diinginkan Syāri‘. Contoh, ‘illah larangan menjual barang yang tidak berada dalam genggaman (tidak dimiliki) penjualnya adalah supaya barang-barang tersebut tetap tersedia di pasaran. Demikian juga larangan penimbunan barang dimana ‘illat-nya adalah supaya tidak menyebabkan sedikitnya stok barang di pasar atau bahkan menghilangkannya dari peredaran. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyediaan stok barang agar tetap beredar di pasar dan memudahkan orang untuk mendapatkannya menjadi tujuan atau hikmah dalam hukum ini. Demikian pula banyaknya perintah untuk memerdekakan budak menunjukkan bahwa tujuan sebenarnya dari hokum pemerdekaan budak itu adalah tercapainya kebebasan.
b.      Menggunakan dalil-dalil dari nash-nash syar’i yang mempunyai kejelasan dalālah (makna).
Dengan metode ini sehingga kemungkinan adanya dalālah lain yang dipahami dari lahiriah ayat sangat kecil. Kepastian maqāṣid al-syarī’ah yang dihasilkan dengan cara ini dapat didasarkan pada dua pertimbangan penting.
Pertama, semua ayat Alquran bersifat qaṭ‘iy al-ṡubūt karena semua lafalnya mutawatir. Kedua, karena dalālah-nya yang bersifat ẓanniy, maka ketika terdapat kejelasan dalālah yang menafikan kemungkinan-kemungkinan lain, menyebabkan nash tersebut menjadi lebih kuat. Ketika keduanya terdapat dalam suatu nash, maka nash tersebut bisa dijadikan maqāṣid al-syarī’ah yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antar fuqahā’. Contoh, firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 183, yang artinya, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” Ayat ini, di samping keberadaannya yang qaṭ’iy, juga mempunyai dalālah yang jelas sehingga menunjukkan pada maqṣad (tujuan) tertentu atau paling tidak mempunyai indikasi yang jelas ke arahnya.[29]
c.       Dengan menggunakan hadis-hadis mutawatir.
Cara ini terbatas hanya pada dua keadaan.
Pertama, al-tawātur al-ma‘nawiy yang diperoleh dari pengamatan mayoritas sahabat atas perbuatan Rasul. Dengan cara ini dihasilkan sebuah pemahaman tentang maqāṣid al-syarī’ah-nya. Di antara contohnya adalah pensyariatan sedekah jariyah yang sering disebut juga dengan al-habs. Contoh lainnya, khutbah dua Hari Raya dilaksanakan setelah shalat, bukan sebelumnya.
Kedua, al-tawātur al-‘amaliy yang yang dihasilkan dari seorang atau beberapa sahabat yang menyaksikan amalan Nabi Muhammad secara berulang-ulang, sekiranya dari keseluruhan amal tersebut dapat diambil nilai universal yang dapat diplot sebagai maqāṣid. Contoh, seperti hadits yang diriwayatkan al-Arzaq bin Qays bahwa pada suatu waktu, sahabat Abu Barzah al-Aslami menghentikan shalat untuk mengejar kudanya yang lepas dari ikatan. Beberapa sahabat yang lain mencela perbuatan Abu Barzah. Namun, Abu Barzah tetap melakukannya dengan berargumentasi bahwa jarak ke rumahnya masih sangat jauh. Kalau ia tidak mengejar kudanya itu, maka untuk pulang ke rumahnya dia harus berjalan kaki sampai tengah malam. Tentu itu sangat menyusahkannya.
Menurut Ibnu ‘Asyur, karena menyaksikan perbuatan Rasulullah berulang-ulang, Abu Barzah dapat menyimpulkan bahwa di antara maqāṣid al-syarī’ah adalah member kemudahan. Karenanya dia berpendapat bahwa menghentikan salat untuk mengejar kudanya yang lepas lebih utama daripada melanjutkan salatnya. Kalau tidak menghentikan salat, ia akan dihadapkan pada sebuah maṣaqqah (kesulitan), pulang dengan berjalan kaki. Dalam pandangannya, ini adalah maqṣad (tujuan) yang bersifat ẓanniy tetapi mendekati qaṭ‘iy.

C.      PENUTUP
Sebagai “guru kedua” yang ditahbiskan pula sebagai “Bapak Reformasi Studi Maqāṣid” atau “Bapak Maqāṣid Kontemporer”, Ibnu ‘Asyur memberikan wakaf keilmuan yang sangat besar terhadap pengembangan maqāṣid al-syarī’ah. Dalam hal legalitas hukum al-maqāṣid, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa Allah sebagai sang pemilik syariat (al-Syāri) mustahil menitahkan syariat kepada manusia tanpa memuat tujuan dan hikmah kebaikan. Pandangan ini dipijakkan pada ayat-ayat Alquran yang mengisyaratkan hal tersebut, seperti QS. al-Dukhan: 38-39, al-Mu’minun: 115, al-Hadid: 25, dan Ali ‘Imran: 19.
Ibnu ‘Asyur membagi maqāṣid menjadi dua bagian, yakni maqāṣid al-syarī’ah al-‘ammah dan maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah. Maqāṣid al-syarī’ah al-‘āmmah adalah sasaran dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan kemaslahatan manusia secara umum, sedang maqāṣid al-syarī’ah al-khāṣṣah adalah tujuan syariat yang bersifat khusus, yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqāṣid al-syarī’ah, seperti maqāṣid al-syarī’ah hukum keluarga, maqāṣid al-syarī’ah penggunaan harta, dan lain-lain. Pebagian itu merupakan keberhasilan Ibnu ‘Asyur dalam dengan mengembangkan dan menyempurnakan konsep maqāṣid al-syarī’ah-nyaal-Syathibi.
Beberapa pandangan Ibnu ‘Asyur terkait maqāṣid al-syarī’ah yang berbeda dari para pendahulunya adalah: (1) pentingnya independensi maqāṣid al-syarī’ah sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri; (2) rumusan tentang empat kerangka epistemologi al-maqāṣid, yaitual-fiṭrah (naruli beragama), al-samāḥah (toleransi), al-musāwah(egaliter), dan al-ḥurriyah (kemerdekaan bertindak); (3) rumusan tentang tiga metode penetapan maqāṣid al-syarī’ah, yaitu (1) istiqrā’(pengamatan terhadap perilaku syariat); (2) menggunakan dalil-dalil dari nash-nash syar’i yang mempunyai kejelasan dalālah (makna); dan (3) dengan menggunakan hadis-hadis mutawatir, baik mutawatir maknawi maupun mutawatir amali.
 *) Makalah Prarevisi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim., 2003. Juz III,I’lām al-Muwāqi’īn, Beirut: Maktabah al-‘Asriyah.
Effendi, Satria., 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana/Prenada Media Group.
Irfandi, 2014, “Maqashid Al-Syari’ah Menurut Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur”, Makalah, Pekalongan: PPs STAIN Pekalongan.
‘Audah, Jāser., 2013, al-Maqāṣid untuk Pemula, Yogyakarta: Suka Press.
Husain, Muhammad., 2005, al-Tanẓir al-Maqāṣidy ‘inda al-Imām Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr fī Kitābih Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Aljazair: al-Jami‘ah Aljaza’ir.
al-Ghali, Balqasim., 1996, Syaikh al-Jamī‘ al-A‘ẓam Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr; Ḥayātuh wa Āṡāruh, Beirut: Dar Ibn Hazm.
Munawwir, Ahmad Warson., 2002, Kamus al-Munawwir, cet. 25, Yogyakarta: Pustaka Progressif.
al-Yubi, Muhammad Sa‘d bin Ahmad bin Mas’ud., 1998, Maqāṣid al-syarī’ah Islāmiyyah wa ‘Alāqatuh bi al-Adillah al-Syar‘yyah, Saudi Arabia: Dar al-Hijrah, 1998.
Jumantoro, Totok., Samsul Munir Amin., 2005, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, cet. I, Jakarta: Amzah.
Thahir ibn ‘Asyur, Muhammad., 2001, Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Amman: Dar al-Nafais.
Muhtamiroh, Siti., November 2013, “Muhammad Thahir bin ‘Asyur dan Pemikirannya tentang Maqashid al-Syari’ah”,  Jurnal at-Taqaddum, Vol. 5, No. 2, UIN Walisongo Semarang.
Hafidz, 2007, Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam, (Dari Jurassic Park Menuju Superioritas Ekonomi Islam), Yogyakarta: PPs. UIN Suka Yogyakarta.
‘Athiyah, Jamal al-Din., 2003, Naḥwa Taf’īl Maqāṣid al-Syarī’ah, Damaskus:Dār al-Fikr.
‘Izzuddin, Bin Zaghibah., 1996, al-Maqāṣid al-’Āmmah li al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Kairo: Dār al-Ṣafwah.





[1] Kaidah serupa namun lebih luas disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, bahwa: tagayyur al-fatwā bi ḥasabi tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-aḥwāl wa al-niyyāt wa al-‘awā’id (perubahan fatwa dengan mempertimbangkan perubahan zaman, tempat, kondisi/keadan,  niat, dan adat). Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyah I’lām al-Muwāqi’īn, Juz III, (Beirut: Maktabah al-‘Asriyah, 2003), hlm 12
[2] Secara garis besar, metode istinbāṭ dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) segi kebahasaan (semacam semantik dalam praktik penalaran fikih terhadap teks-teks Alquran dan Sunnah), (2) segi maqāṣid (tujuan) al-syarī’ah, dan (3) segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan (ta’āruḍ dan tarjīḥ). Lihat Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana/Prenada Media Group, 2005), hlm. 177.
[3] Amrullah, “Geliat Pemikiran Maqashid Syari’ah (sejak I H./VII M. sampai 14 H./21 M.)” Makalah dipresentasikan dalam Kajian Ushul Fikih diselenggarakan oleh Divisi Kajian Fikih-Ushul Fikih Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (LBM PCINU) pada tanggal 20 Februari 2013 di Sekretariat PCINU Mesir, dikutip Irfandi dalam “Maqashid Al-Syari’ah Menurut Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur”, Makalah (Pekalongan: PPs STAIN Pekalongan, 2014).
[4] HR. al-Bukhari no. 4119. Dalam riwayat Muslim no. 1770 disebutkan bahwa larangan tersebut berkaitan dengan shalat Zuhur.
[5] Jāser ‘Audah, al-Maqāṣid untuk Pemula, (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 30.
[6] Al-Juwaini populer pula dengan nama al-Imam al-Haramain, kesohor sebagai pencetus teori ‘kebutuhan publik’. Lihat Jāser ‘Audah, al-Maqāṣid untuk Pemula…, hlm. 38. Nalar maqāṣidy al-Juwaini dapat dibaca dalam buku karyanya berjudul al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh dan Giyā al-Umam.
[7]Al-Ghazali adalah murid al-Juwaini. Di tangan al-Ghazali muncullah “lima jenjang keniscayaan” (al-ḍarūriyyāt al-khamsah), yaitu ḥifẓu al-dīn (menjaga agama), ḥifẓu al-nafs (menjaga jiwa), ḥifẓu al-‘aql (menjaga akal), ḥifẓu al-nasl (menjaga keturunan), dan ḥifẓu al-māl (menjaga harta). Lebih lengkap pandangan al-Ghazali tentang hal ini bisa dibaca dalam bukunya al-Mustaṣfā.
[8] Di antara tokoh abad ke-7 H dan ke-8 H yang poppuler adalah Izzuddin bin Abdus Salam (w.660 H) dengan karyanya Maqāṣid al-Ṣalāh, Maqāṣid al-Ṣawm, dan Qawā’id al-Aḥkām fīMaṣāliḥ al-Anām;al-Qarafi (w. 684 H)dengan karyanya berjudul al-Furūq;  Ibnu Taimiyah (w. 728 H); Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (751 H); dan al-Syathibi (w. 790 H).
[9] Muhammad Husain, al-Tanẓir al-Maqāṣidy ‘inda al-Imām Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr fī Kitābih Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah,(Aljazair: al-Jami‘ah Aljaza’ir, 2005), hlm. 24.
[10] Ibnu ‘Asyur memang bermazhab Maliki, selain karena banyak belajar kepada guru-guru bermazhab Maliki, Ibnu ‘Asyur juga banyak menulis karya dengan berpedoman pada usul fikih mazhab Maliki. Bahkan, pernah juga Ibnu ‘Asyur memangku jabatan sebagai mufti dalam mazhab Maliki pada 1933 M.
[11] Universitas ini termasuk salah satu yang tertua di dunia. Berdiri sekira tahun 737 M/120 H. Salah satu ilmuwan kelas dunia yang lahir dari universitas ini adalah Ibnu Khaldun (w. 808 H). Sumber http://www.nu.or.id/post/read/39591/belajar-di-universitas-az-zaituna-tunisia diakses pada 29 Oktober 2017, pukul 09.24 WIB.
[12] Balqasim al-Ghali, Syaikh al-Jamī‘ al-A‘ẓam Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Asyūr; Ḥayātuh wa Āṡāruh(Beirut: Dar Ibn Hazm, 1996), hlm. 53.
[13] Ibid., 68-70.
[14] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, cet. 25, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 1123.
[15] Muhammad Sa‘d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqāṣid al-syarī’ah Islāmiyyah wa ‘Alāqatuh bi al-Adillah al-Syar‘yyah, (Saudi Arabia: Dar al-Hijrah, 1998), hlm. 25-28.
[16] Totok Jumantoro, dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, cet I (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 196.
[17] Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Maqāṣidal-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, (Amman: Dar al-Nafais, 2001), hal. 15.
[18] Siti Muhtamiroh, “Muhammad Thahir bin ‘Asyur dan Pemikirannya tentang Maqashid al-Syari’ah”,  Jurnal at-Taqaddum, Vol. 5, No. 2, (Novembr 2013), UIN Walisongo Semarang, hlm. 271-272.
[19] Jāser ‘Audah, al-Maqāṣid untuk Pemula…, hlm. 46-48..
[20] Hafidz, Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam, (Dari Jurassic Park Menuju Superioritas Ekonomi Islam).(Yogyakarta: PPs. UIN Suka Yogyakarta, 2007), hlm. 4.
[21] Siti Muhtamiroh, “Muhammad Thahir bin ‘Asyur …, hlm. 270.
[22] Ibid., hlm. 18, 22 dan 23.
[23] Ibid., hlm.166.
[24]Jamal al-Din ‘Athiyah, Naḥwa Taf’īl Maqāṣid al-Syarī’ah (Damaskus:Dār al-Fikr, 2003), hlm. 237.
[25] Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Maqāṣidal-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, hlm. 259.
[26] Ibid., hlm. 261-262.
[27] Ibid., hlm. 390.
[28] Ibid., hlm. 392.
[29] Bin Zaghibah ‘Izzuddîn, al-Maqāṣid al-’Āmmah li al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, (Kairo: Dār al-Ṣafwah, ,1996), hlm. 144

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter